Pengadilan Tinggi Prancis Tolak Banding Larangan Kenakan Abaya di Sekolah
Pengadilan tinggi Prancis menolak banding yang diajukan Action for the Rights of Muslim (ADM) terkait larangan menggunakan abaya di sekolah.
Penulis: Whiesa Daniswara
Editor: Nuryanti
TRIBUNNEWS.COM - Pengadilan tinggi administratif Prancis telah menolak banding atas larangan mengenakan abaya di sekolah.
Dewan Negara, pengadilan tertinggi di Prancis yang menangani pengaduan terhadap otoritas publik, mengatakan pada hari Kamis bahwa mereka telah menolak permintaan perintah terhadap larangan tersebut.
Menjelang keputusan pengadilan pada hari Kamis, Dewan Kepercayaan Muslim Prancis memperingatkan bahwa larangan mengenakan abaya di sekolah dapat menciptakan risiko diskriminasi yang meningkat.
Dikutip dari Al Jazeera, sebelumnya, pemerintahan Presiden Emmanuel Macron mengumumkan larangan abaya dan qamis di sekolah.
Alasan pelarangan tersebut adalah pakaian abaya dan qamis telah melanggar aturan sekularisme dalam pendidikan.
Mereka menganggap jilbab Muslim dilarang digunakan di sekolah dengan alasan bahwa pakaian ini menunjukkan afiliasi agama.
Baca juga: Sudah Puluhan Siswi Prancis Dipulangkan dari Sekolah karena Memakai Abaya
Action for the Rights of Muslim (ADM) mengajukan mosi tersebut ke Dewan Negara untuk meminta keputusan terhadap larangan tersebut.
ADM mengatakan, larangan tersebut bersifat diskriminatif dan dapat memicu kebencian terhadap umat Islam.
Namun, setelah mengkaji mosi tersebut, Dewan Negara menolak argumen ini, dengan mengatakan bahwa mengenakan pakaian abaya "mengikuti logika penegasan agama".
Larangan itu didasarkan pada undang-undang Prancis, yang tidak memperbolehkan siapa pun memakai tanda-tanda afiliasi agama di sekolah, kata Dewan.
Larangan pemerintah tersebut, tambah Dewan, tidak menyebabkan "kerusakan serius atau jelas ilegal terhadap penghormatan terhadap kehidupan pribadi, kebebasan beragama, hak atas pendidikan, kesejahteraan anak-anak atau prinsip non-diskriminasi".
Baca juga: Sekolah di Prancis Pulangkan Puluhan Murid yang Masih Memakai Abaya
Pengacara ADM, Vincent Brengarth, berpendapat selama persidangan bahwa abaya harus dianggap sebagai pakaian tradisional, bukan pakaian keagamaan.
Dia juga menuduh pemerintah Prancis mencari keuntungan politik dengan larangan tersebut.
"Keputusan yang sangat tidak termotivasi setelah sidang selama hampir dua jam. Keputusan ini, yang hanya mendukung posisi pemerintah, bukanlah keputusan yang tepat," kata Brengarth.
Ditentang Siswi Muslim
Hampir 300 siswi muslim telah menentang peraturan tersebut dan menolak melepas abaya mereka pada hari pertama tahun ajarab baru Prancis.
Meski begitu, sebagian besar siswi telah setuju untuk mengganti pakaian mereka, tetapi 67 orang tetap menolak dan dipulangkan.
Baca juga: Ratusan Siswi Prancis Kenakan Abaya Muslim, 67 Orang Dipulangkan Pihak Sekolah
Pada hari Rabu, para guru dan siswa di sebuah sekolah menengah Prancis melakukan pemogokan sebagai protes terhadap larangan tersebut.
"Kami ingin menjauhkan diri dari kebijakan Islamofobia pemerintah," demikian bunyi pernyataan kelompok protes di Sekolah Menengah Maurice Utrillo di Stains, Seine-Saint-Denis, timur laut Paris.
"Siswa harus disambut di SMA Maurice Utrillo, dan kita tidak perlu mengawasi pakaian. Kami menolak menstigmatisasi siswa yang mengenakan abaya atau qamis," lanjut mereka.
Picu Perdebatan Hukum Sekuler
Tak lama setelah menjabat pada bulan Juli, Menteri Pendidikan Prancis, Gabriel Attal menyatakan bahwa bersekolah dengan mengenakan abaya adalah sebuah "isyarat keagamaan".
Dikutip dari DW, ia telah bersumpah untuk mengambil tindakan melawan hal ini.
Baca juga: Prancis Larang Siswa Mengenakan Abaya di Sekolah
Sebelumnya, serikat guru telah meminta pihak berwenang Prancis untuk mengambil keputusan yang jelas mengenai pakaian tersebut, karena semakin banyak siswa perempuan yang mengenakan abaya ke kelas.
Asosiasi Muslim Prancis, pada gilirannya, berpendapat bahwa abaya bukan merupakan pakaian keagamaan.
Sementara politisi sayap kiri memprotes larangan tersebut dengan mengatakan bahwa hal itu sama saja dengan mengatur aturan berpakaian.
Prancis memang memandang dirinya sebagai negara sekuler yang memisahkan gereja dan negara.
Undang-undang yang mengabadikan prinsip ini disahkan sejak tahun 1905 dan awalnya dimaksudkan untuk menekan pengaruh Katolik.
Baca juga: Prancis akan Larang Siswa Pakai Abaya Panjang di Sekolah Terkait Simbol Agama
Berdasarkan survei, mayoritas masyarakat Prancis masih menganggap sekularisme sebagai nilai fundamental Prancis, dan hanya sebagian kecil yang mengidentifikasi diri sebagai agama.
Saat ini, hanya sebagian kecil orang di Prancis yang menganut Islam.
Diperkirakan hanya sekitar 8 persen penduduknya yang beragama Islam.
Pada tahun 1994, undang-undang Prancis mulai berlaku yang melarang simbol-simbol agama yang mencolok di sekolah.
Hal ini diikuti pada tahun 2004 dengan larangan total terhadap jilbab di sekolah.
Kippah, topi yang dikenakan oleh pria Yahudi, dan salib Kristen berukuran besar juga dilarang di dalam kelas.
Baca juga: Junta Militer Niger Perintahkan Duta Besar Prancis Tinggalkan Negaranya
Mengenakan cadar yang menutupi seluruh wajah dan tubuh, seperti burka, di tempat umum sejak tahun 2010 merupakan tindakan ilegal.
Anggota parlemen Prancis juga berjanji untuk tidak mengenakan simbol yang dapat menunjukkan afiliasi agama mulai tahun 2018 dan seterusnya.
Kecuali Alsace, jilbab dilarang di gedung-gedung publik di seluruh Prancis.
Sekolah tidak menawarkan kelas pendidikan agama, tidak ada drama kelahiran Yesus, dan Boxing Day bukanlah hari libur umum.
Perusahaan juga diperbolehkan melarang karyawannya mengenakan jilbab.
Dan sejak tahun lalu, perempuan tidak diperbolehkan mengenakan burkini, atau pakaian renang seluruh tubuh, di kolam renang umum.
(Tribunnews.com/Whiesa)