Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

FSI: Code Of Conduct Laut China Selatan Harus Bisa Cegah Perilaku Agresif Tiongkok

Ia mengatakan bahwa penting bagi negara-negara ASEAN untuk memastikan agar China tidak menjadikan COC sebagai alat legitimasi.

Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in FSI: Code Of Conduct Laut China Selatan Harus Bisa Cegah Perilaku Agresif Tiongkok
Ist
Seminar berjudul “Pedoman Tata Perilaku (Code of Conduct) Di Laut China Selatan: Berkah Bagi China, ASEAN, Atau Seluruh Kawasan,” yang diselenggarakan oleh FSI di Jakarta. 

Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI), Johanes Herlijanto, menilai Code of Conduct (COC ) Laut Cina Selatan harus bisa mencegah perilaku agresif Republik Rakyat Tiongkok atau China.

Dirinya menilai COC yang dihasilkan untuk tetap berlandaskan UNCLOS dan mencerminkan sikap dan kepentingan negara ASEAN, khususnya yang bersinggungan dengan klaim China di Laut China Selatan.

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan ini mengatakan bahwa penting bagi negara-negara ASEAN untuk memastikan agar China tidak menjadikan COC sebagai alat legitimasi bagi klaim 10 garis putus-putusnya.

“Sebaliknya, setiap negosiasi harus tetap menekankan penolakan klaim wilayah Cina yang ditandai oleh 10 garis putus-putus tersebut," ujar Johanes.

Hal tersebut diungkapkan oleh Johanes saat seminar berjudul “Pedoman Tata Perilaku (Code of Conduct) Di Laut China Selatan: Berkah Bagi China, ASEAN, Atau Seluruh Kawasan,” yang diselenggarakan oleh FSI di Jakarta.

Menurutnya, China harus ditolak jika bersikeras untuk memasukan klausul yang membatasi kebebasan negara-negara ASEAN dalam memilih partner kerja sama untuk melakukan eksploitasi ekonomi di wilayah ZEE mereka.

Berita Rekomendasi

ZEE negara-negara ASEAN, menurut Johanes, sah menurut UNCLOS.

"Oleh karenanya masing-masing negara berhak menentukan akan kerja sama dengan pihak mana pun, dan tidak boleh diintervensi oleh Cina,” tuturnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Riset ASEAN Universitas Padjajaran Bandung, Dr. Teuku Rezasyah, mengatakan bahwa situasi di Laut Cina Selatan dapat dikatakan sangat mencekam, termasuk bagi Indonesia.

Ini salah satunya karena 9 garis putus-putus (nine-dash line), yang baru saja berkembang menjadi 10 garis, menerabas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan dekat Natuna.

Ini membuat hadirnya potensi ketegangan bahkan konflik antara China di satu sisi dan Indonesia serta negara-negara sekitar.

“Padahal, klaim wilayah oleh Cina yang ditandai garis putus-putus itu tidak ada menurut UNCLOS (Konvesi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut). Klaim itu hanya berdasarkan catatan sejarah Cina, yang menganggap bahwa nelayan-nelayan mereka sudah mengunjungi wilayah tersebut sejak ratusan atau bahkan ribuan tahun lalu,” tuturnya.

Selain tidak berdasarkan UNCLOS, klaim 9 garis putus-putus juga tidak memiliki definisi yang jelas.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
×

Ads you may like.

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas