Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Armenia Gabung Mahkamah Pidana Internasional, Kian Ancam Vladimir Putin sebagai Buronan ICC

Parlemen Armenia baru saja memutuskan untuk bergabung dengan Mahkamah Pidana Internasional pada Selasa (3/10/2023), nasib Putin kian terancam.

Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Daryono
zoom-in Armenia Gabung Mahkamah Pidana Internasional, Kian Ancam Vladimir Putin sebagai Buronan ICC
Getty Images
FILE FOTO Presiden Rusia, Vladimir Putin tampak memegang dahinya. Mata uang Rusia, Rubel dilaporkan sempat turun melewati angka 100 terhadap dolar pada Selasa (3/10/2023). 

TRIBUNNEWS.COM - Nasib Presiden Rusia Vladimir Putin yang menjadi buronan Pengadilan Pidana Internasional (ICC) kian terancam.

Pasalnya, parlemen Armenia baru saja memutuskan untuk bergabung dengan Mahkamah Pidana Internasional pada Selasa (3/10/2023).

Dengan bergabungnya Armenia ke ICC, negara bekas Uni Soviet itu wajib menangkap Putin, jika ia mengunjungi Yerevan.

Dilansir dari The Guardian, keputusan Armenia pun semakin memperburuk hubungannya dengan Moskow.

Hubungan keduanya sudah rusak sejak invasi Putin ke Ukraina dan perebutan Nagarno-Karabakh dengan Azerbaijan.

Kremlin memperingatkan bahwa keputusan Armenia untuk gabung dengan ICC menunjukkan permusuhan dengan Rusia.

Baca juga: Bus Terakhir yang Bawa Etnis Armenia Telah Tinggalkan Kota Utama Nagorno-Karabakh, Jadi Kota Hantu

Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan) berjabat tangan dengan Perdana Menteri Armenia Nikol Pashynyan (kiri) selama pertemuan mereka menjelang pertemuan Pemimpin Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif (CSTO) di Yerevan pada 23 November 2022.
Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan) berjabat tangan dengan Perdana Menteri Armenia Nikol Pashynyan (kiri) selama pertemuan mereka menjelang pertemuan Pemimpin Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif (CSTO) di Yerevan pada 23 November 2022. (KAREN MINASYAN / AFP)

Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov menggambarkan keputusan Armenia untuk bergabung dengan ICC "tidak pantas, dari sudut pandang hubungan bilateral".

Berita Rekomendasi

"Moskow sama sekali tidak setuju dengan pernyataan Perdana Menteri Armenia, Nikol Pashinyan bahwa Yerevan memutuskan menyetujui Statuta Roma," kata Peskov.

Sementara saat ditanya apakah Putin akan menghindari perjalanan ke Armenia, Peskov tidak mengkonfirmasi hal tersebut.

Rusia memiliki pangkalan militer di Armenia.

Moskow lama menjadi penjamin keamanannya, termasuk menengahi ketegangan di Nagorno-Karabakh.

Pada tahun 2020, Moskow menjadi perantara kesepakatan yang mengakhiri perang enam minggu antara Armenia dan Azerbaijan, dilansir dari VOA.

Baca juga: Negara Nagorno-Karabakh Resmi Bubar Tahun 2024, Azerbaijan dan Armenia Sepakati Dekrit

Peta Azerbaijan, Armenia, dan Nagorno-Karabakh
Peta Azerbaijan, Armenia, dan Nagorno-Karabakh (OneYoungWorld)

Perjanjian tersebut mengamanatkan agar Yerevan menyerahkan wilayah yang luas di Nagorno-Karabakh dan sekitarnya kepada Baku.

Nagorno-Karabakh merupakan bagian dari Azerbaijan yang mayoritas penduduknya adalah orang Armenia.

Rusia kemudian mengirim sekitar 2.000 pasukan penjaga perdamaian ke wilayah yang bergejolak itu.

Di satu sisi, Armenia menuduh pasukan tersebut gagal mencegah permusuhan baru-baru ini yang dilakukan oleh Azerbaijan.

Dalam pertikaian yang terjadi belum lama ini, Baku berhasil mengambil kendali penuh atas wilayah Nagorno-Karabakh.

Saat pasukan Azerbaijan mengepung Nagrono-Karabkah, Pashinyan mengkritik Moskow.

Pashinyan juga mempertanyakan efektivitas 2.000 tentara Rusia yang dikerahkan sejak tahun 2020 untuk menjaga perdamaian di wilayah tersebut.

Baca juga: Vladimir Putin Disebut-sebut akan Calonkan Diri jadi Presiden Rusia di Pemilu 2024

Ketidakmampuan Putin untuk melakukan perjalanan ke Armenia, negara yang terakhir ia kunjungi pada tahun 2022, adalah simbol memudarnya pengaruhnya di Kaukasus Selatan.

"Peran Rusia sebagai penyedia keamanan di luar negeri telah sangat berkurang akibat perang yang menghancurkan melawan Ukraina," terang Direktur Carnegie Russia Eurasia Centre, Alexander Gabuev kepada Financial Times baru-baru ini di Berlin.

"Dampak destabilisasi akan terus dirasakan di seluruh daratan Eurasia yang luas," imbuhnya.

(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas