Sejarah Panjang Konflik Israel-Palestina, Genosida yang Bermula dari Pencurian Tanah
Simak sejarah panjang konflik Israel-Palestina yang berubah menjadi genosida. Bermula dari pencurian tanah saat migrasi Yahudi ke Palestina.
Penulis: Pravitri Retno Widyastuti
Editor: Whiesa Daniswara
Pada April 1936, Komite Nasional Arab yang baru dibentuk, meminta warga Palestina untuk melancarkan pemogokan umum, menahan pembayaran pajak, dan memboikot produk-produk Yahudi.
Hal itu dilakukan untuk memprotes penjajahan Inggris dan meningkatnya imigrasi Yahudi.
Baca juga: Massa Pro-Palestina Serbu Pangkalan Udara yang Menampung Pasukan Amerika Serikat di Adana Turki
Pemogokan selama 6 bulan tersebut ditindas secara brutal oleh Inggris, yang melancarkan kampanye penangkapan massal dan penghancuran rumah, sebuah praktik yang terus diterapkan oleh Israel terhadap warga Palestina sampai sekarang.
Fase kedua pemberontakan dimulai pada akhir 1937, yang dipimpin oleh gerakan perlawanan petani Palestina.
Pemberontakan itu menargetkan kekuatan Inggris dan penjajahan.
Di paruh kedua 1939, Inggris mengerahkan 30.000 tentara di Palestina.
Desa-desa di Palestina dibom melalui udara, jam malam diberlakukan, rumah-rumah dihancurkan, dan penahanan administratif, serta pembunuhan massal terjadi secara meluas.
Di waktu yang bersamaan, Inggris bekerja sama dengan komunitas pemukim Yahudi dan membentuk kelompok bersenjata, serta "pasukan kontra pemberontakan" yang terdiri dari para pejuang Yahudi bernama Pasukan Malam Khusus, yang dipimpin Inggris.
Di dalam Yishuv, komunitas pemukim pra-negara, senjata diimpor diam-diam dan pabrik senjata didirikan untuk memperluas Haganah, paramiliter Yahudi yang kemudian menjadi inti tentara Israel.
Dalam tiga tahun pemberontakan tersebut, 5.000 warga Palestina terbunuh, 15.000-20.000 orang terluka, dan 5.600 orang dipenjarakan.
Sementara itu, menurut data tahun 1946, jumlah imigran Yahudi di Palestina antara 1920-1946 mencapai 376.415 orang.
Bagaimana rencana pembagian PBB?
Pada 1947, populasi Yahudi membengkak menjadi 33 persen di Palestina, tetapi mereka hanya memiliki enam persen tanah.
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) lantas mengadopsi Resolusi 181, yang menyerukan pembagian Palestina menjadi negara-negara Arab dan Yahudi.
Palestina menolak, karena rencana tersebut memberikan sekitar 55 persen wilayah Palestina kepada negara Yahudi, termasuk sebagian besar wilayah pesisir yang subur.