Eyes Never Lie, Tatapan Penuh Cinta Maya Si Sandera Israel ke Tentara Hamas, Stockholm Syndrome?
eyes never lie, mata tak pernah berbohong, merujuk pada tatapan penuh cinta Maya, sandera Israel, ke seorang anggota Brigade Al Qassam.
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
Sebaliknya, interaksi Maya dengan para penculiknya menantang stereotip, mengungkapkan sisi situasi yang melampaui narasi kebrutalan yang biasa digambarkan media Barat.
Hal yang membuat cerita ini semakin luar biasa adalah kelembutan tak terduga yang ditunjukkan oleh para milisi pejuang Palestina.
Meski berada dalam situasi yang sulit, mereka tampak menghibur dan melayani setiap sandera, meninggalkan kesan mendalam pada orang-orang yang mereka tahan.
Perlakuan manusiawi yang tak terduga ini telah membuat banyak tawanan, termasuk Maya, kagum atas belas kasih yang ditunjukkan para militan Palestina.
Video yang viral tersebut lalu menimbulkan beragam spekulasi dari kalangan publik dunia maya.
Sebagian besar netizen mengklaim, para sandera Hamas tersebut diduga telah menderita sebuah fenomena psikologis bernama Stockholm Syndrome.
Apa itu Stockholm Syndrome?
Stockholm Syndrome adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sebuah kondisi psikologis, dimana terbentuk sebuah ikatan emosional dalam diri korban sandera atau korban kepada pelaku.
Ikatan tersebut dapat berupa rasa simpati, empati, maupun perasaan sayang.
Di sisi lain, para psikolog menduga bahwa Stockholm Syndrome merupakan mekanisme diri para korban untuk mengatasi stres atau trauma yang berlebihan akibat penyanderaan atau penyiksaan yang mereka alami.
Selain itu, para korban juga diduga mencoba untuk memahami sudut pandang penyandera, dan secara tidak sadar mengadopsi nilai-nilai atau tujuan mereka sebagai cara untuk bertahan hidup.
Mengutip Wikipedia, nama sindrom ini pertama kali diambil dari kejadian perampokan Sveriges Kreditbank di Stockholm pada tahun 1973. Dalam insiden tersebut, perampok bank, Jan-Erik Olsson dan Clark Olofsson, diketahui menyandera karyawan bank dari tanggal 23-28 Agustus 1973.
Ketika akhirnya para korban dibebaskan, mereka secara emosional telah menumbuhkan rasa sayang kepada para penyandera, meskipun telah disekap selama enam hari. Para korban bahkan menolak memberikan kesaksian dalam pengadilan dan membela pelaku dengan mengumpulkan dana bantuan hukum.
Kondisi psikologis itu lalu dikenal dengan nama Stockholm Syndrome, yang kemudian dicetuskan oleh kriminolog dan psikiater asal Swedia, Nils Bejerot, yang membantu polisi dalam menangani insiden perampokan tersebut.
Faktor yang Mempengaruhi Stockholm Syndrome