Seiring Berlanjutnya Konflik di Sudan, SGBV Masih Jadi Ancaman Besar
Seiring berlanjutnya konflik di Sudan, Sexual and Gender-Based Violence (SGBV) atau kekerasan seksual dan berbasis gender masih menjadi ancaman besar.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Seiring berlanjutnya konflik di Sudan, Sexual and Gender-Based Violence (SGBV) atau kekerasan seksual dan berbasis gender masih menjadi ancaman besar di negara itu.
Kasus SGBV meningkat terutama selama pertempuran yang berlangsung sejak April kemarin.
"Kekerasan tersebut telah menjadi epidemi di Sudan sebelumnya, jauh sebelum tanggal 15 April," kata seorang aktivis Forum Perempuran Darfur, Sara Musa, dilansir Al Jazeera.
Musa bersama aktivis dan pekerja kemanusiaan lainnya yang terlibat di Sudan, bertemu di Kairo dalam Konferensi Kemanusiaan Sudan pada akhir November kemarin.
Di sana, mereka mendiskusikan pengalaman mereka bekerja di lapangan selama konflik.
Mereka juga menyampaikan pesan-pesan kepada organisasi bantuan internasional yang turut hadir di acara itu.
Sebagian besar pertemuan membahas SGBV dan hambatan serius untuk mengatasinya.
Baca juga: Konflik Sudan: Gedung Pencakar Langit di Khartoum Terbakar
Tragisnya SGBV adalah sesuatu yang berulang selama konflik kekerasan.
Namun, kurangnya perlindungan warga sipil di Sudan menyebabkan tingkat SGBV hampir tidak dapat diduga.
"Perempuan dan anak perempuan ditahan oleh para pelaku kekerasan selama berhari-hari setelah penyerangan, sehingga mereka tidak dapat mengakses perawatan medis dan terpaksa hamil," kata Direktur Eksekutif Organisasi Nada Elazhar untuk Pencegahan Bencana dan Pembangunan Berkelanjutan, Shaza N Ahmed kepada Al Jazeera.
"Komunitas non-Arab, seperti Masalit, di Darfur Barat sangat rentan terhadap SGBV," kata Ahmed.
"Anak perempuan mereka dijadikan budak seksual, dijual di pasar, dan diculik ke dalam prostitusi paksa," lanjutnya.
Baca juga: Rangkuman Peristiwa Timur Tengah: Gempa Maroko, Banjir Libya hingga Konflik Sudan
Ia menambahkan, para pejuang dari berbagai milisi Arab atau Pasukan Dukungan Cepat (RSF) paramiliter juga memperkosa perempuan untuk sengaja menghamili mereka.
Di negara yang melarang aborsi, pilihan bagi para penyintas sangat terbatas.
"Dalam beberapa kasus, stigma sosial telah mendorong mereka mengalami depresi atau lebih buruk lagi," kata Ahmed.
Ia seraya menambahkan bahwa stigma tersebut akan menjadi lebih buruk ketika seorang anak dilahirkan dari hasil perkosaan.
Di masa lalu, terdapat mekanisme berbasis komunitas dan jalur rujukan untuk menangani SGBV, namun kini, para korban dibiarkan berjuang sendiri , mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, trauma, dan komplikasi parah.
“Tidak ada akses terhadap layanan kekerasan seksual karena tidak ada layanan tersebut [pada awalnya] atau karena stigma sosial,” kata seorang aktivis perempuan Sudan, yang tidak mengungkapkan namanya.
“Semua fasilitas seperti rumah sakit, kantor polisi tempat Anda (dapat) melaporkan [pelanggaran] semuanya terhenti karena konflik dan pertempuran,” Musa melanjutkan.
Baik di luar Sudan atau yang mengungsi di dalam perbatasannya, warga sipil yang berusaha bertahan hidup di tengah kekerasan ini masih berada dalam bahaya SGBV jika tidak ada perlindungan yang diterapkan.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)