Israel Ancam Lancarkan Serangan Darat ke Rafah, Ini Reaksi AS, Jerman, Arab Saudi dan Afrika Selatan
Israel bersiap menyerang kota Rafah di Gaza, tempat warga Palestina mencari perlindungan dari konflik.
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa Pasukan Pertahanan Israel (IDF) akan bergerak ke Kota Rafah di Gaza selatan, bahkan jika perunding berhasil mencapai kesepakatan yang akan membuat Hamas membebaskan semua sandera Israel yang tersisa.
“Bahkan jika kami mencapainya, kami tetap akan memasuki Rafah,” kata Netanyahu dalam pidato yang disiarkan televisi, Sabtu (17/2/2024).
“Kami akan melakukannya.”
Menurut Israel, 130 sandera masih ditahan oleh Hamas.
Saat ini diperkirakan ada 1,4 juta orang yang berdesakan di Rafah.
Banyak dari mereka telah melarikan diri, bahkan berkali-kali, dari tempat lain di Jalur Gaza untuk mencari perlindungan dari serangan Israel.
IDF memulai operasi skala besar di Gaza pada 7 Oktober 2023.
Sejauh ini, lebih dari 28.900 warga Palestina tewas dalam serangan Israel di Jalur Gaza, menurut Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas.
Di Rafah, situasi kemanusiaan sangat buruk, banyak orang tinggal di jalanan atau di tenda-tenda dalam suhu dingin, tanpa akses terhadap makanan dan air bersih.
Rencana Israel untuk menyerang Rafah telah memicu reaksi keprihatinan di seluruh dunia, DW melaporkan.
Amerika Serikat
AS, sekutu terkuat Israel, mengatakan pada Minggu (18/2/2024) bahwa mereka akan memveto rencana resolusi PBB.
Baca juga: DK PBB akan Lakukan Pemungutan Suara Tuntut Gencatan Senjata di Gaza, AS akan Gunakan Hak Vetonya
Rancangan PBB menyerukan gencatan senjata kemanusiaan segera dan akses kemanusiaan tanpa halangan ke Gaza, dan menolak pemindahan paksa warga Palestina.
Namun bahkan Presiden AS Joe Biden tampaknya mewaspadai rencana Israel melancarkan serangan darat di Rafah.
Biden mengatakan kepada Netanyahu melalui panggilan telepon bahwa Israel tidak boleh melanjutkan aksi militer di Rafah tanpa rencana yang kredibel dan tanpa melindungi warga sipil Palestina, menurut laporan Reuters.