Inkonsistensi AS soal Nasib di Gaza: Teriakkan Gencatan Senjata, tapi Veto Resolusi PBB
Amerika Serikat (AS) kembali menunjukkan inkonsistensi di Dewan Keamanan PBB ketika pemungutan suara soal gencatan senjata segera di Gaza.
Penulis: Whiesa Daniswara
Editor: Sri Juliati
"Saya telah menyatakan hal ini - dan saya sangat yakin akan hal ini - bahwa harus ada gencatan senjata sementara untuk mengeluarkan para tahanan, untuk mengeluarkan para sandera. Dan hal itu sedang dilakukan. Saya masih berharap hal itu bisa dilakukan," ucap Biden pada 16 Februari 2024.
Hal ini berbeda dengan penyebutan "jeda" ketika kesepakatan penyanderaan sebelumnya dinegosiasikan pada bulan November.
"Saya ingin jeda ini terus berlanjut selama tahanan terus keluar," ujar Biden pada 26 November 2023 lalu.
Baca juga: China Kecam Langkah AS Memveto Resolusi DK PBB Terkait Gencatan Senjata di Gaza
Para pejabat AS mengatakan perubahan bahasa yang dilakukan Biden tidak ada hubungannya dengan para pengkritiknya.
Sebaliknya, kata mereka, hal ini mencerminkan upaya intens untuk menegosiasikan kesepakatan antara Israel dan Hamas untuk menghentikan pertempuran selama enam hingga delapan minggu dengan imbalan pembebasan sandera yang ditahan di Gaza dan mempercepat pengiriman bantuan kemanusiaan kepada warga sipil.
Pemikiran di Gedung Putih adalah jika pertempuran bisa dihentikan selama itu, maka gencatan senjata yang lebih lama bisa terjadi.
Namun serangan Israel yang direncanakan di Rafah, kota Gaza selatan di mana lebih dari satu juta warga Palestina mengungsi, akan mempersulit upaya untuk menghentikan pertempuran tersebut.
Para pejabat AS bersikeras bahwa Biden tidak menyerukan gencatan senjata permanen, sebuah cerminan dari firasatnya bahwa Israel memiliki hak untuk mempertahankan diri setelah militan Hamas membunuh 1.200 orang di Israel selatan pada 7 Oktober.
Aaron David Miller, peneliti senior di Carnegie Endowment for International Peace dan pakar Timur Tengah, mengatakan perubahan retorika Biden tidak mencerminkan perubahan besar tetapi mencerminkan kekhawatiran pemerintah atas potensi serangan Rafah.
(Tribunnews.com/Whiesa)