Pekerja Bantuan Gaza: Warga Palestina Terlalu Lapar untuk Tinggalkan Rafah, Tidak Kuat Berjalan
Perintah untuk pindah ke luar kota tidak ada artinya bagi orang-orang yang 'tidak dapat berjalan' karena kelaparan, kata para pekerja bantuan
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Bobby Wiratama
TRIBUNNEWS.COM - Pada hari Senin (6/5/2024), pasukan Israel menyebarkan pamflet yang menyuruh warga Palestina untuk meninggalkan Rafah.
Militer Israel mengancam akan melakukan operasi di wilayah paling selatan Jalur Gaza itu, yang sudah dipadati penduduk yang mengungsi.
Mengutip Middle East Eye, PBB memperkirakan ada sekitar 1,2 juta orang yang tinggal di kamp-kamp penampungan di Rafah, dengan kondisi yang menyedihkan.
“Kelaparan besar-besaran yang terjadi di bagian utara Gaza telah menyebar ke bagian selatan," kata Cindy McCain, kepala Program Pangan Dunia, akhir pekan lalu.
Ada sekitar 200 warga Palestina yang terpaksa mengungsi dari Rafah setiap jamnya, kata Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (Unrwa) pada hari Rabu (8/5/2024).
Dalam konferensi pers online, para dokter dan pekerja bantuan kemanusiaan yang melaporkan dari Gaza berbicara tentang mustahilnya memindahkan orang dari Rafah.
Sebab, orang-orang di sana dilanda kelaparan serta ditambah dengan runtuhnya sistem transportasi dan layanan kesehatan.
"Ada anak-anak dan orang tua yang sangat kelaparan sehingga mereka hampir tidak bisa berjalan. Orang-orang ini tidak bisa begitu saja pindah ke daerah lain, ke tempat yang mereka sebut 'zona aman'. Itu tidak mungkin," kata Alexandra Saieh, kepala kebijakan kemanusiaan dari Save the Children.
Beberapa pekerja bantuan menyatakan bahwa tidak ada daerah yang aman di Jalur Gaza untuk direlokasi.
“Konsep zona aman adalah sebuah kebohongan,” kata Helena Marchal, dari Medecins du Monde.
Pergerakan yang terbatas
Para pekerja bantuan juga menegaskan kembali sulitnya memasukkan bantuan ke Gaza dan kemudian mendistribusikannya.
Baca juga: Amerika Tangguhkan Pengiriman Senjata ke Israel, Ini 6 Hal yang Perlu Diketahui
Penyeberangan Rafah dan Kerem Shalom, yang merupakan pintu masuk pengiriman bantuan, telah ditutup sejak Minggu malam.
Jalan-jalan di Gaza sebagian besar hancur atau diblokir oleh orang-orang yang berlindung, sehingga berkontribusi terhadap sulitnya pergerakan barang dan orang.
"Hanya sejumlah kecil rute, terutama antara utara dan selatan, yang tersedia untuk keperluan kemanusiaan," kata Jeremy Konyndyk, dari Refugees International.
Masalah lainnya adalah kepadatan yang berlebihan.
“Di Deir al-Balah dan daerah Mawasi di pinggiran Rafah dan Khan Younis, hampir tidak ada tempat,” kata Ghada Alhaddad, dari Oxfam International.
"Ada tenda di mana-mana, di pantai, di trotoar, di jalan, di kuburan, di halaman rumah, rumah sakit, di halaman sekolah."
Saieh menjelaskan bahwa timnya membutuhkan waktu enam minggu dan empat kali gagal untuk memindahkan beberapa ratus paket makanan dari Rafah ke utara Gaza.
Bahan bakar masuk melalui penyeberangan Rafah.
“Seluruh operasi bantuan menggunakan bahan bakar. Jika bahan bakar dihentikan, operasi bantuan akan gagal,” kata Konyndyk.
Malnutrisi parah
Profesor John Maynard, seorang ahli bedah dari Inggris yang telah menghabiskan dua minggu terakhir mengoperasi warga Palestina di Gaza, menyoroti komplikasi langsung akibat dari kekurangan gizi.
“Saya mempunyai dua pasien, 16 dan 18 tahun, keduanya menderita luka yang masih bisa disembuhkan, tapi keduanya meninggal minggu lalu akibat kekurangan gizi.”
Rekannya, Dr Kahler, berbicara tentang “titik kritis” di mana enam-delapan bulan, sistem imunologi tubuh bisa rusak.
“Pada saat itulah infeksi dan komplikasi akibat malnutrisi akan dimulai,” tambahnya.
Bencana kelaparan (famine) terjadi jika kurangnya akses terhadap makanan yang berkepanjangan dan parah, tingginya tingkat kekurangan gizi pada anak-anak, dan tingginya angka kematian akibat kelaparan dan penyakit.
Baca juga: WHO Ingatkan Dampak Mengerikan yang Akan Terjadi akibat Serangan Israel ke Rafah
Ketiga ambang batas itu telah dilewati di utara, kata Konyndyk.
“Jika terjadi invasi Rafah, hal ini tentu akan membuat segalanya melewati titik kritis, dan kita akan melihat meroketnya angka kematian akibat kelaparan.”
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)