Perubahan Iklim Picu Peningkatan Risiko Turbulensi Pesawat Imbas Kenaikan Suhu Atmosfer
Perjalanan udara dengan pesawat terbang diprediksi semakin berbahaya karena meningkatnya risiko turbulensi yang dipicu kenaikan suhu di atmosfer.
Penulis: willy Widianto
Editor: Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perjalanan udara dengan pesawat terbang diprediksi semakin berbahaya.
Alasannya karena meningkatnya risiko turbulensi yang dipicu kenaikan suhu di atmosfer.
Turbulensi atmosfer telah menyumbang 71 persen dari cedera terkait cuaca dalam penerbangan dan turbulensi bakal memburuk dengan pemanasan global.
Berdasarkan laporan penelitian dari ilmuwan di University of Reading, Inggris, tentang tren turbulensi udara terkait pemanasan global ini diterbitkan dalam jurnal internasional Climate Dynamics edisi Maret 2023.
Isabel H Smith dari Department of Meteorology menjadi penulis pertama paper ini.
Para ilmuwan di Reading University di Inggris tersebut mempelajari turbulensi udara jernih, yang lebih sulit dihindari oleh pilot.
Baca juga: Cerita Horor Singapore Airlines Turbulensi: Pesawat Tiba-tiba Miring, Penumpang Terlempar ke Atas
Mereka menemukan bahwa turbulensi parah telah meningkat sebesar 55 persen antara tahun 1979 dan 2020 di rute Atlantik Utara yang biasanya sibuk.
Mereka memperkirakan peningkatan tersebut disebabkan oleh perubahan kecepatan angin di dataran tinggi akibat pemanasan udara akibat emisi karbon.
“Setelah penelitian selama satu dekade menunjukkan bahwa perubahan iklim akan meningkatkan turbulensi udara jernih di masa depan, kini kami memiliki bukti yang menunjukkan bahwa peningkatan tersebut sudah dimulai,” kata Prof Paul Williams, ilmuwan atmosfer di University of Reading yang ikut menulis pembelajaran dikutip dari BBC beberapa waktu lalu.
Baca juga: President AOT: Cuaca Buruk Jadi Dugaan Sementara Singapore Airlines Mengalami Turbulensi
“Kita harus berinvestasi dalam sistem prakiraan dan deteksi turbulensi yang lebih baik, untuk mencegah kondisi udara yang lebih buruk berubah menjadi penerbangan yang lebih bergelombang dalam beberapa dekade mendatang," lanjutnya.
Rute penerbangan di AS dan Atlantik Utara mengalami peningkatan terbesar.
Eropa, Timur Tengah, dan Atlantik Selatan juga mengalami peningkatan turbulensi yang signifikan.
Prof Williams mengatakan peningkatan turbulensi disebabkan pergeseran angin yang lebih besar atau perbedaan kecepatan angin dalam aliran jet, sistem angin kencang yang bertiup dari barat ke timur, sekitar lima hingga tujuh mil di atas permukaan bumi.
Hal ini terjadi karena adanya perbedaan suhu antara garis khatulistiwa dan kutub.
Meskipun satelit tidak dapat melihat turbulensi, mereka dapat melihat struktur dan bentuk aliran jet sehingga memungkinkan untuk dianalisis.
Radar dapat mendeteksi turbulensi badai, namun turbulensi udara jernih hampir tidak terlihat dan sulit dideteksi.
Penerbangan yang bergejolak tidak hanya tidak nyaman, tetapi juga dapat menyebabkan cedera bagi penumpang dalam penerbangan.
Turbulensi parah sangat jarang terjadi, namun turbulensi di udara jernih bisa terjadi secara tiba-tiba, ketika penumpang tidak mengenakan sabuk pengaman.
“Tidak seorang pun boleh berhenti terbang karena mereka takut akan turbulensi, namun masuk akal untuk tetap mengenakan sabuk pengaman setiap saat, kecuali jika Anda sedang bergerak, dan itulah yang dilakukan pilot,” kata Prof Williams.
"Itu hampir merupakan jaminan bahwa Anda akan aman bahkan dalam turbulensi terburuk sekalipun," ujarnya.
Diketahui, kekinian Pesawat Singapore Airline mengalami turbulensi parah saat perjalanan dari London ke Singapura.
Penerbangan pesawat Boeing 777-300 ER bernomor SQ321 tersebut kemudian dialihkan mendarat ke Bandara Suvarnabhumi Bangkok (BKK) dan mendarat pukul 15.45 waktu Bangkok atau pukul 08.45 GMT.
Sebelumnya, British Airways BA 12 tujuan Singapura-London menggunakan Boeing 777-300 pada 15 Juni 2023 mengalami turbulensi parah di atas Perairan Andaman.
Penumpang dan awak cedera dalam apa yang disebut sebagai turbulensi terburuk yang pernah dialami maskapai ini selama bertahun-tahun.
Kemudian, Malaysia Airlines MH370 tujuan Kuala Lumpur-Beijing hilang kontak pada 8 Maret 2014 silam.
Sebelum dinyatakan hilang kontak pesawat tersebut berdasarkan radar terakhir melintas di Perairan Andaman.
Sepuluh tahun berlalu hingga kini pesawat tersebut belum ditemukan.(BBC)
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya
A member of
Follow our mission at sustainabilityimpactconsortium.asia