Sniper IDF Tembak Ibu Palestina Saat Ingin Bawa Jasad Sang Anak yang Sudah Dieksekusi Duluan
Anaknya ditembak IDF di jalanan Gaza Tengah. Sang ibu Palestina yang tak tega meninggalkan jasadnya, mencoba membawanya, tapi juga ditembak IDF.
Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
Sniper IDF Tembak Ibu Palestina Saat Ingin Bawa Jasad Sang Anak yang Sudah Dieksekusi Duluan
TRIBUNNEWS.COM - Situs Khaberni, Rabu (5/6/2024) mengulas kejahatan keji lainnya yang dilakukan tentara pendudukan Israel (IDF) terhadap warga sipil Palestina.
Dalam sebuah video yang dilansir situs tersebut, dijelaskan kalau sniper IDF awalnya menembak seorang anak Palestina yang dikabarkan hendak mencari kayu bakar.
Anak Palestina itu disebutkan tewas atas penembakan tersebut.
Baca juga: IDF Balik Lagi ke Gaza Tengah, Kembali Kena Jebak Pancingan Al Qassam: 15 Tentara Rebah Sekali Bom
Keesokan harinya, ibu sang anak berinisitif untuk mengambil jasad sang anak yang tergeletak di lokasi penembakan yang disebut berada di sebuah jalan utama di Gaza Tengah.
"Sang ibu tak tega meninggalkan tubuh anaknya di jalanan, jadi dia datang besok harinya untuk membawanya," tulis narasi dalam bahasa inggris di video tersebut.
Namun, niat sang ibu dijegal oleh timah panas sniper IDF yang sebelumnya sudah mengeksekusi anaknya.
Dijelaskan, sang ibu masih bisa bangkit dan berupaya kembali membawa jasad sang anak. Hanya, napas perjuangannya dihabisi oleh serangan sebuah drone pengintai IDF.
Berikut video yang dilansir website tersebut:
Baca juga: Al Qassam Ledakkan Ladang Ranjau Saat Dijejali Pasukan IDF di Rafah, Tentara Israel Hujan Mortir
Perlakuan Sangat Kejam ke Tahanan Palestina
Kekejaman tentara Israel dilaporkan juga dilakukan terhadap warga Palestina yang mereka tahan.
Seorang dokter Israel yang tidak disebutkan namanya menyampaikan laporan soal kondisi tahanan Palestina yang diculik pasukan Israel dari Gaza.
Kondisi ini diketahui dokter tersebut saat diminta Pasukan Pertahanan Israel (IDF) datang ke kamp militer Sde Teiman di gurun al-Naqab.
Ia dikirim ke kamp militer itu untuk mengoperasi seorang warga Palestina yang diculik dari Gaza dan menderita luka tembak.
Berdasarkan keterangan dokter tersebut, pasien itu tidak memiliki nama.
Semua tahanan Palestina yang ada di kamp militer Sde Teiman, diikat di tempat tidur sehingga tidak bisa bergerak.
Mereka ditutup matanya dan tak diberi pakaian, hanya mengenakan pakaian dalam dan popok.
"Ini jelas merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa dan Kode Etik WHO. Ini lebih dari sekedar penyiksaan fisik dan psikologis," kata dia baru-baru ini, dikutip dari Al Mayadeen.
Sebelumnya, laporan pelecehan di Sde Teiman telah muncul di media Israel dan Arab, menyusul protes dari kelompok hak asasi manusia Israel dan Palestina mengenai kondisi tahanan di sana.
Tapi, kesaksian langka dari seorang dokter Israel yang bekerja di fasilitas tersebut memberikan "wawasan tambahan mengenai kebijakan Israel" yang melakukan penyiksaan dan pelecehan sistematis di tengah genosida di Gaza.
Hal ini lebih lanjut membantah klaim pemimpin Israel, yang mengatakan mereka bertindak sesuai praktik dan hukum internasional.
Diketahui, rincian kesaksian sang dokter sejalan dengan informasi yang dikumpulkan CNN dari berbagai sumber tentang kondisi mengerikan tahanan Palestina.
Baca juga: Mantan Menteri Israel Ragukan Kemampuan Negaranya: Kami Gagal Menaklukkan Musuh Terlemah di Gaza
CNN Bongkar Metode Penyiksaan Mengerikan IDF
Pada bulan lalu, tiga pengungkap fakta (whistleblower) Israel yang bekerja di kamp militer Sde Teiman.
Sde Teiman dikenal sebagai sebuah tempat "penahanan" bagi warga Palestina yang diculik selama invasi Israel ke Gaza.
Tiga pengungkap fakta itu memberikan kesaksian mereka mengenai pelanggaran sistematis yang dilakukan militer Israel.
Pelanggaran itu termasuk para tahanan yang ditutup matanya dan terpaksa memakai popok, CNN melaporkan.
Mereka menggambarkan kondisi suram yang dihadapi tahanan Palestina di Sde Teiman, di mana menurut mereka, para tahanan tidak diperbolehkan bergerak, berbicara, atau bahkan mengintip lewat penutup mata.
"Kami diberi tahu, mereka (para tahanan) tidak diperbolehkan bergerak. Mereka harus duduk tegak. Mereka tidak diperbolehkan biccara. Tidak diperbolehkan mengintip melalui penutup mata," ujar seorang pelapor kepada CNN.
Penjaga diperintahkan untuk tetap menjaga keheningan dengan menggunakan perintah dalam bahasa Arab, seperti uskot yang berarti diam.
Penjaga juga ditugaskan mengidentifikasi dan menghukum individu yang diberi label "bermasalah".
Mereka, para pelapor, menggambarkan "penggeledahan rutin ketika para penjaga melepaskan anjing-anjing besar ke arah tahanan yang sedang tidur, melemparkan granat suara saat pasukan menerobos masuk."
Baca juga: 17 Negara Larang Warga Israel Masuk Wilayah Mereka, Murka atas Genosida di Gaza
Menurut pelapor, pemukulan terhadap tahanan kerap dilakukan karena rasa dendam, bukan bermaksud untuk mendapatkan informasi.
Salah satu dari pelapor menceritakan bagaimana dia menyaksikan amputasi yang dilakukan terhadap tahanan pria.
Tahanan itu diamputasi karena menderita luka-luka di pergelangan tangannya yang diikat terus-menerus.
Sebagai informasi, Sde Teiman terletak sekitar 18 mil dari pagar pemisah Gaza.
Fasilitas itu dibagi menjadi dua bagian, ruang tertutup di mana sekitar 70 tahanan Palestina harus menjalani pengekangan fisik yang ekstrem dan rumah sakit lapangan di mana tahanan yang terluka tidak dapat bergerak, hanya mengenakan popok, serta diberi makan menggunakan sedotan.
IDF Tahan 20 Warga Palestina di Tepi Barat
Menyusul kesaksian dokter Israel soal kondisi tahanan di kamp militer Sde Teiman, IDF kembali menahan 20 warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki, Senin (3/6/2024).
Media Palestina, WAFA, melaporkan penangkapan itu terjadi pada Minggu (2/6/2024) malam hingga Senin, menurut Komisi Urusan Tahanan dan Mantan Tahanan, serta Masyarakat Tahanan Palestina.
Mereka mengatakan dalam pernyataan bersama, jumlah total warga Palestina di Tepi Barat yang ditahan telah meningkat mencapai hampir 9.000 orang sejak 7 Oktober 2023.
Angka itu termasuk individu yang ditangkap di rumah mereka, di pos pemeriksaan militer, mereka yang menyerah di bawah tekanan, dan mereka yang disandera di Tepi Barat.
Operasi penahanan tersebut disertai sabotase yang meluas, penghancuran rumah warga sipil Palestina, eksekusi di lapangan, penembakan langsung, pemukulan yang kejam, penyelidikan lapangan, dan penggunaan warga sipil sebagai tameng manusia.
Statistik ini mencakup mereka yang masih ditahan dan mereka yang kemudian dibebaskan.
Baca juga: Keluarga Sandera Israel: Jangan Biarkan Netanyahu Jadi Penghalang Gencatan Senjata
Terpisah, kelompok hak asasi manusia, Amnesty International, mengatakan pada November 2023 lalu, pihak berwenang Israel "secara dramatis meningkatkan alasan penahanan administratif" tanpa tuduhan untuk menahan warga sipil Palestina, dilansir UPI.
Amnesty International telah mendokumentasikan kasus-kasus tentara Israel yang menyiksa tahanan Palestina, termasuk "pemukulan hebat" dan "penghinaan."
Kelompok itu mengungkapkan, penyiksaan semacam itu telah terjadi "selama beberapa dekade" sebelum serangan Hamas pada 7 Oktober.
(oln/khbrn/*)