Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Tiga Fase Agresi Militer Tentara Israel di Gaza, Apa Artinya? Qassam Kini Lakukan Pertahanan Aktif

pasukan Pendudukan Israel mengincar Rafah, Rute Philadelphia, dan poros Salah al-Din sejak awal agresi tetapi meninggalkan Rafah untuk tahap terakhir.

Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
zoom-in Tiga Fase Agresi Militer Tentara Israel di Gaza, Apa Artinya? Qassam Kini Lakukan Pertahanan Aktif
rntv/tangkap layar
Tank-tank Pasukan Israel (IDF) bermanuver saat melancarkan agresi militer di Gaza. IDF dilaporkan kini menjalankan fase ketiga -tahap terakhir- dalam agresi militernya di Gaza. 

Tiga Fase Agresi Militer Tentara Israel di Gaza, Apa Artinya? Qassam Kini Lakukan Pertahanan Aktif

TRIBUNNEWS.COM - Pasukan Pendudukan Israel (IDF) disebutkan membagi agresi militer mereka di Gaza menjadi tiga fase.

Fase pertama itu melibatkan invasi militer, dimulai dari utara Gaza, khususnya di Beit Lahia dan Beit Hanoun.

Baca juga: Babak Belur di Jabalia, Batalyon 202 IDF Lihat Keanehan Petempur Brigade Al-Qassam di Gaza Utara

"Adapun fase kedua berfokus pada penarikan diri dari kota-kota besar untuk melakukan operasi lebih lanjut, yang secara efektif mengubah daerah-daerah tersebut menjadi “zona penyangga”," menurut analis dan ahli strategi militer Dhaifallah Duboubi.

Duboubi, berbicara di acara "News at Seven" di RNTV, mencatat kalau pasukan Pendudukan Israel mengincar Rafah, Rute Philadelphia, dan poros Salah al-Din sejak awal agresi tetapi meninggalkan Rafah untuk tahap terakhir.

Hal itu berarti, Pasukan IDF saat ini sudah menjalankan fase ketiga mereka dalam agresi militer mereka di Gaza.

Baca juga: Sumber Keamanan Israel: Hamas Gagalkan Operasi Fase B IDF, Invasi Rafah Berakhir dalam 2 Minggu  

Pasukan Israel beroperasi di kawasan Timur Rafah, Gaza Selatan, 15 Mei 2024.
Pasukan Israel beroperasi di kawasan Timur Rafah, Gaza Selatan, 15 Mei 2024. (HandOut/Israel Defense Forces)

Dia menjelaskan kalau Pasukan Israel bertujuan untuk melakukan operasi dua tahap, yang awalnya memaksa pengungsian warga dari Rafah.

BERITA REKOMENDASI

Dampak operasi itu, sekitar 1,2 juta orang mengungsi dari Rafah dalam waktu tiga minggu.

"Operasi di Rafah dibagi menjadi tiga tahap, dan tahap ketiga diperkirakan merupakan upaya jangka panjang yang dilakukan pasukan Pendudukan Israel," menurut Duboubi.

Duboubi menggambarkan peralihan perlawanan dari "pertahanan pasif ke pertahanan aktif."

Dinyatakan, pertahanan aktif yang dimaksud adalah manuver tempur Brigade Al Qassam, sayap militer Hamas, yang tidak sekadar menunggu namun kini melakukan penyergapan dengan lebih dulu memancing pasukan Israel ke lokasi dan area yang sudah disiapkan.

Baca juga: Pakar Militer: 19 Brigade Israel Kelelahan di Gaza, Qassam Ubah Prinsip Tempur Jadi Silakan Masuk

Milisi perlawanan Palestina dilaporkan memberikan perlawanan sengit di Kamp Shaboura di kota Rafah, selatan Jalur Gaza, saat tentara Israel kembali melakukan penyerbuan di sana, Kamis (20/6/2024).
Milisi perlawanan Palestina dilaporkan memberikan perlawanan sengit di Kamp Shaboura di kota Rafah, selatan Jalur Gaza, saat tentara Israel kembali melakukan penyerbuan di sana, Kamis (20/6/2024). (khaberni)

Taktik Qassam Pintar Adaptasi Perang Panjang

Pakar militer dan ahli strategis dari Yordania, Nidal Abu Zaid memberikan analisisnya terkait perkembangan situasi dan pertempuran di Gaza dan wilayah pendudukan utara Israel di perbatasan Lebanon.

Dilansir Khaberni, Abu Zaid menyebut, meski tentara Israel (IDF) memiliki keunggulan dalam hal intelijen teknis, teknologi, dan pengintaian tingkat lanjut, namun milisi Brigade Al Qassam, sayap perlawanan Hamas, mampu mengimbanginya dengan mengubah topografi operasi penyerangan dan penyergapan. 

Baca juga: Skenario Gencatan Senjata Gaza Gagal, Hizbullah Punya 1 Juta Rudal, Israel Menyerang 1 September

Abu Zaid menjelaskan, IDF menerapkan konsep “pemadaman api,” yang digunakan secara luas oleh tentara Israel selama perang Gaza.

Artinya, IDF akan menerjunkan pasukan dan beroperasi di wilayah yang mereka curigai sebagai kantung-kantung milisi perlawanan atau di mana mereka mendapatkan info adanya sandera berada.

Setelah 'membongkar' wilayah itu dengan kekuatan besar, IDF lazimnya menarik pasukan untuk diterjunkan ke wilayah target lainnya di Gaza.

"Ini menunjukkan kalau pasukan pendudukan sedang mencoba menerapkan prinsip bahwa apa yang tidak dibasmi secara keras akan timbul dengan kekerasan yang lebih besar. Namun prinsip ini telah terbukti kegagalannya sejak awal operasi di Gaza," kata dia.

Satu di antara penyebab kegagalan konsep tempur IDF ini adalah adaptasi strategi milisi perlawanan yang disesuaikan dengan reaksi dan manuver pasukan pendudukan Israel.

Abu Zaid menganalisis, Al Qassam saat ini lebih secara pintar melakukan penyerangan tanpa harus boros dalam penggunaan amunisi dan senjata serta personel pasukan.

Baca juga: Al Qassam Hajar 2 Tank Merkava di Rafah, IDF Mandi Mortir di Zaytoun, Adu Kuat Strategi di Netzarim

Petempur Brigade Al Qassam, sayap bersenjata Hamas. Operasi darat tentara Israel di Rafah direspons dengan perlawanan sengit Brigade Al Qassam dan faksi milisi lain perlawanan Palestina.
Petempur Brigade Al Qassam, sayap bersenjata Hamas. Operasi darat tentara Israel di Rafah direspons dengan perlawanan sengit Brigade Al Qassam dan faksi milisi lain perlawanan Palestina. (khaberni/HO)

Begitu juga dengan pengerahan pasukan, Qassam cenderung melakukan 'fregmentasi' pasukan, memecahnya ke dalam unit-unit kecil untuk melakukan penyergapan.

Selain dapat bisa secara cepat mundur kala eskalasi pertempuran membesar, strategi ini juga sangat efektif 'menghemat' personel karena kalau pun mereka terdesak, jumlah anggota yang gugur hanya terbatas pada unit kecil tersebut.

Strategi di lapangan ini kemudian dikoordinasikan dengan jalur diplomatik yang membuat Israel tidak hanya tertekan di medan pertempuran tapi juga di panggung komunitas internasional.

Faktor-faktor ini yang membuat Hamas tetap lestari meski Israel sudah mengerahkan kekuatan dahsyat dari sisi militer dan politik selama sembilan bulan terakhir.

"Perlawanan baru-baru ini mulai mengandalkan fragmentasi kekuatan dan tidak terlibat dalam bentrokan yang menentukan (besar-besaran), yang dengan jelas menunjukkan kalau milisi perlawanan telah memisahkan jalur militer dari jalur diplomatik dan merencanakan skenario terburuk yang mungkin terjadi di masa depan," kata-kata Abu Zaid.

Baca juga: 3 Hal di Balik Remuknya Israel di Jabalia: IDF Salahkan Politisi, Qassam Kini Kuasai Jurus Hizbullah

Pasukan Israel (IDF) melakukan operasi militer di Jabalia, Gaza Utara, 14 Mei 2024. Operasi IDF di Jabalia mendapat perlawanan sengit Brigade Al Qassam, sayap militer Hamas.
Pasukan Israel (IDF) melakukan operasi militer di Jabalia, Gaza Utara, 14 Mei 2024. Operasi IDF di Jabalia mendapat perlawanan sengit Brigade Al Qassam, sayap militer Hamas. (Emanuel Fabian/Times of Israel)

IDF Tak Mau Remuk Seperti di Jabalia

Di medan pertempuran, Abu Zaid menunjukkan, kalau pergerakan Brigade Lapis Baja 401 dari poros Philadelphia menuju kamp Rafah, yang terbagi menjadi dua bagian, kamp Yabna dan Shaboura, menunjukkan kalau pasukan pendudukan berhati-hati dan tidak mau mengulangi model kamp Jabalia.

"Jadi mereka cenderung tidak mau terlibat dalam bentrokan yang menentukan (gede-gedean) dengan kelompok perlawanan," kata dia.

Baca juga: Jenderal Top Pentagon Ungkap Kebodohan Berulang Strategi Militer Israel di Gaza: Hamas Itu Ideologi

Ini menjelaskan alasan di balik rendahnya intensitas operasi (IDF dan Hamas) selama beberapa hari terakhir.

"Meskipun terdapat intensitas gerakan militer, baik kelompok perlawanan maupun kelompok pendudukan Israel tidak mau terlibat dalam bentrokan yang menentukan. Pihak pendudukan menjadi lebih berhati-hati dalam konfrontasi militer," kata dia.

Asap mengepul dari serangan Israel di kota perbatasan Lebanon. Konfrontasi gerakan Hizbullah dan tentara IDF makin sengit seiring berlanjutnya invasi Israel di Jalur Gaza.
Asap mengepul dari serangan Israel di kota perbatasan Lebanon. Konfrontasi gerakan Hizbullah dan tentara IDF makin sengit seiring berlanjutnya invasi Israel di Jalur Gaza. (khaberni/HO)

Hizbullah Membunuh Secara Perlahan

Di utara, sebagai akibat dari meningkatnya intensitas operasi militer antara Hizbullah dan tentara pendudukan IDF di utara wilayah pendudukan di Lebanon selatan, gerakan Hizbullah juga menunjukkan respons yang cukup mengagetkan Israel

Abu Zaid menunjukkan kalau pembunuhan seorang tokoh militer terkemuka sekaliber “Talib Salem Abdullah,” sapaan akrabnya (Hajj Thalib), yang merupakan komandan unit Al-Nasr yang bertanggung jawab atas operasi militer di sektor tengah Galilea di utara membuat Hizbullah kini menyasar sasaran strategis Israel di wilayah pendudukan.

"(Pembunuhan tokoh militer Lebanon) menyebabkan peningkatan intensitas respons Hizbullah hingga mereka mencapai keberhasilannya dengan menargetkan pabrik “Blasan” yang ditunjuk untuk memproduksi pelat baja untuk kendaraan militer pasukan pendudukan," kata dia.

Abu Zaid menunjukkan bahwa meskipun terjadi peningkatan eskalasi di front utara, indikator-indikator tersebut tidak menunjukkan kalau konfrontasi tersebut segera menuju ke perang total secara terbuka.

Abu Zaid menyimpulkan analisisnya dengan mengatakan bahwa apa yang disaksikan di bagian utara wilayah pendudukan lebih dari sekadar serangan tradisional namun lebih ke perang atrisi di mana tujuan Hizbullah adalah membunuh musuh secara perlahan.

"Kita sedang menyaksikan konfrontasi militer yang dikontrol dengan hati-hati oleh baik oleh Hizbullah dan Tentara pendudukan karena karena keputusan untuk berperang di utara wilayah pendudukan di Lebanon selatan bukan di tangan Hizbullah dan bukan di tangan Israel, melainkan di tangan Washington dan Tel Aviv tampaknya tidak mau untuk memperluas lingkaran konflik sebanyak mereka ingin bergerak menuju ketenangan," katanya.

(oln/rntv/khbrn/*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas