Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun
Deutsche Welle

Pertaruhan Masyarakat Adat Papua, Takut Hutan Digusur Hanya untuk Sawit

Bagi masyarakat adat Papua, hutan bukan hanya menjadi sumber pangan, tetapi warisan orang tua. Hadirnya berbagai proyek industri hanya…

zoom-in Pertaruhan Masyarakat Adat Papua, Takut Hutan Digusur Hanya untuk Sawit
Deutsche Welle
Pertaruhan Masyarakat Adat Papua, Takut Hutan Digusur Hanya untuk Sawit 

"Kita ingin lihat apakah MA akan menerapkan nilai-nilai dan peraturan yang telah dibuat dalam kasus ini dan kasus-kasus lingkungan lainnya. Apabila peraturan itu diterapkan, kami yakin akan ada keadilan bagi para pembela lingkungan yang saat ini sedang berjuang di mana pun untuk memperjuangkan hak atas lingkungan yang baik," ujar Tigor.

Kasasi di Mahkamah Agung adalah harapan yang tersisa bagi Hendrikus dan masyarakat adat untuk mempertahankan hutan adat.

"Kami ini sudah maju dengan terhormat, jadi harapan kami tidak ada jalan lain, Mahkamah Agung sebagai orang tua kami-kami tahu bahwa pemerintah bisa mengatur kami dengan baik sehingga kami maju dengan terhormat. Izin-izin (perusahaan) harus dicabut. Dan kembalikan tanah adat kami supaya kami tetap bisa hidup aman dan damai di atas tanah adat kami," kata Hendrikus kepada DW Indonesia lewat sambungan telepon.

PT Indo Asiana Lestari menolak berkomentar terkait pemberitaan ini ketika tim DW Indonesia menghubungi lewat telepon.

"Kalau kuburan leluhur digusur, kami berdosa terhadap mereka"

Sebagai sumber penghidupan, hutan adat Papua menyimpan keanekaragaman hayati yang tak ternilai harganya. Salah satunya adalah sagu. Selain menjadi makanan pokok, daun sagu bisa dibuat menjadi aksesoris hingga atap rumah tradisional. Bahkan pucuk sagu bisa dijadikan sayur rebung dan garam khas Papua.

"Pohon sagu saja kegunaannya banyak, pohon nibung saja kegunaannya banyak. Itu baru dua pohon, belum yang lain. Itu sangat berharga semua. Itu sebabnya kami katakan bahwa tanah dan hutan adat adalah sumber kehidupan bagi kami," jelas Hendrikus.

Selain itu, kekhawatiran masyarakat adat adalah potensi tercemarnya sumber air.

BERITA TERKAIT

"Air-air itu akan rusak. Karena di dalam hutan, kami masyarakat adat tidak pernah memasak air. Air dari hutan itu seperti air kemasan yang biasa diminum, tidak perlu repot (dimasak). Langsung diminum saja. Airnya jernih sekali," lanjut Hendrikus.

"Kami takut kalau digusur, semua tulang belulang, kuburan-kuburan orang tua kami yang sudah mendahului kami pasti akan (ikut) digusur semua. Dan itu berarti kami sudah berdosa terhadap mereka karena (di sana) adalah tempat-tempat penting sebagai peninggalan, dan tempat-tempat bersejarah," jelas Hendrikus.

Wilayah Suku Awyu belum berstatus hutan adat

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), wilayah yang berpotensi sebagai hutan adat di Papua tercatat sekitar 3,732 juta hektare, terdiri dari hutan konservasi (HK) 22,51%, hutan lindung (HL) 32,49%, hutan produksi (HP) 41,86%, areal penggunaan lain (APL)/ tubuh air 3,14%. Wilayah ini tersebar di Kabupaten Kaimana, Maybrat, Kabupaten/Kota Sorong, Tambrau, Teluk Bintuni, Asmat, Jayapuran, dan Mimika.

“Batas persis dari wilayah adat ini belum terpetakan secara akurat, sehingga kami pun sifatnya indikasi. Kami mendapatkan informasi awal paling tidak ada 7 perusahaan di bidang kehutanan yang terindikasi beririsan atau tumpang tindih dengan lokasi hutan adat dengan total luas kurang lebih 62 ribu hektare," kata Direktur Penanganan Konflik, Tenurial dan Hutan Adat KLHK, Muhammad Said, kepada DW Indonesia.

Wilayah yang berpotensi sebagai hutan adat tersebut terindikasi tumpang tindih dengan 7 Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), yaitu PT Asco Prima Nusantara, PT Bangun Kayu Irian, PT Damai Setiatama Timber, PT Nusantara Sago Prima, PT Papua Satya Kencana, PT Rimbakayu Arthamas, dan PT Hanurata Unit Jayapura dengan total luas sekitar 62.585 hektare.

"Terkait dengan hutan adat, posisi KLHK sebenarnya memberikan penguatan terhadap hutan adat yang mereka kelola. Bahwa memang sungguh-sungguh merekalah yang berhak melakukan pengelolaan," tambah Said.

Pada tahun 2022, lanjut Said, KLHK pernah mencabut keputusan pelepasan area hutan untuk perkebunan bagi tiga perusahaan, yaitu perkebunan PT Megakarya Jaya Raya (MJR) dan PT Kartika Cipta Pratama (KCP) yang berkonflik dengan masyarakat adat Awyu di Kab. Boven Digoel, serta perkebunan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang berkonflik dengan masyarakat adat Moi di Kab/Kota Sorong.

Halaman
123
Sumber: Deutsche Welle
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas