Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun
Deutsche Welle

Pertaruhan Masyarakat Adat Papua, Takut Hutan Digusur Hanya untuk Sawit

Bagi masyarakat adat Papua, hutan bukan hanya menjadi sumber pangan, tetapi warisan orang tua. Hadirnya berbagai proyek industri hanya…

zoom-in Pertaruhan Masyarakat Adat Papua, Takut Hutan Digusur Hanya untuk Sawit
Deutsche Welle
Pertaruhan Masyarakat Adat Papua, Takut Hutan Digusur Hanya untuk Sawit 

"Bapa saya sebelum meninggal berpesan kepada saya bahwa ‘tanah yang sekarang ini bapa punya, itu ko punya sampai anak cucu’. Jika saya menjual tanah adat itu, maka saya sudah tidak menghormati ibu bapa saya, dan saya berdosa terhadap orang tua saya," kata Hendrikus Woro, warga Suku Awyu, Papua, kepada DW Indonesia lewat sambungan telepon.

Hendrikus bersama para pejuang lingkungan hidup dari Suku Awyu lainnya sedang memperjuangkan pembatalan izin operasi perusahaan sawit di kawasan hutan adat mereka. Ekspansi bisnis perkebunan kelapa sawit di hutan di Papua membuat khawatir masyarakat adat yang menggantungkan hidup pada hasil alam yang ada di hutan.

"Sumber pangan kami akan hilang, mata pencaharian seperti kayu gaharu akan hilang. Di sana juga ada burung cendrawasih, ada macam-macam (sumber) penghasilan seperti gambir, kulit kayu masoi, dan obat-obatan. Kami takut ketika digusur semua akan hilang dan tujuannya hanya untuk tanam satu jenis pohon yaitu kelapa sawit," lanjut Hendrikus.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Hendrikus Woro menggugat Pemerintah Provinsi Papua karena mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT Indo Asiana Lestari (PT IAL). PT IAL mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta, dan berada di kawasan hutan adat marga Woro, bagian dari Suku Awyu. Izin tersebut terbit pada tahun 2021.

Masyarakat adat mengaku tidak dilibatkan

Hendrikus mengatakan, masyarakat adat tidak pernah dilibatkan dalam proses penyusunan dokumen berkaitan dengan lingkungan hidup serta izin operasi. Secara tiba-tiba, perusahaan sudah mendapatkan izin di wilayah hutan adat mereka.

Hal senada diutarakan oleh Tigor Hutapea, anggota tim kuasa hukum Suku Awyu dan Suku Moi.

BERITA TERKAIT

"Masyarakat tidak tahu apakah ada perizinan di wilayahnya. Kita baru mengajukan permohonan informasi publik secara tertulis di tahun 2022 dan mendapati ada perizinan itu. Masyarakat terkejut ketika mengetahuinya. Akhirnya, mereka memutuskan pada tahun 2023 untuk menggugat perizinan tersebut," jelas Tigor, yang juga menjabat sebagai Staf Advokasi Pusaka Bentala Rakyat kepada DW Indonesia.

Meski PT IAL belum secara resmi beroperasi, ancaman bertambahnya deforestasi hutan dan ancaman terhadap kehidupan suku adat di sana begitu besar. Sebab, sudah ada perusahaan-perusahaan lain yang lebih dahulu beroperasi di hutan Papua.

"Papua itu hutan terakhir dengan dataran terluas, khususnya di Indonesia. Pemerintah punya tanggung jawab untuk menjaga hutan terakhir tersebut. Namun, hutan terakhir itu bukan hanya bentangan hutan, di dalamnya ada masyarakat adat yang telah menjaga hutan itu antargenerasi. Pemerintah tidak boleh mengabaikan keberadaan mereka," ujar Tigor.

Dapatkah MA jadi benteng keadilan bagi masyarakat adat?

Bukan hanya Suku Awyu di Papua Selatan, Suku Moi di Papua Barat Daya juga mengajukan gugatan hukum melawan pemerintah dan perusahaan sawit. Pada 27 Mei 2024, sejumlah perwakilan Suku Awyu dan Suku Moi mendatangi Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta Pusat.

Gugatan mereka kini sampai ke tahap kasasi. Mengenakan busana khas suku masing-masing, mereka menggelar doa serta ritual adat di depan gedung MA, berharap agar MA akan menjatuhkan putusan hukum yang berpihak pada mereka.

Suku Moi melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang diberikan izin untuk menggunakan 18.160 hektare hutan adat Suku Moi untuk perkebunan sawit.

MA sendiri telah mengeluarkan Perma No.1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Perma itu menjadi instrumen penting dalam pelaksanaan putusan untuk memulihkan lingkungan hidup.

Halaman
123
Sumber: Deutsche Welle
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas