Rusia Tuding AS Berada di Balik Perang Gaza & Kekerasan di Timteng: Eksperimen Geopolitik Baru
Rusia mengklaim perang antara Israel dan Hamas di Gaza saat ini disebabkan oleh kebijakan AS di Timur Tengah.
Penulis: Febri Prasetyo
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Rusia mengklaim perang antara Israel dan Hamas di Gaza saat ini disebabkan oleh kebijakan Amerika Serikat (AS) di Timur Tengah.
Dalam sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) hari Rabu, (17/7/2024), Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menyebut AS dan sekutunya menjalankan "eksperimen geopolitik baru".
Eksperimen itu hanya memperparah situasi di Timur Tengah yang sudah menderita karena kekuasaan kolonial Barat.
Menurut Lavrov, AS terus mengirimkan amunisi kepada Israel yang telah menggempur Gaza selama 10 bulan.
Dia mengatakan perang di tanah Palestina itu telah merenggut 40.000 nyawa Palestina dan melukai 90.000 lainnya.
Bahkan, dia menyebut jumlah korban tewas di Gaza selama 10 bulan lebih banyak daripada jumlah korban dalam krisis Ukraina selama 10 tahun sejak tahun 2014.
Di samping itu, perang di Gaza juga menewaskan hampir 300 staf PBB dan anggota organisasi HAM. Kata dia, jumlah itu adalah yang terbanyak dalam sejarah.
"Jika AS berhenti membantu Israel, banjir darah itu akan berakhir," katanya, dikutip dari Russia Today.
"Tetapi AS tidak ingin atau tidak bisa melakukannya."
Pejabat Rusia tersebut mengatakan situasi seperti itu menunjukkan bahwa AS lebih mementingkan urusan pilpres daripada menyelamatkan nyawa banyak orang.
Lavrov berujar AS meredam semua imbauan gencatan sejata di Gaza di level PBB. AS juga meminta DK PBB untuk berhenti mengurusi persoalan Gaza.
Baca juga: Pelanggaran Israel di Gaza Disorot saat Menlu Rusia Pimpin Pertemuan Dewan Keamanan PBB
Di sisi lain, Rusia mendukung gencatan senjata yang akan memungkinkan pembebasan 120 warga Israel yang disandera dan 9.500 warga Palestina yang ditahan sejak 7 Oktober 2023.
Rusia turut mendukung adanya akses bantuan kemanusiaan bagi setiap orang yang membutuhkan.
Negara yang dipimpin Vladimir Putin itu meyakini hal-hal di atas beserta penghentian perluasan pemukiman ilegal Israel di Tepi Barat akan menjadi syarat yang diperlukan untuk melanjutkan pembicaraan perdamaian antara Israel-Palestina.