Knesset Israel Tolak Pembentukan Negara Palestina, 68 Suara Mendukung, 9 Lainnya Menentang
Parlemen Israel atau Knesset telah meloloskan resolusi yang menolak pembentukan negara Palestina, media Israel melaporkan.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Parlemen Israel atau Knesset telah meloloskan resolusi yang menolak pembentukan negara Palestina, media Israel melaporkan.
Resolusi tersebut disahkan di Knesset dengan 68 suara mendukung dan hanya sembilan suara menentangnya, Kamis (18/7/2024) pagi.
Koalisi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dengan partai-partai sayap kanan turut mensponsori resolusi tersebut, Al Jazeera melaporkan.
Knesset mengatakan negara Palestina akan menimbulkan "bahaya eksistensial bagi Negara Israel dan warga negaranya, mengabadikan konflik Israel-Palestina, dan mengganggu stabilitas kawasan."
Partai kiri-tengah pimpinan oposisi Yair Lapid meninggalkan sesi tersebut untuk menghindari dukungan terhadap pernyataan tersebut, meskipun sebelumnya ia mendukung solusi dua negara, demikian laporan surat kabar Times of Israel.
Tanggapan Otoritas Palestina
Pejabat Otoritas Palestina Hussein al-Sheikh mengecam resolusi tersebut di media sosial.
"Penolakan Knesset menegaskan rasisme negara pendudukan dan pengabaiannya terhadap hukum internasional dan legitimasi internasional, dan desakannya pada pendekatan dan kebijakan untuk melanggengkan pendudukan selamanya."
Sekretaris jenderal Inisiatif Nasional Palestina, Mustafa Barghouti, mengecam pengesahan resolusi tersebut.
"Tidak ada satu pun partai Zionis, baik dari pemerintah maupun oposisi, yang memberikan suara menentang resolusi tersebut," tulisnya di X.
"Resolusi ini merupakan penolakan perdamaian dengan Palestina dan deklarasi resmi berakhirnya perjanjian Oslo," tulis Barghouti.
Perjanjian Oslo, yang pertama kali ditandatangani antara pemimpin Palestina dan Israel pada 1993, menyerukan negara Palestina yang layak dan berdaulat yang hidup berdampingan dengan negara Israel.
Baca juga: 2 Serangan Brutal Anjing Pasukan Israel pada Warga Palestina, Sebabkan Pria Disabilitas Tewas
Tetapi, Israel terus mengadopsi kebijakan seperti membangun pemukiman ilegal di tanah Palestina di Tepi Barat yang diduduki dan blokade penuh terhadap Gaza.
Tanggapan Yordania
Kementerian Luar Negeri Yordania mengatakan persetujuan resolusi tersebut merupakan pelanggaran "berbahaya" terhadap hukum internasional.
"Upaya Israel yang terus-menerus untuk menolak hak Palestina yang tidak dapat dicabut atas negara mereka yang merdeka dan berdaulat, seperti yang terjadi pada 4 Juni 1967, dengan Yerusalem yang diduduki sebagai ibu kotanya, tidak akan membawa keamanan dan perdamaian di kawasan tersebut," demikian bunyi pernyataan yang mengutip pernyataan juru bicara kementerian, Sufyan al-Qudah.
Times of Israel mengutip resolusi tersebut yang mengatakan, "Hanya dalam waktu singkat Hamas mengambil alih negara Palestina dan mengubahnya menjadi basis teroris Islam radikal, bekerja sama dengan poros yang dipimpin Iran untuk melenyapkan Negara Israel."
Ditambahkannya, negara Palestina saat ini akan menjadi "hadiah bagi terorisme dan hanya akan mendorong Hamas dan para pendukungnya untuk melihat ini sebagai kemenangan", merujuk pada serangan yang dipimpin Hamas pada 7 Oktober di Israel selatan yang memicu konflik saat ini.
Namun, keputusan tersebut bukanlah hal baru bagi Knesset yang sebelumnya menolak negara Palestina.
Semakin banyak negara yang mengakui negara Palestina, termasuk Spanyol, Slovenia, Norwegia, Irlandia, dan lainnya.
Resolusi tersebut muncul saat Netanyahu diperkirakan akan berpidato di hadapan Kongres Amerika Serikat minggu depan di Washington, DC, yang telah menyebabkan perpecahan di antara para anggota parlemen Partai Demokrat yang telah menentang tindakan Israel dalam perang di Gaza.
Pada Rabu (17/7/2024), Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Antonio Guterres, mengatakan kebijakan Israel di Tepi Barat yang diduduki telah menghancurkan prospek solusi dua negara.
Melalui langkah administratif dan hukum, Israel mengubah geografi Tepi Barat, kata Guterres dalam sebuah pernyataan yang dibacakan oleh kepala stafnya, Courtenay Rattray, selama pertemuan Dewan Keamanan PBB.
"Perkembangan terkini telah menancapkan paku di jantung setiap prospek solusi dua negara," katanya. "Kita harus mengubah arah. Semua aktivitas permukiman harus segera dihentikan."
Ia menambahkan permukiman tersebut merupakan pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional dan hambatan bagi perdamaian dengan Palestina.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)