Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Forbes: Perang Besar akan Pecah di Timur Tengah, Israel Vs Iran-Hizbullah, Rusia Bakal Terlibat

Forbes menulis, perang besar akan terjadi di Timur Tengah antara Israel di satu sisi dan Hizbullah dan Iran di sisi lain, dan mungkin termasuk Rusia

Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
zoom-in Forbes: Perang Besar akan Pecah di Timur Tengah, Israel Vs Iran-Hizbullah, Rusia Bakal Terlibat
khaberni/HO
Rudal jarak jauh yang diluncurkan gerakan perlawanan Lebanon, Hizbullah. Israel menyatakan kesiapan pasukannya untuk masuk menyerbu ke Lebanon guna memadamkan serangan Hizbullah, 

Forbes: Perang Besar akan Pecah di Timur Tengah, Israel Vs Iran-Hizbullah, Rusia Bakal Terlibat

 
TRIBUNNEWS.COM - Pemimpin redaksi majalah Forbes, Steve Forbes menuliskan analisisnya terkait eskalasi konflik di Timur Tengah yang dipicu oleh Perang Gaza.

Forbes menulis, perang besar akan terjadi di Timur Tengah antara Israel di satu sisi dan Hizbullah dan Iran di sisi lain, dan mungkin juga termasuk Rusia.




"Ada perang besar yang sedang terjadi antara Israel, Hizbullah, dan Iran. Bentrokan tidak bisa dihindari," tulis Forbes dikutip dari lansiran Khaberni, Rabu (24/7/2024).

Baca juga: Jenderal Top Pentagon Ungkap Kebodohan Berulang Strategi Militer Israel di Gaza: Hamas Itu Ideologi

Menurut pemimpin redaksi Forbes tersebut, konflik di Timur Tengah itu akan meluas dengan cepat, kemungkinan besar tidak hanya melibatkan Amerika Serikat, tetapi juga Iran Rusia juga.

 Wartawan tersebut percaya bahwa “satu-satunya pertanyaan yang tersisa adalah waktu terjadinya ledakan, yang bisa terjadi dalam waktu dekat atau segera setelahnya,”.

Seperti ditekankan oleh Forbes, titik konflik utama adalah perbatasan antara Israel dan Lebanon, tempat Hizbullah bermarkas di perbatasan selatan negara itu dengan Israel.

Baca juga: Media Israel: IDF Sensor Jumlah Tentara yang Tewas dalam Serangan Terbaru Hizbullah di Utara

BERITA TERKAIT

Situasi di perbatasan Israel-Lebanon memburuk setelah dimulainya perang dahsyat Israel di Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023.

Diketahuim Tentara Israel (IDF) dan petempur Hizbullah Lebanon terlibat baku tembak setiap hari, saling menargetkan posisi masing-masing di daerah sepanjang perbatasan.

Menurut Kementerian Luar Negeri Lebanon, sekitar 100.000 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka di Lebanon selatan akibat pemboman Israel. Pihak Israel melaporkan bahwa sekitar 80.000 penduduk di bagian utara negara itu mengalami situasi serupa.

Sikap Rusia Terkait Perang Timur Tengah

Rusia mengklaim perang antara Israel dan Hamas di Gaza saat ini disebabkan oleh kebijakan Amerika Serikat (AS) di Timur Tengah.

Dalam sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) hari Rabu, (17/7/2024), Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menyebut AS dan sekutunya menjalankan "eksperimen geopolitik baru".

Eksperimen itu hanya memperparah situasi di Timur Tengah yang sudah menderita karena kekuasaan kolonial Barat.

Menurut Lavrov, AS terus mengirimkan amunisi kepada Israel yang telah menggempur Gaza selama 10 bulan.

Dia mengatakan perang di tanah Palestina itu telah merenggut 40.000 nyawa Palestina dan melukai 90.000 lainnya.

Bahkan, dia menyebut jumlah korban tewas di Gaza selama 10 bulan lebih banyak daripada jumlah korban dalam krisis Ukraina selama 10 tahun sejak tahun 2014.

Di samping itu, perang di Gaza juga menewaskan hampir 300 staf PBB dan anggota organisasi HAM. Kata dia, jumlah itu adalah yang terbanyak dalam sejarah.

"Jika AS berhenti membantu Israel, banjir darah itu akan berakhir," katanya, dikutip dari Russia Today.

"Tetapi AS tidak ingin atau tidak bisa melakukannya."

Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menyampaikan konferensi pers tahunan akhir tahunnya di markas besar Kementerian Luar Negeri Rusia di Moskow pada 18 Januari 2024.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menyampaikan konferensi pers tahunan akhir tahunnya di markas besar Kementerian Luar Negeri Rusia di Moskow pada 18 Januari 2024. (Alexander NEMENOV / AFP)

Pejabat Rusia tersebut mengatakan situasi seperti itu menunjukkan bahwa AS lebih mementingkan urusan pilpres daripada menyelamatkan nyawa banyak orang.

Lavrov berujar AS meredam semua imbauan gencatan sejata di Gaza di level PBB. AS juga meminta DK PBB untuk berhenti mengurusi persoalan Gaza.

Baca juga: Pelanggaran Israel di Gaza Disorot saat Menlu Rusia Pimpin Pertemuan Dewan Keamanan PBB

Di sisi lain, Rusia mendukung gencatan senjata yang akan memungkinkan pembebasan 120 warga Israel yang disandera dan 9.500 warga Palestina yang ditahan sejak 7 Oktober 2023.

Rusia turut mendukung adanya akses bantuan kemanusiaan bagi setiap orang yang membutuhkan.

Negara yang dipimpin Vladimir Putin itu meyakini hal-hal di atas beserta penghentian perluasan pemukiman ilegal Israel di Tepi Barat akan menjadi syarat yang diperlukan untuk melanjutkan pembicaraan perdamaian antara Israel-Palestina.

Lavrov menyebut Rusia juga sadar akan "kontak di balik layar" yang bertujuan untuk menentukan masa depan Gaza dan negara Palestina tanpa partisipasi rakyat dan pihak berwenang di Palestina.

"Kawasan Timur Tengah kini menghadapi risiko keamanan dan kesejahteraan rakyatnya, yang belum pernah terjadi sebelumnya karena konflik di Gaza," kata Lavrov.

Menurut Lavrov, konflik itu berisiko menyebar ke luar Israel dan Palestina.

Rusia mengkritik DK PBB

Dalam kesempatan yang sama Lavrov turut mengkritik DK PBB. Dia menyebut resolusi DK PBB gagal menghentikan banjir darah di Gaza.

"Empat resolusi telah disahkan. Namun, banjir darah yang masih terjadi di wilayah Palestina yang diduduki itu hanya menegaskan bahwa semua keputusan ini hanyalah hitam di atas putih," ujar Lavrov.

Dia mengatakan pembicaraan yang "tegas dan jujur" diperlukan guna menghentikan banjir darah dan penderitaan warga sipil.

"Operasi militer berskala besar yang dilakukan Israel bersama dengan sekutunya, Amerika, memunculkan statistik mengerikan dalam hal jumlah korban jiwa dan penghancuran selama 300 hari dalam 10 bulan," katanya dikutip dari Anadolu Agency.

Lavrov mengutip pernyataan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada tahun 2009 ketika dia masih menjadi Komisioner Tinggi untuk Urusan Pengungsi.

Saat itu Guterres mengatakan konflik Gaza menjadi "satu-satunya konflik di dunia yang orang-orang bahkan tidak diizinkan untuk pergi menyelamatkan diri".

"Tidak ada yang berubah sejak saat itu, situasi hanya memburuk."

Baca juga: Ledakan Terdengar di Irbid dekat Perbatasan dengan Israel, Tentara Arab Yordania Nyatakan Hal Ini

Adapun saat ini menurut Kementerian Kesehatan Gaza sudah ada hampir 38.000 warga yang tewas. Sebagian besar dari mereka adalah wanita dan anak.

(oln/khbrn/frbs/*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas