Invasi Israel ke Lebanon Diprediksi Terjadi dalam 24 Jam, Merkava dan Iron Dome Dikerahkan ke Utara
Video memperlihatkan pergerakan kavaleri tank dan kendaraan lapis baja Israel besar-besaran ke wilayah utara yang berbatasan dengan Lebanon.
Penulis: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, TEL AVIV - Hari Minggu malam waktu setempat (28/7/2024), Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah mendapat "lampu hijau" untuk menyerang Hizbullah di Lebanon. Israel diprediksi akan melakukan serangan darat dalam 24 jam ke depan.
Beberapa jam sebelumnya, para petinggi militer Israel atau IDF telah dengan suara bulat menyusun rencana operasi militer terhadap Lebanon.
Daftar petinggi IDF yang hadir dalam rapat di antaranya Kepala Staf IDF, Herzi Halevi, Kepala Komando Utara, hingga Kepala Direktorat Intelijen.
Dengan adanya lampu hijau dari eselon politik Israel, serangan darat diperkirakan segera berlangsung.
"Izin" serangan ke Lebanon diberikan untuk merespons serangan--yang dituding--yang dilakukan Hizbullah terhadap belasan anak-anak dan remaja yang tengah bermain sepak bola di Majdal Shams, Dataran Tinggi Golan, Sabtu (27/7/2024) sore.
Di media sosial, beredar video yang memperlihatkan pergerakan kavaleri tank dan kendaraan lapis baja Israel besar-besaran ke wilayah utara yang berbatasan dengan Lebanon.
Di antara yang terlihat adalah Tank Merkava dan konvoi batrei pertahanan udara Iron Dome.
Hizbullah telah membantah bertanggung jawab atas serangan di Majdal Shams. Kelompok pejuang Lebanon itu juga menyebut roket tersebut berasal dari Iron Dome yang gagal menghancurkan target.
Kelompok Hezbollah dikabarkan juga dalam kondisi siaga satu sepanjang Minggu (28/7/2024).
Pemimpin Hizbullah Sayyid Hassan Nasrallah disebut telah memberikan izin untuk berperang habis-habisan jika Israel berani melakukan serangan darat ke Lebanon.
"Kami tidak menginginkan perang skala penuh dengan Israel, tetapi siap untuk itu. Perlu diingat, setiap serangan besar ke Lebanon dapat menyebabkan keterlibatan "Poros Perlawanan," katanya.
Di Ambang Perang Besar
Aaron David Miller, seorang peneliti senior di Carnegie Endowment for International Peace, kepada CNN menggambarkan situasi yang terjadi saat ini.
"Perang ini berpotensi menciptakan situasi yang belum pernah kita lihat di kawasan ini: perang regional besar, yang dapat melibatkan Teluk”.
Ia memperingatkan bahwa perang ini juga dapat menyebabkan konfrontasi langsung antara Amerika Serikat dan Iran.
Selama hampir 10 bulan pertempuran terakhir, Israel, Hizbullah, dan Iran selalu menarik diri dari apa yang tampak seperti jurang.
"Pada bulan Januari, Israel membunuh seorang pemimpin senior Hamas di Beirut. Perang habis-habisan gagal terwujud."
"Pada bulan April, Israel membunuh seorang komandan tinggi di Korps Garda Revolusi Iran (IRCHG) di Damaskus. Sebagai tanggapan, Iran melancarkan serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Israel. Perang habis-habisan gagal terwujud."
"Status quo, tentu saja, juga tidak dapat dilanjutkan. Puluhan ribu orang Israel telah mengungsi dari rumah mereka."
Sebagian besar wilayah Israel utara seperti kota hantu. Gambaran serupa terjadi di Lebanon selatan.
Cara terbaik untuk menghindari perang habis-habisan antara Israel dan Hizbullah, adalah dengan melakukan gencatan senjata di Gaza.
Israel ingin menghilangkan ancaman Hizbullah sepenuhnya, memindahkannya kembali ke Sungai Litani, sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengakhiri perang besar terakhir antara keduanya pada tahun 2006.
"Jika dunia tidak menyingkirkan Hizbullah dari perbatasan, Israel akan melakukannya," kata Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant pada bulan Desember.
Jadi, terlepas dari kemegahan, tekanan domestik, ketakutan, dan eskalasi, pertempuran antara Israel dan Hizbullah terus mereda, bukannya memanas.
Tidak seorang pun tampaknya menginginkan perang ini. Namun, seperti yang diperingatkan Hochstein dalam webinar yang sama: "Perang telah dimulai secara historis di seluruh dunia, bahkan ketika para pemimpin tidak menginginkannya, karena mereka tidak punya pilihan."
Israel kesulitan cegat rudal Hizbullah
Kemarin, militer Israel menyatakan mereka mendeteksi adanya 40 rudal yang ditembakkan dari Lebanon dalam tiga serangan terpisah.
Sementara itu, militer Israel mengatakan sudah memperingatkan penduduk di Majdal Shams tentang adanya serangan, namun sistem pertahanan udara tidak bekerja pada saat itu.
“Tidak ada rudal intersepsi yang diluncurkan karena medan yang rumit dan tidak mungkin memberikan peringatan yang lebih lama,” lapor Radio Angkatan Darat Israel soal hasil penyelidikan tersebut, Minggu (28/7/2024) kemarin.
Karena peringatan yang singkat, sistem pertahanan Israel kesulitan mencegat rudal itu tepat waktu sebelum penduduk dapat melarikan diri ke tempat perlindungan.
Sejak 8 Oktober 2023, Hizbullah menyatakan bergabung dengan perlawanan membela rakyat Palestina yang menghadapi agresi Israel di Jalur Gaza dan Tepi Barat.
Hizbullah menyerang sasaran militer Israel di perbatasan Israel utara, wilayah Palestina yang diduduki, dari wilayah Lebanon selatan yang merupakan basis militer Hizbullah.
Hizbullah berjanji akan berhenti menyerang perbatasan jika Israel menghentikan serangan militernya di Jalur Gaza.
Dukungan pejuang untuk Hizbullah bersiap di perbatasan
Hizbullah akan mendapat dukungan dari kelompok-kelompok yang didukung Iran di Timur Tengah jika perang terbuka dengan Israel pecah.
Selama satu dasawarsa terakhir, para pejuang "proxy" Iran dari Lebanon, Irak, Afghanistan, dan Pakistan telah berjuang bersama di Suriah, melawan ISIS dan Al Nusra.
Para elite dari kelompok tersebut kini menegaskan kesiapannya bersatu untuk melawan Israel.
Pekan lalu, Pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah mengatakan mereka (kelompok perlawanan dukungan Iran) telah menawarkan untuk mengirim puluhan ribu pejuang untuk membantu Hizbullah, tetapi ia mengatakan kelompok itu sudah memiliki lebih dari 100.000 pejuang.
"Kami memberi tahu mereka, terima kasih, tetapi kami kewalahan dengan jumlah yang kami miliki," kata Nasrallah.
Nasrallah mengatakan pertempuran dalam bentuknya saat ini hanya menggunakan sebagian dari tenaga kerja Hizbullah, yang tampaknya merujuk pada para pejuang khusus yang menembakkan rudal dan pesawat tanpa awak.
Namun, hal itu dapat berubah jika terjadi perang habis-habisan.
Nasrallah mengisyaratkan kemungkinan itu dalam sebuah pidato pada tahun 2017, di mana ia mengatakan para pejuang dari Iran, Irak, Yaman, Afghanistan, dan Pakistan "akan menjadi mitra" dalam perang semacam itu.
Saat ini ribuan pejuang tersebut telah dikerahkan di Suriah dan dapat dengan mudah menyelinap melalui perbatasan yang keropos dan tidak bertanda.
Beberapa kelompok telah melancarkan serangan terhadap Israel dan sekutunya sejak perang Israel-Hamas dimulai pada 7 Oktober.
Kelompok-kelompok dari apa yang disebut "poros perlawanan" mengatakan mereka menggunakan "strategi persatuan arena" dan mereka hanya akan berhenti berperang ketika Israel mengakhiri serangannya di Gaza terhadap sekutu mereka, Hamas.
"Kami akan (bertempur) bahu-membahu dengan Hizbullah" jika perang habis-habisan meletus, seorang pejabat dari kelompok yang didukung Iran di Irak mengatakan kepada The Associated Press di Baghdad, bersikeras berbicara secara anonim untuk membahas masalah militer. Dia menolak memberikan rincian lebih lanjut.
Pejabat itu, bersama dengan pejabat lain dari Irak, mengatakan beberapa penasihat dari Irak sudah berada di Lebanon.
Seorang pejabat dari kelompok Lebanon yang didukung Iran, yang juga bersikeras untuk tidak disebutkan namanya, mengatakan para pejuang dari Pasukan Mobilisasi Populer Irak, Fatimiyoun Afghanistan, Zeinabiyoun Pakistan, dan kelompok pemberontak yang didukung Iran di Yaman yang dikenal sebagai Houthi dapat datang ke Lebanon untuk ikut serta dalam perang.
Qassim Qassir, seorang pakar Hizbullah, setuju bahwa pertempuran saat ini sebagian besar didasarkan pada teknologi tinggi seperti menembakkan rudal dan tidak membutuhkan sejumlah besar pejuang.
Namun, jika perang pecah dan berlangsung lama, Hizbullah mungkin memerlukan dukungan dari luar Lebanon, katanya.
"Pesan yang mengisyaratkan masalah ini dapat berupa (kartu-kartu) yang dapat digunakan," katanya.
Israel juga menyadari kemungkinan masuknya pejuang asing.
Eran Etzion, mantan kepala perencanaan kebijakan Kementerian Luar Negeri Israel, mengatakan dalam diskusi panel yang diselenggarakan oleh Middle East Institute yang berpusat di Washington pada hari Kamis bahwa ia melihat "kemungkinan besar" terjadinya "perang multi-front."
Ia mengatakan mungkin ada intervensi oleh Houthi dan milisi Irak dan "arus besar "jihadis"dari (beberapa tempat) termasuk Afghanistan, Pakistan" ke Lebanon dan ke wilayah Suriah yang berbatasan dengan Israel.
Daniel Hagari, juru bicara militer Israel, mengatakan dalam sebuah pernyataan yang disiarkan di televisi minggu lalu bahwa sejak Hizbullah memulai serangannya terhadap Israel pada tanggal 8 Oktober, Hizbullah telah menembakkan lebih dari 5.000 roket, rudal anti-tank, dan pesawat nirawak ke Israel.
"Meningkatnya agresi Hizbullah membawa kita ke ambang eskalasi yang lebih luas, yang dapat menimbulkan konsekuensi yang menghancurkan bagi Lebanon dan seluruh wilayah," kata Hagari.
"Israel akan terus berperang melawan poros kejahatan Iran di semua lini." Pejabat Hizbullah mengatakan mereka tidak menginginkan perang habis-habisan dengan Israel, tetapi jika itu terjadi, mereka siap.