Sedikitnya 27 Orang Tewas dalam Aksi Protes Terbaru di Bangladesh, PM Sheikh Hasina Diminta Mundur
Protes terhadap sistem kuota pekerjaan telah berubah menjadi gerakan antipemerintah yang lebih luas yang menuntut pengunduran diri perdana menteri.
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Wahyu Gilang Putranto
"Serangan terhadap rumah sakit tidak dapat diterima," kata Menteri Kesehatan Samanta Lal Sen.
"Semua orang harus menahan diri dari ini."
Untuk kedua kalinya selama protes baru-baru ini, pemerintah menutup layanan internet berkecepatan tinggi, kata operator seluler di negara tersebut, sementara platform media sosial Facebook dan WhatsApp tidak tersedia.
200 Orang Tewas dalam Aksi Protes Terjadi Bulan Lalu
Mengutip AP, aksi protes yang dilakukan para mahasiswa terjadi bulan lalu.
Mereka menuntut diakhirinya sistem kuota untuk pekerjaan pemerintah yang menurut mereka diskriminatif.
Berdasarkan sistem tersebut, 30 persen dari pekerjaan tersebut diperuntukkan bagi keluarga veteran yang berjuang dalam perang kemerdekaan Bangladesh melawan Pakistan pada tahun 1971.
Aksi protes tersebut awalnya berlangsung damai, tetapi berubah menjadi kekerasan pada 15 Juli saat mahasiswa di Universitas Dhaka bentrok dengan polisi dan aktivis sayap mahasiswa partai Liga Awami yang berkuasa.
Sejak saat itu, lebih dari 200 orang tewas dan ribuan lainnya terluka.
Ketika kekerasan meningkat, pada 21 Juli, Mahkamah Agung akhirnya memangkas kuota veteran menjadi 5 persen.
Tetapi protes masih saja menyebar di tengah kemarahan atas kekerasan yang terjadi.
Para demonstran menyalahkan pemerintah atas penggunaan kekuatan berlebihan.
Baca juga: Demonstrasi Mahasiswa Bisa Munculkan Pemimpin Baru di Bangladesh?
Pihak berwenang menutup sekolah dan universitas di seluruh negeri, memblokir akses internet, dan memberlakukan jam malam untuk menembak di tempat.
Setidaknya, 11.000 orang telah ditangkap dalam beberapa minggu terakhir.
Protes tersebut kini telah berkembang menjadi gerakan antipemerintah yang lebih luas di seluruh negara Asia Selatan yang berpenduduk sekitar 170 juta orang itu.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)