Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun
Deutsche Welle

Ujaran Kebencian dan Rasisme di Internet selama Olimpiade Paris

Seksisme, rasisme, kebencian, hingga komentar kebencian berulang kali muncul di internet selama Olimpiade di Paris. Apa yang dapat…

zoom-in Ujaran Kebencian dan Rasisme di Internet selama Olimpiade Paris
Deutsche Welle
Ujaran Kebencian dan Rasisme di Internet selama Olimpiade Paris 

Owen Ansah adalah sprinter Jerman tercepat. Atlet Jerman pertama yang berlari 100 meter dalam waktu kurang dari 10 detik. Pada Kejuaraan Atletik Jerman akhir Juni lalu, dia hanya membutuhkan waktu 9,99 detik untuk 100 meter.

Namun setelah kesuksesannya, ada hal lain yang mendominasi media sosial: komentar bernada rasisme di dunia maya yang menyangkal bahwa dia adalah orang Jerman karena warna kulitnya.

Namun, dia sendiri tidak tertarik membahas topik tersebut. "Saya berkonsentrasi pada hal-hal positif. Para haters hanya ada di sana. Tidak ada yang bisa Anda lakukan. Saya bahkan tidak melihatnya," kata Owen Ansah kepada DW.

Acara-acara olahraga berulang kali memicu kampanye kebencian semacam itu. Sebelum tanggapan atas rekor Ansah, ada juga pernyataan rasis terhadap pesepak bola Jerman, Youssoufa Moukoko dan Jessic Ngankam, pada Piala Eropa U21 di Rumania dan Georgia pertengahan 2023.

Alasannya, mereka gagal mengeksekusi penalti dalam pertandingan melawan Israel.

Terutama mereka yang disebut sebagai "influencer” membagikan postingan dalam kelompok mereka untuk menyebarkan kebencian. "Banyak sekali orang yang terjerumus ke dalamnya dan membiarkan diri mereka diprovokasi,” kata Kepala Jaksa Penuntut Umum, Benjamin Krause.

Pengacara tersebut bekerja di Kantor Pusat Pemberantasan Kejahatan Internet, ZIT. Dia bekerja sama dengan Konfederasi Olahraga Olimpiade Jerman, DOSB, untuk mengambil tindakan melawan ujaran kebencian selama Olimpiade di Paris.

Dengan AI melawan komentar kebencian

BERITA TERKAIT

Untuk pertama kalinya, DOSB menggunakan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan untuk menemukan komentar kebencian dengan lebih cepat. AI memindai kolom komentar untuk kata atau kombinasi kata tertentu.

Segera setelah dia menandai sebuah komentar, DOSB memutuskan apakah komentar tersebut perlu diperiksa secara hukum. Komite Olimpiade Internasional juga menggunakan AI semacam itu untuk pertama kalinya di Paris untuk melindungi para atlet.

Begitu komentar tersebut masuk ke ZIT, akan diperiksa apakah komentar tersebut dapat dituntut secara hukum. Itu soal yang cukup rumit karena suatu ungkapan bisa mempunyai dampak hukum, bisa juga tidak, tergantung konteks penggunaannya. Dan ini masalah interpretasi.

"Jika ada hubungan faktual, kritik, bahkan kritik yang sama sekali tidak berguna, dilindungi oleh kebebasan berekspresi,” kata jaksa Benjamin Krause kepada DW. Artinya, tidak boleh ada konsekuensi jika kata-kata makian digunakan sehubungan dengan kritik terhadap suatu prestasi olahraga.

Jika merendahkan seseorang, misalnya karena jenis kelamin atau warna kulitnya, kemungkinan besar akan ada konsekuensi hukum.

Kejahatan kebencian di internet

Selama Olimpiade, Benjamin Krause mengakui mengamati "sangat banyak pernyataan rasis di internet, misalnya: 'Mereka bukan orang Jerman dan mereka harus pergi ke Afrika'. "Ini adalah ideologi rasial yang benar-benar gila," katanya.

Agar pernyataan-pernyataan ini berkurang di masa mendatang, harus ada konsekuensi hukum yang lebih besar bagi pembuat postingan tersebut. Dalam kebanyakan kasus, hal ini berarti denda uang. Hal ini juga berlaku untuk akun yang tampaknya anonim. Platform sosial harus membantu mengidentifikasi pengguna dan meneruskan semua data kepada pihak berwenang.

Dalam sekitar 80 persen kasus, ZIT bisa menemukan siapa yang bersembunyi di balik akun anonim.

Salah satu kendala untuk menjatuhkan sanksi hukuman adalah dalam banyak kasus, para atlet harus mengajukan sendiri pengaduan pidana. Sebab secara hukum, suatu penghinaan harus dianggap demikian oleh para korbannya. Namun, banyak atlet, seperti Owen Ansah, tidak ingin membahas topik tersebut terlalu banyak. Mereka lebih ingin fokus pada prestasi olahraganya.

Akibatnya, tidak terlalu banyak kasus yang bisa diusut.

"Jika semua rasisme di internte dibiarkan... orang-orang pada suatu saat akan berkata: 'Sangat normal menyerang orang hanya karena mereka berpenampilan berbeda atau bertindak berbeda, mereka bisa dihina atau diancam secara rasial,'" kata Benjamin Krause. "Itu sebabnya kami ingin menunjukkan, terutama di acara besar seperti Olimpiade, bahwa ini tidak normal dan juga bisa dituntut,” katanya.

(hp/as)

Sumber: Deutsche Welle
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas