Mantan Pejabat Arab Saudi Tuduh Mohammed bin Salman Jadi Biang Kerok Konflik Negaranya dengan Houthi
Saad Al-Jabri menuding MBS telah memalsukan tanda tangan Raja Salman untuk meneken dekret kerajaan yang memulai perang dengan Houthi di Yaman.
Penulis: Bobby W
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Pangeran Arab Saudi, Mohammed bin Salman (MBS) mendapatkan tudingan serius terkait keterlibatannya dalam awal mula perang antara negaranya melawan pemberontak Houthi di Yaman.
Hal ini dilayangkan oleh seorang mantan pejabat Arab Saudi, Saad al-Jabri yang mengklaim bahwa sosok penerus Raja Salman tersebut memalsukan tanda tangan ayahnya pada dekret kerajaan yang memulai perang bertahun-tahun melawan Houthi di Yaman.
Tudingan tersebut disampaikan oleh al-Jabri saat dirinya menggelar wawancara ekslusif dengan BBC pada Senin ini (19/8/2024)..
Tuduhan ini muncul seiring posisi MBS yang kini menjabat sebagai pemimpin de facto Arab Saudi mengingat dirinya sering bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara lainnya sebagai pengganti sosok ayahnya yang kini berusia 88 tahun.
Dalam tudingannya, Al-Jabri menyebut adanya keterkaitan antara awal kenaikan MBS sebagai pemimpin de facto Arab Saudi pada tahun 2015 lalu dengan dimulainya perang dengan Houthi di Yaman.
Dalam pernyataan kepada BBC, dia mengatakan bahwa seorang pejabat yang memiliki info terpercaya dan dapat diandalkan menyebut adanya konspirasi yang dilakukan olen MBS dalam peperangan antara Arab Saudi dan Houthi di Yaman.
Al-Jabri menyebut informannya yang memiliki keterkaitan dengan Kementerian Dalam Negeri Saudi mengonfirmasi bahwa MBS memalsukan tanda tangan Raja Salman untuk meneken dekret kerajaan yang memulai perang dengan Houthi di Yaman.
“Kami terkejut bahwa ada dekret kerajaan yang tiba-tiba muncul untuk memungkinkan intervensi darat (oleh pemerintah Arab Saudi),” kata Al-Jabri kepada BBC.
“Dia memalsukan tanda tangan ayahnya untuk dekret kerajaan itu karena kemampuan mentalnya (Raja Salman) semakin menurun."
Menanggapi tudingan yang disampaikan Al-Jabri tersebut, pemerintah Arab Saudi pun buka suara.
Pemerintah Arab Saudi menggambarkan sosok Al-Jabri sebagai "pejabat pemerintah yang tidak pernah kredibel".
Baca juga: AS Hentikan Embargo Senjata Terhadap Arab Saudi dengan Kiriman Amunisi Bom senilai 750 Juta Dolar AS
Karena reputasi tersebut, Pemerintah Arab Saudi menghimbau publik untuk menghiraukan pernyataan Saad Al-Jabri yang dinilai dibuat tanpa bukti pendukung yang kuat.
Al-Jabri merupakan seorang mantan pejabat intelijen Saudi yang saat ini tinggal dalam pengasingan di Kanada.
Sosoknya juga pernah bekerja untuk mantan Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Nayef, dalam pertempuran melawan militan Al-Qaeda setelah serangan 11 September 2001.
Ia telah mengalami sengketa bertahun-tahun dengan kerajaan Arab Saudi lantaran kedua anaknya dipenjara dalam kasus rekayasa yang dia deskripsikan sebagai upaya untuk menjeratnya kembali ke Arab Saudi.
Al-Jabri juga pernah menggugat MBS di pengadilan federal AS, dengan tudingan bahwa sang putra mahkota berusaha untuk membunuhnya setelah dia melarikan diri ke Kanada.
Awal Mula Konflik Arab Saudi dengan Houthi di Yaman
Keterlibatan Arab Saudi dalam membantu pemerintah Yaman melawan pemberontak Houthi yang didukung Iran, dimulai pada tahun 2015.
Kala itu, Arab Saudi menyatakan bakal membantu pemerintah Yaman melalui klaim yang dilontarkan MBS bersamaan dengan rilisnya dekret kerajaan.
MBS yang pada kala itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan Arab Saudi menjamin bahwa perang tersebut akan segera berakhir dengan keterlibatan negaranya.
Hampir satu dekade kemudian, janji MBS ini tak terwujud di lapangan karena hingga kini konflik di Yaman masih berlanjut.
Bahkan hingga tahun 2024 ini, peperanga tersebut dikabarkan telah menewaskan lebih dari 150.000 orang.
(Tribunnews.com/Bobby)