Keluarga Sandera Marah, Sebut Netanyahu Sengaja Membiarkan Para Tawanan Mati
Hamas mengatakan desakan PM untuk tetap berada di Koridor Philadelphia menghambat perundingan gencatan senjata.
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Suci BangunDS
TRIBUNNEWS.COM - Beberapa anggota keluarga sandera yang ditawan Hamas menyebut, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dengan sengaja membiarkan para sandera.
Mengutip The Times of Israel, dalam sebuah aksi demonstrasi di depan markas IDF di Tel Aviv, keluarga sandera mengatakan:
“Netanyahu dan para mitranya di kabinet memutuskan untuk menghancurkan kesepakatan gencatan senjata sandera dengan rekayasa Philadelphia, dan maka secara sadar mengutuk mati para sandera."
Einav Zangauker, ibu dari sandera Hamas Matan Zangauker, mengatakan tindakan Netanyahu adalah kejahatan terhadap rakyat, terhadap Israel dan terhadap Zionisme.
"Netanyahu bukanlah Tuan Keamanan, ia adalah Tuan Kematian. Ia merusak kesepakatan itu dengan kejam."
Kemarahan keluarga sandera ini diluapkan setelah muncul laporan bahwa Netanyahu lebih memprioritaskan mempertahankan pasukannya di Koridor Philadelphia antara Gaza dan Mesir daripada membawa pulang tawanan Israel.
Sebelumnya pada hari Kamis (29/8/2024), kabinet keamanan Israel memberikan suara untuk mendukung niat Netanyahu untuk mempertahankan pasukan militer Israel di Koridor Philadelphia sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata apa pun.
Menteri Pertahanan Yoav Gallant menjadi satu-satunya penentang.
Mantan kepala intelijen Pasukan Pertahanan Israel Amos Yadlin mengutuk pemungutan suara tersebut.
Pada hari Sabtu, Yadlin mengatakan kepada berita Channel 12 bahwa keputusan tersebut merupakan pengakuan pemerintah bahwa mereka tidak akan menegakkan kewajiban moral untuk membawa pulang para sandera.
“Para sandera ditinggalkan,” kata Yadlin, yang menyebut sikap pemerintah itu tidak dapat diterima.
Baca juga: Bocor Rekaman Percakapan Netanyahu ke Sandera, Sebut Masa Depan Israel Dipertanyakan
Ia menambahkan, setiap warga Israel harus keluar dan berdemonstrasi untuk menentang apa yang disebutnya sebagai “skandal”.
Unjuk rasa besar-besaran diadakan Sabtu malam untuk mendesak pemerintah mencapai kesepakatan.
Aksi demonstrasi itu juga sekaligus menunjukkan sentimen antipemerintah secara umum.