AS Serukan Pilpres Aman, Imbau Pemilih Pisahkan Fakta dari Fiksi
Dua bulan lagi Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) akan digelar, tepatnya 5 November 2024 mendatang.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Tiara Shelavie
![AS Serukan Pilpres Aman, Imbau Pemilih Pisahkan Fakta dari Fiksi](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/kolase-trump-jd-vance-harris-walz.jpg)
TRIBUNNEWS.COM - Dua bulan lagi Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) akan digelar, tepatnya 5 November 2024 mendatang.
Para pejabat tinggi keamanan pemilu AS menyerukan bahwa Pilpres Amerika Serikat akan berlangsung aman.
Mereka juga mengimbau agar pemilih dapat memisahkan fakta dari fiksi-fiksi yang beredar.
Diharapkan para pemilih tidak menghiraukan kebisingan dan menolak klaim tidak berdasar bahwa pemilu presiden mendatang akan dicurangi.
Dalam pengarahan pertama dari rangkaian pengarahan keamanan pemilu pada November mendatang, mereka mengatakan, pemilih AS harus yakin bahwa ketika mereka pergi ke tempat pemungutan suara (TPS), suara mereka akan dihitung secara akurat.
Direktur Badan Keamanan Siber dan Infrastruktur AS (CISA), Jen Easterly, yang bertanggungjawab atas keamanan pemilu mengingatkan bahwa selama beberapa bulan ke depan, akan ada banyak berita simpang siur dari berbagai sumber.
"Yang paling penting adalah mengenali sinyal melalui kebisingan itu, (memisahkan) fakta-fakta dari fiksi,” paparnya, dikutip dari VOA News.
Katanya, proses di Amerika, termasuk infrastruktur pemilu selalu aman.
"Komunitas pemangku kepentingan pemilu tidak pernah sekuat ini," pujinya.
"Itulah mengapa saya memiliki keyakinan terhadap integritas pemilu kita dan mengapa rakyat Amerika juga harus percaya,” tambah Easterly dalam konferensi pers pada Selasa (3/9/2024).
Musuh AS bakal mencampuri Pilpres 5 November
Upaya Easterly untuk meyakinkan para pemilih dilakukan lebih dari satu bulan setelah komunitas intelijen AS mengeluarkan peringatannya sendiri bahwa musuh-musuh AS – yang dipimpin oleh Rusia, Iran, dan China – berusaha untuk mencampuri pemilu November mendatang.
Baca juga: Goldman Sachs: Kemenangan Donald Trump di Pilpres AS 2024 Bisa Bawa Bencana Untuk PDB Negara
Kendati demikian, sejauh ini tidak ada upaya musuh-musuh AS untuk menyerang atau meretas sistem yang digunakan untuk melaksanakan pemilu, dan menghitung suara.
“Kami belum melihat adanya niat untuk mengganggu proses pemilu," jelas Penasihat senior CISA, Cait Conley
CISA mengatakan upaya lain untuk mengamankan pemilihan presiden yang akan datang mencakup berbagai latihan keamanan pemilu, pengujian akurasi untuk mesin pemungutan suara, dan langkah-langkah keamanan yang lebih baik untuk melindungi jaringan komputer yang terkait dengan pemilu.
Mereka juga menekankan bahwa tidak ada satu pun sistem pencatatan suara yang terhubung ke internet.
Sekitar 97 persen pemilih AS akan memberikan suara di yurisdiksi yang memiliki surat suara sebagai cadangan.
Akan tetapi, tampaknya semua upaya itu tidak akan menghentikan negara-negara seperti Rusia, Iran, dan China dalam upaya meyakinkan pemilih bahwa terdapat sesuatu yang tidak beres.
Easterly mengatakan salah satu kekhawatiran terbesarnya adalah bahwa musuh-musuh AS akan menggambarkan masalah kecil sebagai skandal besar.
“Hampir tidak dapat dihindari bahwa di suatu tempat di seluruh negeri, seseorang akan lupa membawa kunci untuk membuka lokasi pemungutan suara,” ucapnya.
“Seseorang akan mencabut kabel printer untuk memasang panci listrik crockpot. Atau badai dapat menyebabkan listrik padam di TPS.”
Penjahat siber bahkan mungkin menemukan cara untuk menonaktifkan sementara apa yang oleh para pejabat digambarkan sebagai sistem yang berdekatan dengan pemilu, termasuk situs web lembaga negara bagian dan lokal yang mencatat dan menghitung suara.
Operasi Disinformasi China
Secara terpisah, Graphika, sebuah perusahaan analisis media sosial belum lama ini merilis laporan, memperingatkan bahwa operasi disinformasi terkait China – yang dikenal sebagai “Spamouflage” – telah berkembang semakin agresif.
Graphika mengatakan telah mengidentifikasi lebih dari selusin akun di platform X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter, dan di TikTok yang “mengklaim sebagai warga negara AS dan/atau pendukung perdamaian, hak asasi manusia, dan integritas informasi yang berfokus pada AS yang frustrasi oleh politik Amerika Serikat dan Barat.”
Kesimpulan Graphika tampaknya konsisten dengan kajian Meta, perusahaan induk media sosial Facebook dan Instagram, ketika pertama kali mengidentifikasi upaya tersebut tahun lalu.
“Meskipun jumlah akun dan platform yang digunakan sangat besar, Spamouflage secara konsisten kesulitan untuk melampaui ruang gema [palsu] miliknya sendiri,” ungkap Meta ketika itu.
“Hanya beberapa contoh yang dilaporkan ketika konten Spamouflage di Twitter dan YouTube disebarluaskan atau diperkuat oleh para pemengaruh di dunia nyata.”
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.