Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun
BBC

‘Pencabutan’ Tap MPRS 33/1967 menjadi tonggak penting pemulihan nama baik Sukarno, tetapi apa yang masih perlu diluruskan?

Penyerahan surat pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tentang tidak berlakunya Ketetapan XXXIII/MPRS/1967 kepada keluarga…

zoom-in ‘Pencabutan’ Tap MPRS 33/1967 menjadi tonggak penting pemulihan nama baik Sukarno, tetapi apa yang masih perlu diluruskan?
BBC Indonesia
‘Pencabutan’ Tap MPRS 33/1967 menjadi tonggak penting pemulihan nama baik Sukarno, tetapi apa yang masih perlu diluruskan? 

Penyerahan surat pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tentang tidak berlakunya Ketetapan XXXIII/MPRS/1967 kepada keluarga mantan Presiden Sukarno disambut baik sejarawan dan pengamat politik. Namun, mengapa baru sekarang gestur itu dilakukan?

Sejumlah media memberitakan bahwa MPR “mencabut” Tap MPRS 33/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Negara dari Presiden Soekarno pada Senin (09/09).

Seperti diketahui, dekrit yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Indonesia pada tahun 1967 yang menuduh mantan Presiden Sukarno mendukung dan melindungi para pelaku Gerakan 30 September (G30S).

Akan tetapi, Ketua MPR Bambang Soesatyo menyebut pihaknya melalui surat pimpinan itu “menegaskan“ bahwa dekrit MPRS itu tidak berlaku sejak 2003.

Dokumen itu sendiri merupakan tanggapan dari surat Menteri Hukum dan HAM tentang tindak lanjut tidak berlakunya Tap MPRS 33//1967.

Politikus Golkar itu menambahkan penyerahan dokumen itu kepada keluarga Presiden Sukarno itu “secara yuridis” diperlukan karena masih ada “persoalan yang bersifat psikologis dan politis yang harus dituntaskan”.

Putra sulung Sukarno, Guntur Soekarnoputra, menyatakan ahli waris Sukarno sudah “menunggu selama lebih dari 57 tahun” untuk keadilan terhadap ayahnya.

Berita Rekomendasi

Guntur mengatakan keluarga saat ini mengharapkan adanya rehabilitasi nama baik Sukarno atas tuduhan pengkhianatan yang menimpa proklamator Indonesia itu.

“Tuduhan keji yang tidak pernah dibuktikan melalui proses peradilan [...] itu telah memberikan luka yang sangat mendalam [baik] bagi keluarga besar kami maupun rakyat Indonesia yang patriotik dan nasionalis,” ujar Guntur pada Senin (09/09).

Asvi Warman Adam, sejarawan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebut pemberian gelar pahlawan kepada Sukarno—bersama Muhammad Hatta—pada tahun 2012 sebetulnya sudah memulihkan nama baiknya.

“Yang dilakukan sekarang ini [...] menurut saya adalah menegaskan kembali. Menurut saya perlu diluruskan istilahnya. [Bukan] mencabut,” ujar Asvi.

Walau dirinya mengakui surat pimpinan MPR itu menyempurnakan pemulihan nama baik Sukarno, Asvi mempertanyakan pemilihan waktu MPR dengan mengadakan silaturahmi dengan keluarga Sukarno pada Senin (09/09).

“Itu yang bagi saya juga tanda tanya. Apakah ini ada keinginan untuk mengadakan pendekatan dari pemerintah—dalam hal ini misalnya Presiden terpilih Prabowo [Subianto] dengan Megawati [Soekarnoputri], misalnya,” tutur Asvi.

Menurut Bonnie Triyana, sejarawan dan pemimpin redaksi majalah Historia, banyak orang tidak mengetahui tentang tidak berlakunya lagi Tap MPRS 33/1967 pada tahun 2003.

Bonnie pun berharap pemulihan nama baik Sukarno ini dapat mendorong generasi muda seperti milenial dan Gen Z untuk berani mendorong dan membuka sejarah masa lalu yang digambarkannya sebagai “banjir darah”.

“Saya pikir momentumnya sekarang tepat–di saat kita semua sudah bisa mulai merefleksikan masalah. Bukan hanya masyarakat, tetapi juga elit,” ujarnya.

Bagaimana Tap MPRS 33/1967 mengaitkan Sukarno dengan G30S?

Keterkaitan antara Presiden Sukarno dan G30S/PKI menjadi perdebatan panjang dalam sejarah politik Indonesia.

Tuduhan terhadap Presiden Sukarno muncul dalam konteks politik pasca-1965. Saat itu, terjadi pergeseran kekuasaan dan upaya untuk mendelegitimasi kepemimpinan Presiden Sukarno.

Seperti diketahui, Partai Komunis Indonesia (PKI) saat itu menjadi pihak yang dituding bertanggung jawab atas tragedi September 1965 yang melenyapkan nyawa sejumlah petinggi TNI Angkatan Darat (AD) yakni Komandan TNI AD, Jenderal Ahmad Yani, Letnan Jenderal Suprapto, Letnan Jenderal MT Haryono, Letnan Jenderal S Parman, Mayor Jenderal DI Pandjaitan, Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, dan Kapten Pierre Tendean.

Pierre Tendean merupakan ajudan Panglima TNI Jenderal AH Nasution juga menjadi target pembunuhan. Nasution berhasil lolos dari tragedi itu.

Tap MPRS 33/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Sukarno, menyebut Sukarno menguntungkan kelompok yang melakukan G30S.

Pada 1966, Presiden Sukarno diminta untuk memberikan pertanggungjawaban untuk tragedi tersebut—terutama untuk mencari dalang alias siapa yang bertanggung jawab di balik semuanya.

Pada 22 Juni 1966, Sukarno memberikan pidato pertanggungjawaban yang disebut Nawaksara. MPRS pada saat itu menolak Nawaksara karena dianggap tidak memenuhi keinginan rakyat. MPRS juga menolak laporan tertulis Presiden Sukarno yang disebut Pelengkap Nawaksara (Pel-Nawaksara) pada 10 Januari 1967.

Sidang Istimewa MPRS yang digelar 7-12 Maret 1967 pun mencabut kekuasaan Presiden Soekarno melalui Tap MPRS 33/1976.

“MPRS waktu itu menganggap [Nawaksara dan Pel-Nawaksara] ini tidak cukup untuk menjelaskan ataupun menunjukkan pertanggungjawaban Soekarno atas peristiwa G30S,” ujar pengamat sejarah Bonnie Triyana pada Selasa (10/09).

Padahal, imbuh Bonnie, Sukarno berpendapat bahwa peristiwa G30S merupakan persoalan yang bisa diselesaikan melalui jalur hukum: mereka yang terlibat dalam pembunuhan para jenderal harus diadili. Sukarno pun membentuk Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).

“Istilahnya Sukarno: kalau mau memburu tikus, jangan lumbung padinya yang dibakar,” ujar Bonnie.

Bonnie menjelaskan bahwa dalam perjalanannya, ternyata ada juga orang non-militer yang terlibat dan diadili di Mahmilub. Dia mencatat ada sekitar 1.887 kasus yang diadili Mahmilub, 1.009 di antaranya militer, sementara sisanya orang sipil.

Bonnie mengatakan bentuk pertanggungjawaban Sukarno ini tidak diterima dan, selain itu, Sukarno juga mendapat tuduhan “dekadensi moral” yang yang terjadi kepada bangsa.

“Waktu itu ya sudah mau menggulingkan Bung Karno dengan jalan yang seolah konstitusional. Atau istilahnya sejarawan, creeping kudeta,” ujarnya.

“Penyelesaian secara politis dengan dibalut konstitusi. Kayak yang sekarang-sekarang inilah yang kita juga belakangan lihat.”

Tap MPRS 33/1967 itu, sambung Bonnie, mengaitkan Sukarno dengan PKI karena ada bagian yang menuduh seolah presiden pertama Indonesia itu sebagai dalang atas kudetanya sendiri atau melindungi orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Senada dengan Bonnie, peneliti utama LIPI Asvi Warman Adam, mengatakan pertimbangan di dalam Tap MPRS 33/1967 menyebutkan Sukarno memberikan bantuan terhadap gerakan G30S—padahal dekrit itu dikeluarkan dalam rangka pengalihan kekuasaan dari Sukarno ke Suharto.

“Gerakan 30 September itu kan ingin melakukan kudeta terhadap Bung Karno. Tentu tidak masuk akal kalau Bung Karno yang akan dikudeta itu juga memberikan bantuan,” ujar Asvi.

Apa arti dari ‘pencabutan’ Tap MPRS 33/1967?

Asvi mengatakan tidak berlakunya Tap MPRS 33/1967 sejatinya menghilangkan pertimbangan di dalam ketetapan yang menyatakan Sukarno memberikan bantuan terhadap gerakan G30S.

Asvi menyebut pemberian gelar pahlawan kepada Sukarno—bersama Muhammad Hatta—pada tahun 2012 sebetulnya sudah memulihkan nama baiknya.

“Yang dilakukan sekarang ini [...] menurut saya adalah menegaskan kembali. Menurut saya perlu diluruskan istilahnya. [Bukan] mencabut,” ujar Asvi.

Sejarawan itu juga mengingatkan bahwa Presiden Sukarno juga sudah diberi gelar sebagai pahlawan proklamator pada 1986 yang merupakan gelar tinggi—jauh sebelum 2021.

Asvi pun mendorong pemerintah untuk memasukkan pemulihan nama baik Presiden Sukarno ini ke dalam buku-buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah sebagai upaya yang lebih konkret.

Terpisah, Bonnie mengatakan gestur dari MPR ini merupakan sebuah “pencapaian yang luar biasa” bukan hanya untuk keluarga Sukarno, melainkan juga untuk rakyat Indonesia.

Bonnie pun berharap pemulihan nama baik Sukarno ini dapat menginspirasi generasi muda seperti milenial dan Gen Z untuk berani mendorong dan membuka sejarah masa lalu yang digambarkannya sebagai “banjir darah” sehingga dapat memutus “siklus kekerasan” yang secara historis terus terjadi.

Mengapa baru sekarang gestur MPR ini dilakukan?

Walau dirinya mengakui surat pimpinan MPR itu “menyempurnakan” pemulihan nama baik Sukarno, Asvi mempertanyakan pemilihan waktu MPR dengan mengadakan silaturahmi dengan keluarga Sukarno pada Senin (09/09).

“Itu yang bagi saya juga tanda tanya. Apakah ini ada keinginan untuk mengadakan pendekatan dari pemerintah—dalam hal ini misalnya Presiden terpilih Prabowo dengan Megawati, misalnya,” tutur Asvi.

Dalam pernyataannya, Ketua MPR Bambang Soesatyo menyebut surat pimpinan MPR yang ditandatangani 10 unsur pimpinan MPR itu merupakan tanggapan dari surat Menteri Hukum dan HAM tentang tindak lanjut tidak berlakunya Tap MPRS 33/1967 yang diterbitkan pada tanggal 13 Agustus 2024.

Meskipun begitu, Asvi mengatakan mungkin saja surat itu “sudah lama” dibuat.

“Tetapi sekarang ini, pada akhir masa jabatan, mereka masih melihat ada yang belum diselesaikan [...] oleh pimpinan MPR,” ujar Asvi.

“Mungkin itu yang terjadi sekarang. Jadi orang bisa saja menafsirkan ada keinginan untuk melakukan pendekatan terhadap Sukarno atau keluarga Bung Karno atau terhadap PDIP dari pemerintah misalnya.”

Adapun Bonnie berpendapat banyak orang tidak mengetahui tentang tidak berlakunya lagi Tap MPRS 33/1967 pada tahun 2003. Dia pun tidak melihat adanya upaya dari pemerintahan yang akan datang untuk “cuci tangan”

“Saya melihat ini persoalan sejarah. Saya pikir momentumnya sekarang tepat–di saat kita semua sudah bisa mulai merefleksikan masalah. Bukan hanya masyarakat, tetapi juga elite,” ujarnya.

Terpisah, dosen politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Abdul Gaffar Karim, mengatakan negara benar-benar harus menuntaskan pemulihan nama baik Sukarno. Sebab, menurut dia, pemulihan nama baik Sukarno di kalangan akademisi sudah terjadi sejak lama.

Justru, imbuhnya, negara yang lamban dalam melakukan rehabilitasi nama Sukarno.

“Negara masih punya banyak regulasi yang menyalahkan Bung Karno atas apa yang terjadi tahun 1965 termasuk Tap MPRS ini. Negara juga masih merayakan banyak hal yang menyudutkan Bung Karno misalnya Hari Kesaktian Pancasila,” ujarnya.

“Saya kira pencabutan ini adalah salah satu tahap dari langkah negara. Agendanya masih banyak [untuk pemulihan nama baik],” ujarnya.

Apakah ada motif politik dari ‘pencabutan’ Tap MPRS 33/1967 ini?

Sri Lestari Wahyuningroem, peneliti Carr Center for Human Rights Policy di Harvard University, memperkirakan ‘pencabutan’ yang dilakukan MPR ini adalah bagian dari pertukaran politik khususnya terkait dengan kepentingan PDIP atau Megawati Soekarnoputri.

“Dalam kacamata politik khas Indonesia, tentu sesuatu dipertukarkan dengan hal lainnya utk keuntungan masing-masing,” ujar Sri Lestari pada Rabu (11/09).

Dosen Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta itu kemudian mengingatkan bahwa Tap MPR Nomor 1 tahun 2003 sebetulnya sudah mengesankan pencabutan Tap MPRS 33/1967 khususnya pada pasal 6 yang menyebut bahwa dekrit lawas itu “tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan.”

Sri Lestari juga mengingatkan bahwa Tap MPR 1/2003 ditandangani almarhum Taufik Kiemas—almarhum suami Megawati. Megawati juga masih menjadi presiden Indonesia pada 2003.

“Jadi kalau sekarang ditegaskan lagi dengan pembatalan, sebetulnya tidak berarti banyak selain bagian seremonialnya itu. Dan tentu ini lebih menguntungkan bagi Megawati dan PDIP daripada Jokowi,” ujar Sri Lesari.

“Ini membangun kembali legitimasi politik PDIP yg sekarang terjun bebas apalagi ditinggal oleh banyak elite dan parpol lainnya.”

Sementara dosen politik UGM, Abdul Gaffar KarimTerpisah, mengatakan dirinya tidak melihat ada keterkaitan besar atas ‘pencabutan’ Tap MPRS 33/1967 ini dengan politik elektoral kekinian.

“Perjuangan mencabut Tap MPRS 33/1967 ini sudah cukup lama. [Sudah] sejak reformasi. Mungkin negosiasi politiknya baru tuntas belakangan ini saja,” ujarnya.

Bonnie Triyana—yang juga merupakan Kepala Badan Sejarah Indonesia untuk PDIP—mengatakan “urusan hukum dan politik dalam beberapa titik tertentu sering kali bersinggungan dan sering kali kontradiktif”.

“Sering kali juga ada momentum yang tepat untuk menyampaikan sesuatu,” ujarnya.

‘Kami sekeluarga memaafkan semua yang terjadi di masa lalu’: Guntur Sukarnoputra

Putra sulung Sukarno, Guntur Sukarnoputra, dalam menyatakan ahli waris Sukarno sudah “menunggu selama lebih dari 57 tahun” untuk keadilan terhadap ayahnya.

Hal tersebut disampaikan Guntur setelah keluarga besar Sukarno menerima surat pimpinan MPR itu di Senayan pada Senin (09/09). Selain Guntur, hadir pula putri Sukarno, Presiden Ke-5 Megawati Sukarnoputri bersama anak laki-lakinya, Prananda Prabowo, juga anak-anak Sukarno lainnya yakni Guntur Sukarnoputra dan Sukmawati Sukarnoputri.

Turut hadir pula keluarga dari almarhumah Rachmawati Sukarnoputri, anak perempuan Sukarno yang meninggal dunia pada Juli 2021.

Guntur menekankan pihak keluarga sebetulnya sama sekali tidak mempermasalahkan lengsernya Sukarno (“Memang kekuasaan presiden Indonesia harus ada batasnya, tidak peduli siapa pun dia,” ujar Guntur) — tetapi tuduhan pengkhianatan adalah sesuatu yang “tidak dapat bisa diterima”.

“Tuduhan keji yang tidak pernah dibuktikan melalui proses peradilan [...] itu telah memberikan luka yang sangat mendalam [baik] bagi keluarga besar kami maupun rakyat Indonesia yang patriotik dan nasionalis,” ujar Guntur seperti dilansir Kompas.com pada Senin (09/09).

Guntur pun menyebut gestur dari MPR berarti tuduhan terhadap Sukarno “terbantahkan, sekali lagi”.

Dia menambahkan keluarga saat ini mengharapkan adanya rehabilitasi nama baik terhadap Sukarno atas tuduhan pengkhianatan yang menimpa proklamator Indonesia itu.

“Yang diinginkan saat ini adalah rehabilitasi, rehabilitasi nama baik Bung Karno atas tuduhan sebagai seorang pengkhianat bangsa. Keinginan tersebut bukan hanya bagi nama baik Bung Karno di mata anak-anak, cucu-cucu, dan cicit-cicitnya tetapi lebih penting dari itu semua adalah bagi kepentingan pembangunan mental dan karakter bangsa khususnya bagi generasi penerus bangsa ini,” ujar Guntur.

Guntur pun mengatakan pihak keluarga Sukarno telah bersepakat untuk “memaafkan semua yang terjadi di masa lalu” dan berharap apa yang terjadi kepada Sukarno tidak akan terulang kepada siapa pun.

Apa tanggapan penyintas 1965?

BBC News Indonesia berupaya menghubungi sejumlah penyintas kasus kekerasan pasca 1965 untuk meminta tanggapan mereka atas gestur yang dilakukan MPR.

Uchikowati Fauzia, generasi kedua Peristiwa 65 mengatakan dirinya mengapresiasi keputusan yang menurutnya adalah “pemulihan nama baik” Sukarno.

“Saya mengucapkan selamat kepada keluarga Bung Karno atas perjuangan untuk pemulihan nama baik Bung Karno selama 56 tahun. Ini adalah kemenangan rakyat [juga],” ujarnya pada Selasa (10/09).

Di sisi lain, Uchikowati yang sedang menghadiri pemutaran film Eksil (sebuah dokumenter tentang tahan politik 1965) mengaku dirinya sedikit “was-was” karena sering mendapat harapan palsu dari negara.

“Jangan-jangan setelah ini negara memberikan gelar pahlawan nasional pada Suharto?” ujarnya.

Meski begitu, Uchikowati mengatakan sebagai penyintas 65 dirinya masih berharap apa yang mereka tuntut selama ini juga dikabulkan negara, yaitu mencabut Tap MPRS 25/1966 “agar stigma PKI bisa berakhir”.

Terpisah, Bedjo Untung, penyintas kasus kekerasan pasca 1965, mengatakan dirinya “tidak terlalu terkejut” atas ‘pencabutan’ Tap MPRS 22/1967.

“Karena sebetulnya ini bagi saya sungguh aneh dan tidak menjawab persoalan,” ujarnya pada Selasa (10/09).

Bedjo mengatakan pencabutan Tap MPRS 3/1967 berarti Sukarno bisa kembali berkegiatan politik—sesuatu yang tidak ada artinya mengingat presiden pertama Indonesia itu sudah meninggal dunia (“Beliau diperlakukan tidak manusiawi sampai wafat,” imbuh Bedjo).

Bedjo menekankan klausul dalam Tap MPRS 33/1967 yang menyebut “pemberontakan” dan “pengkhianatan” adalah memutarbalikkan fakta.

“PKI justru ingin membangun Indonesia yang sosialis. Klausul yang mengatakan [pengkhianatan] itu menyesatkan. Yang berkhianat justru Suharto,” ujar Bedo.

Bedjo pun menyebut ‘pencabutan’ yang dilakukan MPR pada Senin (09/09) hanya bersifat administratif mengingat Tap MPRS 33/1967 sudah tidak berlaku sejak 2003 melalui Tap MPR.

Sama seperti Uchikowati, Bedjo juga mendesak MPR untuk juga mencabut Tap MPRS 25/1966 tentang pelarangan PKI yang menurutnya.

Bedjo menyebut para korban peristiwa 1965 mendesak supaya kasus 1965 dibuka selebar-lebarnya melalui penegakan hukum dengan membangun pengadilan ad hoc apabila Ketua MPR Bambang Soesatyo “benar-benar serius ingin mengembalikan marwah Soekarno”.

“Yang melakukan pembangkangan adalah Soeharto dengan memanipulasi Supersemar [Surat Perintah Sebelas Maret]. Ini yang harus diluruskan,”

Di sisi lain, Sri Lestari Wahyuningroem, peneliti Carr Center for Human Rights Policy, Harvard University, mengaku pesimistis apabila ‘pencabutan’ Tap MPRS 33/1967 ini merupakan bagian dari penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, apalagi soal genosida 1965 dan 1966.

Dia menekankan selama Tap MPRS 25/1967 tidak dicabut, stigma komunis dan kontrol atas ketakutan terhadap hantu yang diciptakan Orde Baru untuk rezim manapun—terlepas siapa yang berkuasa—akan selalu ada.

“Hantu ini masih dibutuhkan karena sangat efektif menaklukkan lawan politik,” tegas Sri Lestari.

Sri Lestari juga menekankan bahwa Megawati, mantan presiden Indonesia dan ketua PDIP, tidak pernah bersuara tentang 1965 meskipun ayahnya adalah korban.

“Kita tidak pernah tahu posisi [Megawati] seperti apa. Keliru kalau menganggap pencabutan Tap MPRS 33 ini ada dampaknya terhadap penyelesaian ‘65,” ujar Sri Lestari.

“Untuk mereka yang melihat dari perspektif elite, mungkin iya. Tapi genosida 65 bukan hanya mengorbankan elite, tapi yang lebih utama lagi adalah 500.000 sampai jutaan warga negara Indonesia, rakyat sipil biasa. Dan tidak ada pemimpin yang melihat dalam kacamata tersebut atau memikirkan dampaknya terhadap Indonesia hari ini dan masa depan jika tidak diselesaikan dengan bermartabat bagi korban dan keluarganya.”

Apa itu Supersemar dan bagaimana perkembangannya?

Terpisah, Bedjo Untung, penyintas kasus kekerasan pasca 1965, mengatakan dirinya “tidak terlalu terkejut” atas ‘pencabutan’ Tap MPRS 22/1967.

“Karena sebetulnya ini bagi saya sungguh aneh dan tidak menjawab persoalan,” ujarnya pada Selasa (10/09).

Bedjo mengatakan pencabutan Tap MPRS 3/1967 berarti Sukarno bisa kembali berkegiatan politik—sesuatu yang tidak ada artinya mengingat presiden pertama Indonesia itu sudah meninggal dunia (“Beliau diperlakukan tidak manusiawi sampai wafat,” imbuh Bedjo).

Bedjo menekankan klausul dalam Tap MPRS 33/1967 yang menyebut “pemberontakan” dan “pengkhianatan” adalah memutarbalikkan fakta.

“PKI justru ingin membangun Indonesia yang sosialis. Klausul yang mengatakan [pengkhianatan] itu menyesatkan. Yang berkhianat justru Suharto,” ujar Bedo.

Bedjo pun menyebut ‘pencabutan’ yang dilakukan MPR pada Senin (09/09) hanya bersifat administratif mengingat Tap MPRS 33/1967 sudah tidak berlaku sejak 2003 melalui Tap MPR.

Sama seperti Uchikowati, Bedjo juga mendesak MPR untuk juga mencabut Tap MPRS 25/1966 tentang pelarangan PKI.

Bedjo menyebut para korban peristiwa 1965 mendesak supaya kasus 1965 dibuka selebar-lebarnya melalui penegakan hukum dengan membangun pengadilan ad hoc apabila Ketua MPR Bambang Soesatyo “benar-benar serius ingin mengembalikan marwah Soekarno”.

“Yang melakukan pembangkangan adalah Soeharto dengan memanipulasi Supersemar [Surat Perintah Sebelas Maret]. Ini yang harus diluruskan,”

Surat Perintah Sebelas Maret 1966 alias Supersemar merupakan surat perintah yang diberikan oleh Sukarno kepada Suharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi darurat yang terjadi di Indonesia khususnya pasca G30S.

Supersemar menjadi kontroversi karena ada beberapa penafsiran dan tujuan: Apakah semata-mata untuk mengatasi situasi darurat, atau justru untuk memindahkan kekuasaan secara bertahap dari Sukarno ke Suharto?

Yang jelas, Supersemar menjadi landasan hukum bagi Suharto untuk mengambil alih kekuasaan dan membentuk pemerintahan baru—yang kemudian dikenal sebagai Orde Baru.

Naskah asli Supersemar hingga kini belum ditemukan.

“Supersemar itu adalah sebuah dokumen yang otentiknya belum ditemukan. Tentunya diupayakan terus supaya ketemu,” ujar sejarawan Asvi.

“Bahkan Arsip Nasional itu sudah menetapkan Supersemar itu sebagai Daftar Pencarian Arsip. Ada imbalan yang cukup besar bagi yang menemukan.”

Di sisi lain, Asvi mengatakan versi surat yang tersedia pun merupakan perintah dari Sukarno untuk melakukan pengamanan.

“Tetapi yang dilakukan Suharto lebih dari itu,” ujar Asvi.

Sejarawan Bonnie mengatakan Supersemar menjadi dasar dari Tap MPRS untuk “memberikan jalan kekuasaan kepada Suharto” padahal isinya bukanlah pemindahan kekuasaan—melainkan untuk menjaga ketertiban, menjaga keselamatan Sukarno, dan memastikan ajaran-ajaran Sukarno tetap diajarkan.

“Suharto adalah seorang pemimpin yang lahir karena krisis politik. Mandatnya bukan datang karena demokratis,” ujar Bonnie.

Dosen politik UGM, Abdul Gaffar Karim, menambahkan Sukarno sebenarnya banyak melakukan langkah untuk mencegah konflik lebih lanjut setelah terbunuhnya para jenderal, tetapi sering dimanipulasi seolah-olah dirinya melarang pembasmian PKI sebagai partai politik.

“Mereka dikenal sebagai jenderal yang setia kepada Bung Karno [terutama] Ahmad Yani,” ujar Abdul.

“Ini yang saya kira memang sudah waktunya itu dikoreksi oleh negara.”

BBC News Indonesia telah menghubungi Mugiyanto Sipin, korban selamat penculikan 1998 yang kini menjadi tenaga ahli utama di Kantor Staf Presiden (KSP), untuk mewakili pemerintah dalam artikel ini.

Namun, hingga artikel ini diturunkan, yang bersangkutan belum memberikan respons.

Sumber: BBC Indonesia
BBC
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas