Tersangka Percobaan Pembunuhan Trump Diduga Pro-Palestina & Ukraina, Pertanyakan Klaim Israel
Pelaku kasus percobaan pembunuhan terhadap Donald Trump diduga pro-Palestina dan Ukraina.
Penulis: Febri Prasetyo
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
TRIBUNNEWS.COM – Ryan Wesley Routh (58), tersangka kasus percobaan pembunuhan terhadap calon Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, diduga pendukung Ukraina dan Palestina.
Routh hampir saja menembak Trump pada hari Minggu, (15/9/2024), di lapangan golf milik Trump di West Palm Beach, Florida.
Anadolu Agency menyebut Routh adalah sosok yang kontroversial dan rumit.
Routh pernah muncul dalam video komersial yang memperlihatkan Thomas Crook, pria yang berupaya membunuh Trump dua bulan lalu. Oleh karena itu, muncul pertanyaan apakah keduanya memiliki kaitan.
Routh lahir di North Carolina. Dia menempuh pendidikan tinggi di Universitas Negeri Pertanian dan Teknik North Carolina dengan mengambil jurusan Teknik Mesin.
Pada sekitar tahun 2018 dia pindah ke Hawaii. Di sana dia mendirikan perusahaan pembangunan gudang yang bertujuan untuk mengatasi masalah tunawisma.
Pada akun LinkedIn miliknya, Routh mengaku “terus berfokus berkontribusi sebanyak mungkin demi masyarakat”.
Pro-Ukraina dan pro-Palestina
Routh mengikuti peristiwa besar yang tengah terjadi di dunia, terutama konflik Ukraina-Rusia.
Pada tahun 2022 dia pergi Ukraina untuk melawan Rusia. Dia juga mengimbau masyarakat dunia untuk bergabung dengan dia atau mengirimkan bantuan.
Akan tetapi, laporan Financial Times menyebut bahwa dia ditolak sebagai sukarelawan tempur karena tidak memiliki pengalaman militer dan sudah berusia tua.
Baca juga: Trump Nyaris Ditembak Lagi, Elon Musk Penasaran: Kenapa Tak Ada yang Coba Bunuh Biden dan Harris?
“Kita harus mengakhirinya di Moskwa … kita memerlukan senjata nuklir kita sehingga kita bisa meratakan Moskwa dan mengakhiri kejahatan,” ujar Routh di media sosial X.
Routh mengklaim berada di Ukraina selama delapan bulan.
Dia juga meminta Elon Musk agar membeli sebuah roket. Roket itu akan diisi hulu ledak dan digunakan untuk menyerang bunker Presiden Rusia Vladimir Putin di Laut Hitam.
Permintaan itu memunculkan pertanyaan mengenai kondisi kesehatan mentalnya.