Konflik di Myanmar yang menghalangi proyek ambisius China
Perang saudara yang tak kunjung usai di Myanmar kini sudah di ambang pintu China dan hal ini menjadi kerugian besar bagi Beijing.
Namun zona ekonomi dinamis yang diciptakan oleh investasi China berhasil berkembang—hingga perang saudara terjadi.
Sebuah pengeras suara kini memperingatkan warga Ruili agar tidak terlalu dekat dengan pagar perbatasan—tetapi hal itu tidak menghentikan seorang turis China untuk menjulurkan lengannya di antara jeruji gerbang untuk mengambil swafoto.
Dua gadis berkaus oblong Disney berteriak melalui jeruji—“hei kakek, halo, lihat ke sini!"—sambil menjilati sendok es krim berwarna merah muda.
Pria tua yang berjalan tanpa alas kaki di sisi lain hampir tidak menoleh sebelum berbalik.
Tempat perlindungan di Ruili
“Orang Burma hidup seperti anjing,” kata Li Mianzhen.
Kiosnya menjual makanan dan minuman dari Myanmar—seperti teh susu—di sebuah pasar kecil yang hanya beberapa langkah dari pos pemeriksaan perbatasan di kota Ruili.
Li, yang berusia sekitar 60-an tahun, biasa menjual pakaian buatan China di seberang perbatasan di Muse, sumber utama perdagangan dengan China.
Namun, ia mengatakan hampir tidak ada seorang pun di kotanya yang punya cukup uang lagi.
Junta militer Myanmar masih menguasai kota tersebut, salah satu tempat persembunyian terakhirnya di Negara Bagian Shan.
Namun, pasukan pemberontak telah merebut perlintasan perbatasan lainnya dan zona perdagangan utama di jalan menuju Muse.
Li mengatakan situasi ini telah membuat banyak orang putus asa.
Ia tahu beberapa orang telah menyeberangi perbatasan untuk mendapatkan upah sebesar 10 yuan (sekitar Rp21.500) supaya mereka bisa kembali ke Myanmar dan "memberi makan keluarga mereka".