Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun
Deutsche Welle

75 Tahun Frankfurt Book Fair: Pameran Buku dan Ajang Protes

Perang Dingin, neo-Nazi, serta fatwa Iran terhadap Salman Rushdie, semuanya pernah ikut memengaruhi Frankfurt Book Fair, yang berusia…

zoom-in 75 Tahun Frankfurt Book Fair: Pameran Buku dan Ajang Protes
Deutsche Welle
75 Tahun Frankfurt Book Fair: Pameran Buku dan Ajang Protes 

Meskipun ada dokumen yang menyebut pameran buku telah diadakan di Frankfurt sejak tahun 1462, versi modern Pameran Buku Frankfurt atau Frankfurt Book Fair diadakan untuk pertama kalinya tahun 1949.

Tahun ini, Pameran Buku Frankfurt diadakan dari tanggal 16-20 Oktober. Sepanjang 75 tahun sejarahnya, salah satu pencapaian terbesar acara ini adalah membangun jembatan melalui "diplomasi buku." Namun, upaya ini juga terkadang memicu kontroversi.

Tahun 2015 Indonesia sempat menjadi Guest of Honour atau Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair. Acara persiapan saat itu digelar setahun sebelumnya, pada 28 Agustus 2014, dan dibuka oleh Wali Kota Frankfurt Peter Feldmann (SPD) dan Duta Besar RI untuk Jerman, Fauzi Bowo.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Saat itu, Komite Nasional FBF2015 memboyong sederetan pemusik, penyanyi dan penari, baik tradisional maupun kontemporer untuk menyajikan pertunjukan menarik. Selain sajian musik, area luas yang diberikan kepada Indonesia di tepian sungai diisi dengan gerai kuliner, barang kerajinan, dan berbagai informasi serta buku-buku Indonesia.

Ilusi bersatunya dunia di Frankfurt Book Fair

Pada tahun 1955, di tengah Perang Dingin, berbagai negara Blok Timur seperti Uni Soviet, Polandia, Hungaria, Cekoslowakia, dan Yugoslavia, berpartisipasi dalam Pameran Buku Frankfurt untuk pertama kalinya. Pada tahun yang sama Jerman Timur juga ikut serta.

Seperti yang dijelaskan oleh surat kabar Frankfurter Rundschau pada tahun 1957, pameran buku tersebut pada saat itu merupakan satu-satunya acara bisnis di dunia yang memungkinkan "ilusi bersatunya dunia" di tengah persaingan politik yang sedang berlangsung antara Barat dan Timur.

BERITA REKOMENDASI

Tirai Besi tetap membayangi pameran tersebut hingga tahun runtuhnya Tembok Berlin. Pada tahun 1989, penulis Ceko Vaclav Havel memenangkan Penghargaan Perdamaian dari Perdagangan Buku Jerman, tetapi ia tidak diberi visa keluar untuk menghadiri upacara tersebut.

Keadaan berubah drastis beberapa bulan kemudian, pada akhir tahun yang sama, Havel dilantik menjadi Presiden Cekoslowakia.

Bentrokan dengan ekstremis kanan

Terdapat pula gesekan dalam dunia penerbitan Jerman. Pada tahun-tahun awal pameran, tokoh-tokoh terkenal dari dunia penerbitan buku menuntut agar penerbit neo-Nazi dilarang mengikuti acara tersebut. Namun, penyelenggara memutuskan bahwa selama penerbit tidak terbukti melanggar hukum Jerman, mereka boleh ikut serta.

Meskipun masih menjadi isu kontroversial hingga saat ini, posisi penyelenggara pameran tidak berubah. Mereka bertujuan menghindari penyensoran dan mempromosikan kebebasan berekspresi. Namun tetap saja ada banyak protes terhadap penerbit sayap kanan selama 75 tahun terakhir.

Pada tahun 1955, berbagai peserta pameran bekerja sama untuk mengeluarkan penerbit neo-Nazi dari pameran. Tindakan protes ini dilakukan secara relatif 'diam-diam'. Namun tidak semua protes terhadap ekstrem kakan berlangsung tidak setenang itu. Polisi harus turun tangan pada tahun 2017 ketika pengunjuk rasa mengganggu pembacaan buku oleh Björn Höcke, pemimpin Alternative für Deutschland (AfD) di negara bagian Thüringen.

Björn Höcke secara hukum digambarkan "fasis" menurut pengadilan Jerman, Pada tahun berikutnya, Höcke kembali ke Pameran Buku Frankfurt untuk kembali melakukan pembacaan buku dengan perlindungan polisi.

Ajang pameran dengan agenda internasional

Frankfurt Book Fair juga mulai berfungsi sebagai panggung untuk berdemonstrasi isu-isu internasional pada tahun 1966. Saat itu, para pengungsi Kroasia berdemonstrasi menentang para peserta pameran Yugoslavia.

Setahun kemudian, penerbit Yunani berhadapan dengan para mahasiswa dan penjual buku yang memprotes kediktatoran militer di Yunani yang berkuasa pada bulan April 1967.

Pameran pada tahun 1968 ditandai dengan protes mahasiswa di Jerman Barat dan di seluruh dunia dan tercatat sebagai "Pameran Polisi." Tahun itu, Penghargaan Perdamaian Perdagangan Buku Jerman diberikan kepada presiden pertama Senegal, Leopold Sedar Senghor, yang juga terkenal sebagai penyair dan ahli teori budaya. Saat itu, para pengunjuk rasa di Frankfurt mengecam pemerintahan Senghor yang semakin otoriter. Demonstrasi mahasiswa Senegal telah ditumpas dengan kekerasan awal tahun itu.

Pada tahun 1971, protes selama pameran buku difokuskan pada Iran, karena upaya untuk menggulingkan Shah disambut dengan kekerasan. Tahun 1989, Iran tidak diundang karena telah memunculkan seruan untuk membunuh Salman Rushdie.

Seperti banyak kaum kiri lainnya, novelis Salman Rushdie mengecam Shah Iran dan awalnya mendukung Revolusi Islam Iran 1979. Namun 10 tahun kemudian, penulis tersebut menjadi target utama Ruhollah Khomeini, Pemimpin Tertinggi Iran, yang mengeluarkan fatwa yang memerintahkan pembunuhan Rushdie karena novelnya yang berjudul Satanic Verses, yang sebagian terinspirasi kehidupan nabi umat Islam, Muhammad.

Seruan untuk melakukan pembunuhan tersebut menyebabkan penyelenggara pameran buku melarang Iran berpartisipasi selama bertahun-tahun, termasuk pada tahun 1998, ketika Rushdie tiba-tiba muncul pada upacara pembukaan dengan pengamanan ketat.

Sebaliknya, Iran juga memboikot Frankfurt Book Fair pada berbagai kesempatan, termasuk pada tahun 2015 ketika Rushdie diundang untuk memberikan pidato pembukaan. Pada tahun 2023, Rushdie memenangkan Penghargaan Perdamaian dari Perdagangan Buku Jerman setelah selamat dari penikaman pada 2022.

Kontroversi negara Tamu Kehormatan

Konsep negara Tamu Kehormatan secara resmi diperkenalkan pada 1988, dimulai dengan Italia. Turki menjadi Tamu Kehormatan pada 2008, mempromosikan keragaman literaturnya dengan slogan "penuh warna yang memesona." Penulis termasuk Asli Erdogan, Elif Shafak, dan Sebnem Isiguzel sebagai suara-suara baru yang kuat dari Turki.

Namun dalam pidato pembukaan acara tersebut, Orhan Pamuk, penulis buku terlaris Turki dan peraih Nobel Sastra 2006, mengkritik kurangnya kebebasan berekspresi di negara asalnya. Pamuk sebelumnya membuat pernyataan tentang genosida Armenia dan pembunuhan massal suku Kurdi. Hal ini membuat ia dituntut dan buku-bukunya dibakar massa yang mengamuk.

Partisipasi Cina sebagai Tamu Kehormatan pada tahun 2009 memicu kontroversi. Beberapa minggu sebelum acara pameran dimulai, para penulis pembangkang dari Cina yang sedianya berpartisipasi dalam simposium tidak jadi diundang karena tekanan Cina.

Sumber: Deutsche Welle
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas