Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Perisai Rudal Tercanggih THAAD Hadir di Israel: Bisakah Melindungi Tel Aviv dari Hujan Misil Iran?

AS dan Israel telah berdiskusi selama beberapa minggu mengenai bagaimana Israel akan merespons serangan rudal Iran pada 1 Oktober. Hasilnya adalah?

Penulis: Malvyandie Haryadi
zoom-in Perisai Rudal Tercanggih THAAD Hadir di Israel: Bisakah Melindungi Tel Aviv dari Hujan Misil Iran?
X
Gambar yang disediakan oleh Angkatan Udara AS ini menunjukkan stasiun peluncuran Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) Angkatan Darat AS. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketika kawasan Barat Asia kembali menatap kemungkinan perang yang meluas, Washington merespons dengan cara yang sudah sangat dikenal: mengirimkan lebih banyak penasihat, pasukan, dan senjata ke daerah tersebut.

Kali ini, pemerintahan Biden memutuskan untuk melengkapi penempatan angkatan laut dan pasukan AS yang besar di kawasan itu dengan satu baterai Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) yang canggih di Israel.

Perisai rudal itu bertujuan untuk melindungi Tel Aviv dari serangan balasan Iran.

Konteks Strategis AS dan Israel

AS dan Israel telah berdiskusi selama beberapa minggu mengenai bagaimana Israel akan merespons serangan rudal Iran pada 1 Oktober.

Secara sepintas, Washington berharap dapat mengendalikan hasrat Israel untuk melakukan aksi yang lebih besar dengan memberikan lebih banyak senjata dan dukungan.

Namun, situasi keamanan yang semakin tidak bisa dipertahankan dari Levant hingga Teluk Persia tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan.

Berita Rekomendasi

Banyak pihak melihat langkah ini sebagai cara Biden untuk mengalihkan tanggung jawab kepada penerusnya.

Pengamat Timur Tengah Ali Ahmadi mengatakan, dalam konteks ini, pemerintahan Biden tidak hanya menghadapi masalah keputusan yang tidak tepat, tetapi juga tantangan terhadap prinsip-prinsip dasar konstitusi AS.

"Sesuai dengan konstitusi, presiden AS harus mendapatkan izin dari Kongres untuk memulai perang. Namun, kenyataannya, banyak presiden sejak Perang Dunia II telah mengabaikan prinsip ini," katanya.

Undang-Undang Kekuasaan Perang 1973 memberikan kekuasaan kepada presiden untuk melibatkan diri dalam konflik militer tanpa persetujuan Kongres, menciptakan situasi di mana keputusan dapat dibuat secara sepihak.

Politik luar negeri AS cenderung memperkuat kekuasaan eksekutif, dengan sedikit kontrol dari lembaga legislatif.

Seiring dengan berkurangnya minat anggota Kongres terhadap isu luar negeri, keputusan strategis sering kali diambil tanpa pemahaman yang mendalam tentang kompleksitas yang ada.

"Sejauh mana kebijakan luar negeri Trump dan Biden serupa sangat mencolok. Kekuasaan luar biasa yang dipercayakan kepada seorang presiden dan kelompok penasihat pilihannya memastikan bahwa kebijakan luar negeri AS mempertahankan karakter impulsif yang tidak biasa bagi sebuah demokrasi."

"Tidak banyak kebutuhan akan doktrin atau strategi menyeluruh untuk membentuk pendekatan yang sistematis dan stabil terhadap urusan internasional, sehingga kepentingan bangsa tidak terdefinisi dengan baik," sambungnya.

Ia kemudian membandingkan hal ini dengan Iran: musuh global dan regional utama Washington. 

"Pemimpin Tertinggi Iran, Ali Khamenei, adalah penengah utama keputusan keamanan nasional, tetapi proses pengambilan keputusan kebijakan luar negeri Iran melibatkan proses konsultatif yang kompleks melalui organ-organ seperti Mahkamah Agung," ujarnya.

Kemandekan Strategis dalam Kebijakan Luar Negeri

Ali menilai, kebijakan luar negeri AS, terutama terkait Israel dan Iran, menunjukkan pola ketidakpastian dan impulsivitas yang berbahaya.

Pendekatan yang cenderung reaktif ini tidak hanya memperburuk ketegangan, tetapi juga mengabaikan potensi untuk diplomasi yang lebih konstruktif.

Abbas Araghchi, Menteri Luar Negeri Iran, mengingatkan bahwa penempatan sistem rudal di Israel telah membahayakan nyawa tentara AS.

Ketidakpastian ini tecermin dalam keputusan untuk mengerahkan sistem pertahanan seperti THAAD, yang meskipun mahal dan canggih, tetap tidak dapat menjamin perlindungan yang efektif terhadap serangan rudal.

Keterbatasan Sistem Pertahanan Rudal

Sistem THAAD, yang terdiri dari peluncur bergerak, interceptor, dan peralatan radar, tidak diragukan lagi mahal dengan biaya operasional yang tinggi.

Namun, mengandalkan sistem pertahanan semacam ini untuk menangkal serangan rudal dari Iran bisa menjadi upaya yang sia-sia.

Setiap rudal memiliki kecepatan dan lintasan yang dapat sulit diprediksi, sehingga kemungkinan intercept bisa menjadi sangat rendah.

Analisis dari Akademi Militer West Point mengusulkan bahwa solusi yang lebih praktis bagi Israel adalah membangun lebih banyak tempat perlindungan, menunjukkan bahwa mengandalkan sistem pertahanan rudal dapat berakhir dengan frustrasi yang mahal.

Dengan meningkatnya ketegangan di kawasan, kebijakan luar negeri AS tampak terjebak dalam siklus yang terus berulang.

Meskipun setiap pemerintahan baru berjanji untuk mengalihkan perhatian dari Barat Asia dan menuju kawasan lain seperti Asia Timur, kenyataannya selalu berbicara lain.

Biden, Trump, dan Obama memiliki pendekatan serupa ketika berhadapan dengan dinamika geopolitik yang kompleks.

Namun, keputusan yang diambil di Washington sering kali tampak impulsif dan tidak terencana, menghasilkan konsekuensi yang mendalam bagi stabilitas regional.

"Dalam banyak hal, situasi saat ini merupakan pengingat akan pentingnya pemahaman yang lebih mendalam tentang dinamika kekuasaan di kawasan tersebut."

Meskipun THAAD mungkin terlihat sebagai solusi, kenyataannya jauh lebih rumit.

Di saat ketegangan terus meningkat, penting bagi pengambil keputusan di Washington untuk tidak hanya memperhitungkan aspek militer, tetapi juga potensi untuk penyelesaian diplomatik yang lebih berkelanjutan.

Apakah THAAD Akan Berhasil?

Secara keseluruhan, pertanyaan yang mendasar adalah apakah penempatan THAAD di Israel akan membuat perbedaan yang signifikan.

Tanpa strategi yang jelas dan pemahaman yang baik tentang kapasitas serta niat musuh, kemungkinan besar langkah ini hanya akan menambah kerumitan tanpa mengatasi masalah mendasar yang ada.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas