Putin Buktikan Masih Punya Teman dengan Membesarnya BRICS, tapi Mungkin Akan Ada Konflik Internal
Rusia menjadi tuan rumah pertemuan puncak BRICS minggu ini, yang bisa menunjukkan Barat gagal mengisolasi Rusia dari panggung internasional.
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Ayu Miftakhul Husna
TRIBUNNEWS.COM - Rusia dinilai tengah menunjukkan kekuatannya di BRICS (Brazil, Russia, India, China, South Africa), blok ekonomi yang berupaya menyaingi Barat.
Rusia tengah menyelenggarakan KTT BRICS minggu ini, pertemuan tingkat tinggi pertama sejak keanggotaan kelompok tersebut bertambah hampir dua kali lipat dari pembentukan awal.
Dengan penambahan anggota Iran, Mesir, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab, blok ini menunjukkan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin masih memiliki teman di pentas global.
Namun, di balik ekspansi ini, terdapat pertanyaan besar: apakah semua anggota dapat bersatu tanpa menciptakan ketegangan baru?
Putin memuji berkembangnya keanggotaan BRICS sebagai bukti semakin kuatnya otoritas dan peran kelompok tersebut dalam urusan internasional.
Namun, ketegangan geopolitik dan persaingan kepentingan dalam kelompok tersebut menghambat upaya Rusia untuk mengikis dominasi Barat, khususnya dolar AS, menurut analis.
"Ekspansi BRICS bukanlah tugas yang mudah," kata Abishur Prakash, pendiri The Geopolitical Business, sebuah firma penasihat strategi di Toronto, Kanada.
"Ekspansi berisiko menciptakan kubu-kubu yang bersaing dalam kelompok tersebut."
Sejak blok tersebut didirikan pada tahun 2006 dengan Brasil, Rusia, India, dan China (BRIC) sebagai anggota sebelum Afrika Selatan bergabung pada tahun 2010, BRICS telah mencoba menantang dominasi ekonomi Barat.
Selama dua dekade terakhir, para anggotanya mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Setelah perluasan baru-baru ini, negara-negara anggotanya mewakili hampir 46 persen populasi dunia dan sekitar 25 persen ekspor global.
Baca juga: Spesifikasi Pesawat Falcon 8X A-0801 Asal Prancis, Antar Sugiono ke Rusia Ikuti KTT BRICS Plus 2024
Tahun lalu, lebih dari 40 negara menyatakan minatnya untuk bergabung dengan blok tersebut.
Dalam dunia yang ideal, keanggotaan baru akan memperkuat BRICS. Namun, realitasnya jauh lebih rumit.
Anton Barbashin, salah satu pendiri dan direktur editorial di Riddle Russia, jurnal daring tentang urusan Rusia, menyebut BRICS sebagai kumpulan negara yang belum terbentuk sepenuhnya.
Barbashin mengatakan kelompok ini tidak memiliki peluang untuk bersatu secara politik, mengingat kepentingan para anggotanya berbeda-beda dan bahkan saling bersaing.
Para anggota BRICS bergulat dengan perselisihan internal mengenai hubungan dengan Barat, klaim teritorial, serta invasi Rusia ke Ukraina.
Anggota lainnya terlibat dalam kebuntuan internal, misalnya India dan China yang berselisih mengenai wilayah perbatasan mereka yang disengketakan, meskipun mereka mengumumkan kesepakatan tentang pengaturan patroli minggu ini.
Beberapa negara, terutama India dan Afrika Selatan, juga harus melakukan upaya penyeimbangan yang rumit, yaitu melibatkan diri dengan BRICS tanpa menjauhkan diri dari mitra mereka dari Barat.
Barbashin mengatakan kepada Business Insider bahwa KTT BRICS penting bagi Rusia karena Rusia diasingkan dari panggung internasional lainnya akibat invasinya ke Ukraina.
"Ini adalah cara untuk berkomunikasi dan mungkin mencapai beberapa kesepakatan di masa mendatang yang belum tentu dapat kami perkirakan," katanya.
Secara total, perwakilan dari 32 negara akan menghadiri KTT minggu ini, yang digelar pada 22-24 Oktober 2024, menurut Moskow.
Namun, Barbashin mengatakan ukuran kelompok tersebut menutupi ketidakmampuan mereka.
"Itu hanya gambaran depan yang bagus," katanya.
Para pemimpin diharapkan untuk membahas sejauh mana anggota bersedia berkomitmen pada kelompok tersebut.
Selama jumpa pers yang diadakan oleh Pusat Analisis Kebijakan Eropa pada hari Senin, seorang analis memprediksi rintangan besar bagi kelompok tersebut untuk melampaui statusnya sebagai "sekedar klub diskusi."
Baca juga: Kedatangan Sekjen PBB di KTT BRICS 2024 Tuai Kecaman dari Ukraina
Evgeny Roshchin, seorang peneliti tamu di Pusat Urusan Global Henry A. Kissinger Universitas Johns Hopkins, mengatakan BRICS perlu memilih cara mendistribusikan kekuasaan di antara para anggotanya jika lebih banyak negara bergabung.
"Di balik retorika tersebut, ada kekhawatiran besar — bahkan di dalam Rusia — apakah para anggota baru tersebut akan menjadi setara dengan mereka," kata Roshchin.
Ia mencatat bahwa Rusia dapat kehilangan pengaruh dan kemampuan pengambilan keputusannya di antara sekelompok besar anggota yang secara konseptual setara.
Tantangan lainnya: Dolar
Tantangan lain yang dihadapi negara-negara anggota BRICS seperti Rusia dan China adalah mencoba mengubah dasar-dasar sistem perdagangan keuangan global yang sangat bergantung pada dolar AS.
Selama Forum Bisnis BRICS di Moskow minggu lalu, Putin mengatakan anggota kelompok tersebut sedang menggarap sistem pembayaran alternatif sebagai saingan SWIFT.
Menurut laporan Kementerian Keuangan Rusia, bank sentralnya, dan konsultan Yakov & Partners, sistem alternatif tersebut akan membantu pembayaran lintas batas antarnegara anggota.
Mereka membayangkan jaringan pembayaran menggunakan mata uang lokal, bukan mata uang cadangan standar seperti dolar.
Rusia telah memiliki model yang dapat dijadikan acuan untuk transaksi antarbank sentral: sistem mBridge di bawah Bank for International Settlements.
Anggota BRICS juga tengah mempertimbangkan mata uang alternatif, yang mencakup yuan digital China atau mungkin kripto.
Namun, dolar AS akan sulit digulingkan, bahkan tanpa adanya konflik kepentingan di antara anggota BRICS, menurut Barbashin.
Ia menambahkan bahwa meskipun negara-negara anggota BRICS bersatu dalam keinginan untuk perubahan, nyatanya tidak ada strategi nyata selain retorika yang indah untuk mewujudkannya.
KTT BRICS 22-24 Oktober 2024
KTT BRICS 2024 merupakan KTT BRICS tahunan ke-16 yang saat ini diselenggarakan di Kazan, Rusia, dari tanggal 22 hingga 24 Oktober 2024.
Acara ini merupakan KTT BRICS pertama yang mengikutsertakan Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab sebagai anggotanya setelah mereka bergabung dengan organisasi tersebut pada KTT BRICS ke-15.
Rusia, sebagai tuan rumah, diperkirakan akan mendorong dedolarisasi pada pertemuan puncak tersebut, lapor Reuters.
Baca juga: Spesifikasi Pesawat Falcon 8X A-0801 Asal Prancis, Antar Sugiono ke Rusia Ikuti KTT BRICS Plus 2024
Selain negara anggota, KTT BRICS dihadiri oleh negara-negara lainnya, termasuk Indonesia.
Indonesia diwakili oleh Menteri Luar Negeri Republik Indonesia (Menlu RI) Sugiono.
Mengutip situs kemlu.ri, Menlu Sugiono mengadakan pertemuan bilateral dengan Presiden New Development Bank (NDB) Dilma Rousseff pada 23 Oktober 2024.
Menlu Sugiono memulai pertemuan tersebut dengan memaparkan berbagai program strategis nasional Indonesia.
Sugiono menekankan bahwa program-program ini memiliki kemiripan dengan inisiatif pendanaan yang ditawarkan oleh NDB.
Dilma Rousseff, dalam tanggapannya, menyatakan bahwa program-program Indonesia sejalan dengan mandat NDB untuk mengatasi ketimpangan.
Ia juga membagikan pengalaman dari beberapa negara BRICS, termasuk Brasil, yang sukses melaksanakan program-program terkait perumahan rakyat dan transisi energi.
“Indonesia diharapkan dapat segera bergabung dengan NDB, dan kami menyambut baik potensi kerja sama di masa depan,” ungkap Rousseff.
Sebagai informasi, New Development Bank (NDB) adalah lembaga keuangan multilateral yang didirikan oleh negara-negara pendiri BRICS untuk mendukung proyek-proyek pembangunan infrastruktur dan berkelanjutan di negara-negara berkembang.
NDB didirikan pada Juli 2014 dan berkantor pusat di Shanghai, China, dengan Pusat Regional di Johannesburg, Afrika Selatan.
Indonesia telah diundang untuk bergabung dengan NDB sejak tahun 2022 dan saat ini masih dalam proses pengkajian.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)