Pakar: Tentara Korea Utara Akan Hadapi Kenyataan Perang yang Keras di Ukraina
Para ahli memperingatkan bahwa pengiriman tentara Korea Utara ke Rusia dapat menjadi bumerang karena paparan mereka terhadap dunia luar.
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Bobby Wiratama
TRIBUNNEWS.COM - Pada tanggal 18 Oktober 2024, badan intelijen Korea Selatan (NIS) melaporkan bahwa Korea Utara mengirim pasukannya ke Rusia untuk membantu dalam perang melawan Ukraina.
NIS menyebut Korea Utara mengirimkan 1.500 tentara dalam tahap awal.
Pengiriman pasukan tahap awal itu dilaporkan dilakukan pada 8-13 Oktober 2024, sementara sisanya akan menyusul kemudian.
Kemudian pada Rabu (23/10/2024), Menteri Pertahanan Amerika Serikat Lloyd Austin mengonfirmasi pengerahan pasukan Korea Utara tersebut.
"Sangat, sangat serius," ujarnya, seperti dilansir France24.
Tak lama kemudian, NATO juga mengonfirmasi bukti pengerahan pasukan Korea Utara ke Rusia.
Laporan Tentara Korea Utara "Kabur" dari Posisinya
Sebelumnya, pada 15 Oktober, hampir seminggu setelah rombongan tentara Korea Utara pertama diyakini telah tiba di Rusia, lembaga penyiaran publik Ukraina, Suspilne, melaporkan bahwa ratusan tentara Korea Utara dikerahkan dekat garis depan di wilayah Kursk dan Bryansk, Rusia, sekitar tujuh kilometer dari perbatasan Ukraina.
Namun, 18 orang di antaranya meninggalkan posisi mereka, menurut sumber intelijen Ukraina.
Laporan lanjutan mengatakan bahwa 18 tentara tersebut meninggalkan pos mereka karena ditinggalkan di kawasan hutan tanpa makanan atau instruksi dari prajurit Rusia.
Ke-18 tentara Korea Utara itu kemudian ditahan oleh otoritas Rusia setelah ditemukan.
Meskipun laporan tersebut tidak dapat diverifikasi secara independen, laporan itu menyoroti tantangan yang mungkin dihadapi Rusia dan Korea Utara dalam upaya untuk menggabungkan tentara mereka.
Baca juga: Otoritas Rusia Berhasil Menahan 18 Tentara Korea Utara yang Dilaporkan Meninggalkan Posnya di Kursk
Kenyataan Perang
Hugh Griffiths, spesialis sanksi PBB dan mantan koordinator Panel Ahli PBB untuk Korea Utara, mengatakan tentara Korea Utara akan menemukan diri mereka dalam situasi di mana mereka akan menghadapi kenyataan perang yang keras.
Griffiths menambahkan bahwa kesulitan untuk menjaga pasukan Korea Utara tetap terisolasi dari tentara Rusia pasti akan memiliki implikasi mendalam pada pandangan dunia mereka.
"Korea Utara memiliki salah satu angkatan bersenjata terbesar di dunia, secara teknis ada jutaan orang bersenjata, tetapi itu bukanlah angkatan bersenjata yang baik. Angkatan bersenjatanya bergantung pada jumlah besar, dan tidak ada satu pun prajurit yang telah teruji di medan perang," katanya, dilansir France24.
Ia juga menambahkan bahwa propaganda Kim Jong Un yang menggambarkan Korea Utara sebagai "tak terkalahkan" akan segera runtuh, mempengaruhi moral pasukan.
"Ukraina akan mengebom mereka, dan Anda akan melihat kekalahan Korea Utara," tambahnya.
Menikmati Kebebasan
Selain itu, tentara Korea Utara akan dihadapkan pada kebebasan yang belum pernah mereka alami sebelumnya.
“Mereka tidak dapat diisolasi seperti saat berada di Korea Utara, jadi mereka akan bertemu dengan orang Rusia yang menikmati standar hidup yang lebih tinggi, memiliki akses ke ponsel, media sosial, seperti Telegram, dan lainnya,” kata Griffiths.
Bahkan sesuatu yang sederhana seperti mendapatkan rokok Rusia dapat membuat perbedaan besar dalam cara berpikir tentara Korea Utara, tambahnya.
"Penggiling Daging" Perang
Griffiths mengatakan bahwa tentara Korea Utara akan menjadi "penggiling daging" perang, di mana kelangsungan hidup mereka tidak diprioritaskan.
“Mereka tidak akan diperlakukan dengan baik dan hanya akan digunakan sebagai umpan meriam,” ujar Griffiths.
Situasi ini akan memicu ketakutan di antara tentara Korea Utara, yang mungkin menyadari bahwa ini adalah "tiket sekali jalan," yang dapat memicu desersi dan pembelotan.
Mimpi Buruk Kim Jong Un
Edward Howell, peneliti di Korea Foundation di Chatham House dan penulis buku North Korea and the Global Nuclear Order, mengatakan bahwa pembelotan adalah salah satu mimpi buruk terbesar bagi Kim Jong Un karena hal itu akan meruntuhkan legitimasi rezimnya.
“Banyak warga Korea Utara, baik elit maupun non-elit, yang memutuskan untuk membelot menyadari bahwa pandangan rezim Korea Utara terhadap dunia luar adalah sebuah kebohongan,” katanya.
Ia menambahkan bahwa Kim Jong Un mungkin sudah mempertimbangkan risiko ini sebelum memutuskan untuk mengirim pasukan ke Rusia.
Baca juga: Tentara Korea Utara Dilaporkan Diterjunkan ke Rusia, Korea Selatan Berjanji Tidak Akan Tinggal Diam
Howell merujuk pada keuntungan besar yang diterima Korea Utara, seperti uang, makanan, bantuan militer, dan teknologi satelit, sebagai imbalan atas pengiriman pasukan mereka ke Rusia.
Di sisi lain, Griffiths mencatat bahwa risiko pembelotan dapat menimbulkan konsekuensi yang mahal.
"Saya pikir mereka salah perhitungan. Tak satu pun dari ini akan berakhir baik. Baik bagi Kim maupun Putin," tutup Griffiths.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)