Kamala Memimpin di Battle Ground Pennsylvania dan North Carolina
Penghitungan awal menunjukkam Kamala merebut 72,5 persen suara di Pennsylvania, sementara Trump tertinggal jauh, 26,7 persen.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Kembalinya Donald Trump ke Pemilu AS 2024 sangat berliku. Banyak yang percaya sebelumnya, Trump tidak mungkin dan tidak masuk akal kembali ke bursa.
Ia pernah diuber-uber aparat hukum federal, rumahnya digeledah, dan bahkan pernah dijebloskan ke tahanan walau hanya sebentar.
Setelah lolos pencalonan dan memulai kampanye, Donald Trump nyaris tewas saat seorang penyerang menembaki kepalanya di Buttler, Pennsylvania.
Media terkemuka Amerika, Politico, Senin (4/11/2024), mengurai bagaimana Donald Trump melewati segala rintangan guna merebut kembali Gedung Putih.
Trump agaknya terbantu atau cukup diuntungkan dengan situasi rakyat Amerika, yang umumnya sangat tidak puas dengan arah negara di bawah Presiden Joe Biden dan Wakil Presiden Kamala Harris.
Ekonomi, inflasi, dan imigrasi tetap menjadi isu yang dominan, dan para pemilih mengatakan Trump menanganinya dengan lebih baik selama masa jabatannya.
Meskipun mengakhiri masa jabatan tunggalnya sebagai salah satu presiden yang paling tidak populer dalam 50 tahun terakhir, pemilih mengakui pekerjaan yang dilakukan Trump semasa berkuasa.
Kekalahan Trump di Pemilu 2026 diikuti kerusuhan massa 6 Januari 2020 di Capitol Hill, sebuah peristiwa politik buruk dalam sejarah modern Amerika.
Di sisi lain, Trump memiliki tantangan berat dan tidak memenangkan hati pemilih Latino atau Kulit Hitam secara keseluruhan.
Tetapi terobosannya membalikkan kemundurannya tahun 2020 di negara bagian medan pertempuran Arizona, Georgia, dan North Carolina.
Seperti yang terjadi pada tahun 2016 dan 2020, jajak pendapat bisa saja meremehkan Trump di tiga negara bagian Blue Wall, yaitu Michigan, Pennsylvania, dan Wisconsin.
Hasil jajak pendapat di sana imbang — tetapi jika sejarah terkini menjadi acuan, itu berarti Trump kemungkinan besar unggul.
Bahkan dalam kekalahan pada tahun 2020, Trump mengaktifkan segmen pemilih yang terlewatkan oleh para pencatat jajak pendapat.
Para pemilih yang cenderung tidak memilih itu bisa saja ikut lagi, dan kampanye mantan presiden tersebut secara khusus menargetkan satu kelompok: pemuda.