Kabel Telekomunikasi di Laut Baltik Putus, Kapal China Dicurigai Terlibat
PML Daily membeberkan investigasi terkait dugaan sabotase kabel telekomunikasi bawah laut di Laut Baltik.
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Agenda politik Partai Komunis Tiongkok (PKT), menuai sorotan.
Mengutip PML Daily Minggu (8/12/2024), partai tersebut dianggap mengusik tatanan internasional, karena menggunakan strategi agresi yang mengancam keamanan global dan prinsip demokrasi.
PML Daily membeberkan investigasi terkait dugaan sabotase kabel telekomunikasi bawah laut di Laut Baltik.
Diyakini ada tindakan yang disengaja dan diperhitungkan, serta dirancang untuk mengganggu stabilitas infrastruktur dan jaringan komunikasi Barat.
Metodologi perang zona abu-abu yang dilakukan PKT mengungkap pendekatan terhadap hubungan internasional, yang dengan sengaja melewati batas-batas konflik terbuka.
Termasuk dalam menimbulkan dampak buruk.
Dengan menargetkan infrastruktur telekomunikasi penting antara Lituania, Swedia, Finlandia, dan Jerman, rezim ini menunjukkan komitmen kuat untuk merusak kerja sama internasional dan jaringan komunikasi yang penting bagi masyarakat demokratis.
Sifat serangan-serangan ini yang telah diperhitungkan menunjukkan adanya agenda yang lebih dalam dan berbahaya.
Sebuah kapal kargo Tiongkok, Yi Peng 3, secara mencurigakan memposisikan dirinya selama kerusakan kabel ini, mengungkapkan adanya pendekatan terencana terhadap gangguan infrastruktur.
Hal ini bukan sekedar kebetulan, namun merupakan upaya yang dirancang dengan cermat untuk menciptakan ketidakpastian strategis dan tekanan psikologis terhadap negara-negara Barat.
Sikap PKT dinilai jauh melampaui provokasi maritim ini.
Dukungan material yang terus menerus terhadap invasi Rusia ke Ukraina merupakan tantangan langsung terhadap hukum internasional dan hak asasi manusia.
Keuntungan Geopolitik
Dengan sekitar 60 persen suku cadang senjata Rusia berasal dari pabrikan Tiongkok, rezim tersebut secara aktif memperpanjang konflik yang telah menyebabkan penderitaan manusia yang tak terhitung banyaknya sambil tetap mempertahankan kedok netralitas diplomatik.