Nasib Pangkalan Khmeimim dan Tartus Rusia setelah Jatuhnya Rezim al-Assad: Analisis Citra Satelit
Nasib Pangkalan Militer Khmeimim dan Tartus Milik Rusia setelah Jatuhnya Rezim al-Assad, Citra Satelit Tunjukkan Pergerakan Kapal dan Pesawat Tempur.
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Bobby Wiratama
TRIBUNNEWS.COM – Citra satelit memperlihatkan kondisi pangkalan udara dan laut Rusia di Suriah setelah jatuhnya rezim sekutu mereka, Bashar al-Assad.
Gambar yang diambil oleh Maxar Technologies minggu ini dan diperoleh Business Insider menunjukkan bahwa pesawat Rusia masih ada di pangkalan udara Khmeimim.
Namun, kapal perang Moskow tidak lagi ditempatkan di fasilitas angkatan laut di Tartus.
Rusia telah lama mendukung diktator Suriah, Bashar al-Assad, dalam perang saudara yang berlangsung selama belasan tahun.
Namun, jejak militer Rusia di Suriah menjadi tidak pasti setelah pasukan pemberontak berhasil merebut Damaskus dan menggulingkan pemerintahan Assad.
Assad sejak itu melarikan diri ke Moskow.
Rusia sangat bergantung pada pangkalan-pangkalannya di Suriah untuk memproyeksikan kekuatan militernya, menurut Business Insider.
Kehilangan pangkalan-pangkalan tersebut akan menjadi kemunduran besar bagi Rusia, terutama di tengah konflik yang masih berlangsung di Ukraina.
Tartus adalah pangkalan angkatan laut utama Rusia di luar negeri, sementara Khmeimim digunakan untuk memindahkan pasukan militer masuk dan keluar dari Afrika.
Citra satelit yang diambil pada Senin (9/12/2024) menunjukkan pesawat, helikopter, dan peralatan militer Rusia di pangkalan udara Khmeimim, dekat kota pesisir Latakia.
Di Bandara Internasional Bassel Al-Assad yang terletak di dekat pangkalan tersebut, terlihat banyak aktivitas.
Baca juga: Iran Sudah Dikirimi 2 Unit, Kapan Indonesia Terima Si Kriminal Jet Tempur Su-35 Rusia?
Belum jelas apakah Rusia akan mempertahankan posisinya di pangkalan ini.
Sementara itu, citra yang diambil pada Selasa (10/12/2024) menunjukkan kapal perang Rusia hilang dari fasilitas angkatan lautnya di Tartus, sebuah kota pelabuhan yang terletak di Laut Mediterania.
Setidaknya dua fregat terlihat beberapa kilometer dari lepas pantai.
Lima kapal permukaan Rusia (tiga fregat dan dua kapal pengisian bahan bakar) serta satu kapal selam terlihat di pangkalan Tartus pada 5 Desember 2024, tetapi kapal-kapal tersebut telah meninggalkan fasilitas itu pada Senin (9/12/2024) dan masih belum terlihat keesokan harinya.
Belum jelas apakah dan kapan kapal-kapal perang tersebut akan kembali ke pelabuhan.
Dalam masa transisi rezim di Suriah, muncul pertanyaan tentang bagaimana masa depan kontrol Rusia atas pangkalan Tartus dan Khmeimim yang telah mereka kuasai selama bertahun-tahun.
Kementerian Pertahanan Rusia belum secara terbuka mengisyaratkan adanya perubahan besar dalam postur pasukan.
Sementara itu, badan intelijen militer Ukraina mengatakan bahwa Rusia telah menarik diri dari pangkalan-pangkalan tersebut dan mengevakuasi pasukannya.
Kapal-kapal tersebut memang sudah keluar dari pelabuhan, tetapi alasan spesifiknya belum dapat dipastikan.
Rusia mengatakan bahwa mereka mengambil langkah-langkah untuk memastikan keamanan pangkalan mereka melalui pembicaraan dengan pemimpin baru Suriah.
Media pemerintah Rusia melaporkan bahwa pasukan pemberontak kini menguasai provinsi tempat fasilitas tersebut berada.
Baca juga: Janji Abu Mohammed Al-Julani: Akhiri Perang, Bangun Perdamaian di Suriah
Kata Analis
Jika Rusia tidak dapat mempertahankan kendalinya atas pangkalan-pangkalan ini, hal itu dapat menjadi masalah besar bagi Rusia di kawasan tersebut.
Analis konflik di Institute for the Study of War (ISW), sebuah lembaga pemikir yang berbasis di AS, menyatakan bahwa potensi hilangnya pangkalan Rusia di Suriah akan memiliki implikasi besar.
ISW menyebut bahwa jika Rusia kehilangan pangkalan militernya di Suriah, hal itu kemungkinan besar akan mengganggu logistik, upaya pasokan ulang, serta rotasi Korps Afrika, khususnya melemahkan operasi Rusia dan proyeksi kekuatannya di Libya dan Afrika Sub-Sahara.
Mengutip EuroNews, penggulingan rezim al-Assad yang cepat telah memberikan pukulan bagi Rusia dan ambisinya untuk memperluas pengaruh di Timur Tengah.
Kecepatan pemberontak dalam merebut Damaskus sebagian besar disebabkan oleh kurangnya dukungan kuat dari Rusia, yang lebih fokus pada perang di Ukraina.
“Jatuhnya rezim itu jauh lebih cepat dan tidak berdarah daripada yang mungkin dibayangkan siapa pun—terutama mengingat keyakinan bahwa Rusia dan Iran akan terus mendukung Assad. Rezim yang melemah akhirnya tidak mampu menahan laju pemberontak,” ujar Julien Barnes-Dacey dari Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri.
Namun, media pemerintah Rusia yang mengutip sumber-sumber Kremlin melaporkan bahwa rezim di Moskow bermaksud untuk bekerja sama dengan pemberontak selama masa transisi kekuasaan, dengan tujuan akhir untuk mempertahankan pangkalan militer mereka di wilayah Suriah.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)