HTS Suriah Janji Balas Penderitaan Korban Rezim Assad, Hajar Pejabat yang Terlibat Penyiksaan
Pimpinan Pemberontak Hayat Tahrir Al-Sham (HTS) berjanji akan menghukum para pejabat rezim Assad yang terlibat penyiksaan kepada warga sipil Suriah
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Siti Nurjannah Wulandari
TRIBUNNEWS.COM – Pimpinan militan Islam Suriah, Hayat Tahrir Al-Sham (HTS), Abu Mohammed al-Golani berjanji akan menghukum para pejabat rezim Assad yang terlibat penyiksaan kepada warga sipil.
Pernyataan itu disampaikan sehari setelah para pemberontak memulai pembicaraan tentang pengalihan kekuasaan pasca penggulingan Presiden Suriah Bashar al-Assad dari kursi pemerintahan.
"Kami akan mengejar mereka di Suriah, dan kami meminta negara-negara untuk menyerahkan mereka yang melarikan diri sehingga kami dapat memperoleh keadilan," kata Abu Mohammed al-Jolani dalam siaran Telegram TV pemerintah Suriah.
"Kami akan menawarkan hadiah kepada siapa pun yang memberikan informasi tentang perwira senior militer dan keamanan yang terlibat dalam kejahatan perang," imbuhnya, dikutip dari CNA.
Selama rezim Assad berkuasa selama lebih dari 50 tahun, mereka dinilai represif, pasukannya bahkan secara rutin mengejar lawan-lawan politiknya.
Tak hanya itu para anggota rezim Assad turut melakukan penyiksaan terhadap warga sipil Suriah yang tidak bersalah.
Kekejaman Rezim Assad
Penjara Sednaya di Suriah diduga menjadi saksi kekejaman rezim mantan Presiden Bashar Al Assad.
Penjara itu menjadi sorotan usai milisi Hayat Tahrir Al Sham (HTS) melepas ribuan tahanan dari sel tersebut, setelah milisi berhasil menggulingkan rezim Assad.
Menurut laporan Amnesty International, penjara Sednaya terdiri dari dua bangunan utama, mampu menampung antara 10.000 hingga 20.000 tahanan yang dipisahkan berdasarkan status.
Di dalam penjara itu rezim Assad melakukan berbagai tindakan kekerasan termasuk penyiksaan, dan eksekusi.
Baca juga: Suriah Buka Kembali Wilayah Udara, Bandara Damaskus Siap Beroperasi pada 18 Desember
Amnesty International mencatat antara tahun 2011 dan 2015
Setidaknya ada 5.000 hingga 13.000 orang dieksekusi dengan cara digantung.
“Eksekusi dilakukan secara rutin, biasanya pada hari Senin dan Rabu,” kata Aymeric Elluin, petugas advokasi senjata dan konflik di Amnesty International Prancis, melansir France24.
“Pihak berwenang melakukan hukuman gantung massal di ruang bawah tanah gedung merah setelah persidangan palsu yang berlangsung tidak lebih dari tiga menit. Para korban dipukuli, digantung, dan dibuang secara rahasia,” tambahnya.
Warga Suriah Diminta Pulang Kampung
Pasca pemerintahan rezim Assad digulingkan awal pekan kemarin, para pemimpin pemberontak meminta jutaan orang yang melarikan diri dari perang untuk kembali ke kampung halamannya.
Penerapan Jam malam turut dicabut di beberapa wilayah termasuk ibu kota, Damaskus, untuk memudahkan aktivitas masyarakat membangun "Suriah baru."
Perdana Menteri baru Suriah Mohammed al-Bashir mengatakan, aliansi pemberontak yang menggulingkan presiden Bashar al-Assad akan menjamin hak-hak minoritas masyarakat.
Menurutnya, salah satu prioritas pemerintahan interim Suriah saat ini adalah memastikan warga bisa kembali bekerja.
"Sebagian besar pegawai yang bekerja di lembaga-lembaga ini (lembaga pemerintah) telah kembali dan meneruskan pekerjaannya," kata Al-Bashir.
"Pintu selalu terbuka untuk semua pegawai, kecuali mereka yang tangannya berlumuran darah dari institusi militer atau shabiha (milisi pro-Assad),” imbuh AL- Bashir.
Menyambut pemerintahan era baru Suriah, sumber yang berafiliasi dengan maskapai penerbangan nasional SyrianAir, mengatakan bahwa Bandara Internasional Damaskus Suriah akan mulai dibuka dan beroperasi kembali pada 18 Desember 2024.
Kabar tersebut turut dikonfirmasi oleh Direktur Bandara Internasional Damaskus, Anis Fallouh.
"Jika Tuhan berkehendak, bandara akan dibuka kembali secepatnya karena kami akan bekerja keras," kata Fallouh, dikutip dari The New Arab.
(Tribunnews.com / Namira Yunia)