Suriah di Bawah HTS: Akhir Era Assad dan Babak Baru Timur Tengah
Kejatuhan Bashar al-Assad memutus poros perlawanan Iran, membuka era baru di Suriah di bawah Hay'at Tahrir al-Sham, dan mengubah peta geopolitik
Editor: Suut Amdani
TRIBUNNEWS.COM - Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei, menyalahkan Amerika Serikat dan Israel atas kejatuhan Bashar al-Assad.
Dalam pidato di Teheran, Rabu (11/12/2024), Khamenei menyebut kedua negara tersebut sebagai arsitek utama penggulingan Assad.
“Ruang kendali berada di Amerika Serikat dan rezim Israel,” katanya di depan ribuan warga.
Kejatuhan rezim Baath di Suriah menjadi pukulan besar bagi Iran, yang selama bertahun-tahun membangun pengaruhnya di Suriah, terutama sejak Damaskus meminta bantuan menghadapi ISIS dan kelompok oposisi lainnya.
Perubahan Peta Politik Timur Tengah
Kolaborasi antara Iran, Rusia, dan Suriah di bawah Assad memungkinkan terbentuknya koridor strategis Iran-Irak-Suriah-Lebanon, yang memperkuat kapabilitas militer Hizbullah dan Hamas.
Namun, situasi berubah drastis sejak serangan Hamas ke Israel pada Oktober 2024 memicu pembalasan besar-besaran Israel.
Operasi militer Israel menghancurkan Hamas di Gaza dan Hizbullah di Lebanon, bahkan menewaskan pemimpin-pemimpin utama kedua kelompok.
Ayatullah Khamenei mengakui bahwa kehilangan tokoh seperti Sayed Hasan Nasrallah memberikan dampak besar pada poros perlawanan.
Hilangnya sekutu kuat ini memperburuk posisi Iran di Timur Tengah.
Masa Depan Suriah Pasca Assad
Kejatuhan Assad membuka peluang bagi kelompok Sunni Arab untuk mengambil alih kendali politik di Suriah.
Kelompok Hay'at Tahrir al-Sham (HTS), yang dipimpin Abu Muhammad al-Julani, kini memimpin dengan dukungan koalisi Arab dan Barat.
Julani menyatakan bahwa pemerintahannya tidak berminat melawan infiltrasi Israel, meskipun kehadiran pasukan Israel di Suriah semakin menguatkan dominasi mereka di kawasan.
Bagi Iran, perubahan ini memutus poros perlawanan yang selama ini menjadi inti strategi geopolitik mereka.
Meski Julani berjanji untuk bekerja sama dengan semua pihak, termasuk Iran, sejarah konflik antara HTS dan Teheran menunjukkan rekonsiliasi akan sulit terwujud.
Dampak Global: Rusia, Turki, dan Amerika Serikat
Rusia yang sebelumnya mendukung Assad kini menghadapi dilema.
Moskow menawarkan suaka politik kepada Assad untuk menghindari nasib seperti Moammar Khadafi atau Saddam Hussein.
Namun, kehancuran rezim Assad juga memaksa Rusia, Iran, dan China mengantisipasi dampak meluasnya kekuatan militan yang didukung Barat ke kawasan mereka.
Turki, di sisi lain, berusaha memanfaatkan situasi untuk mengamankan proyek pipa gas strategis yang melintasi Suriah.
Sementara itu, Amerika Serikat tampaknya tidak akan mengintervensi rezim baru di Damaskus selama kepentingannya di ladang minyak Suriah tetap aman.
Ketidakpastian di Suriah
Suriah pasca Assad menghadapi tantangan besar dalam membangun stabilitas.
Jutaan pengungsi Sunni Arab yang melarikan diri selama perang saudara diperkirakan akan kembali, tetapi potensi konflik baru tidak dapat dihindari.
Rezim baru harus mengatasi ancaman dari kelompok bersenjata lokal dan mempertahankan integrasi nasional di tengah keragaman suku dan ideologi.
Era Assad memang berakhir, namun pertanyaan besar tetap menggantung: apakah Suriah mampu bangkit atau justru terperosok ke dalam konflik baru?
Dunia masih menanti babak berikutnya dari tragedi geopolitik ini.