Pengamat Soroti Strategi Maritim Indonesia Hadapi Tantangan Geopolitik di Laut China Selatan
Dinamika geopolitik yang meningkat, tantangan keamanan, serta peluang strategis menuntut respons cepat dan tegas dari pemerintah.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tahun 2024 disebut menjadi tahun penuh tantangan bagi sektor maritim Indonesia.
Dinamika geopolitik yang meningkat, tantangan keamanan, serta peluang strategis menuntut respons cepat dan tegas dari pemerintah.
Salah satu insiden paling menonjol terjadi pada 21 Oktober 2024.
Kapal China Coast Guard 5402 diusir oleh Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI di Laut Natuna Utara.
Insiden ini bermula dari gangguan terhadap aktivitas survei dan pengolahan data seismik 3D yang dilakukan oleh PT Pertamina menggunakan kapal MV Geo Coral.
Peristiwa ini menarik perhatian internasional dan menjadi sorotan media global.
Dr. Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa, SSiT, MH, MMar, seorang pengamat maritim dari Ikatan Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL SC), menekankan bahwa insiden ini mempertegas posisi strategis Indonesia.
Menurutnya, kejadian tersebut menunjukkan komitmen Indonesia dalam menjaga kedaulatan wilayahnya.
"Kejadian ini adalah bukti nyata bahwa Indonesia tidak akan mundur menghadapi klaim sepihak yang bertentangan dengan hukum internasional. Laut Natuna Utara memiliki luas 83.000 km⊃2;. Ketegasan Indonesia dalam menolak klaim China di Laut Natuna Utara memperlihatkan pentingnya diplomasi dan kekuatan pertahanan maritim kita," ujar Capt Hakeng.
Tidak hanya di Laut Natuna Utara, dinamika keamanan maritim tahun 2024 juga mencakup konflik di Laut Merah dan Teluk Aden yang melibatkan kelompok Houthi.
Konflik ini memberikan tekanan besar pada jalur pelayaran internasional, dengan ancaman berupa lonjakan tarif pengiriman, keterlambatan logistik, dan gangguan suplai energi.
“Konflik ini berdampak langsung pada ekonomi global, termasuk Indonesia, sebagai negara yang sangat bergantung pada stabilitas jalur pelayaran strategis seperti Selat Malaka,” jelas Capt. Hakeng.
Selat Malaka, salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia, dilalui lebih dari 200 kapal setiap harinya dengan volume perdagangan mencapai USD 400 miliar per tahun. Untuk itu, Indonesia memperkuat koordinasi regional guna menjamin keamanan pelayaran, termasuk intensifikasi patroli maritim, kerja sama dengan negara tetangga, dan modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista).
Pengelolaan sumber daya laut, khususnya pasir laut, menjadi salah satu isu strategis tahun 2024. Dengan potensi pasir laut mencapai 17 miliar meter kubik, Capt. Hakeng menegaskan bahwa hasil penambangan sebaiknya digunakan untuk mendukung infrastruktur domestik, seperti pembangunan tanggul yang melindungi kawasan pesisir dari banjir akibat perubahan iklim.
Namun, ia juga mengingatkan risiko kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir laut yang tidak terkontrol, seperti erosi pantai dan penurunan biodiversitas laut. “Pemerintah perlu menetapkan regulasi yang ketat untuk memastikan pengelolaan pasir laut dilakukan secara berkelanjutan,” ujarnya.
Penangkapan ikan ilegal, unreported, and unregulated (IUU fishing) terus menjadi ancaman serius bagi Indonesia.
Hingga semester I tahun 2024, lebih dari 100 kapal asing telah ditangkap, dengan kerugian ekonomi mencapai Rp 3 triliun.
“IUU fishing bukan hanya mengancam keberlanjutan ekosistem laut kita, tetapi juga merugikan nelayan lokal yang bergantung pada hasil laut untuk hidup mereka,” kata Capt. Hakeng.
Pemerintah perlu memperkuat pengawasan oleh KPLP, Polair, Satgas KKP, TNI AL, Bakamla, dan lembaga terkait lainnya, serta menjalin kerja sama internasional dalam memberantas praktik ini.
Ancaman perubahan iklim, termasuk kenaikan permukaan laut, mendorong percepatan pembangunan tanggul laut raksasa, terutama di Pulau Jawa. Infrastruktur ini penting untuk melindungi lahan subur dan kawasan pemukiman dari ancaman banjir.
“Dengan 40 persen lahan subur di Pulau Jawa terancam tenggelam, pembangunan tanggul laut raksasa menjadi langkah strategis yang harus diprioritaskan,” ujar Capt. Hakeng. Ia menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dan perhatian terhadap dampak lingkungan dalam pembangunan proyek ini.
Sejumlah insiden tabrakan kapal dengan jembatan, seperti di Baltimore, Guangzhou, dan Kalimantan Timur, menjadi pengingat pentingnya peningkatan regulasi dan pengawasan navigasi.
“Kejadian ini menunjukkan bahwa keselamatan pelayaran adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, operator kapal, dan masyarakat internasional,” kata Capt. Hakeng.
Ia menyarankan agar pemerintah melalui Kementerian Perhubungan merumuskan kebijakan lebih ketat, termasuk pengaturan jarak aman dermaga dari jembatan dan pelatihan keselamatan bagi operator kapal.
Memasuki tahun 2025, Capt. Hakeng menekankan pentingnya kebijakan maritim yang terintegrasi, mencakup penguatan kapasitas pertahanan laut, pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan, dan kerja sama internasional.
“Indonesia memiliki tanggung jawab besar sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan kebijakan yang terintegrasi, laut kita tidak hanya menjadi sumber daya ekonomi, tetapi juga simbol kedaulatan dan harapan bangsa,” tegasnya.
Ketegangan di Laut Cina Selatan diprediksi tetap menjadi tantangan di tahun mendatang. Diplomasi aktif dan penguatan patroli maritim harus terus dilakukan untuk mempertahankan kedaulatan di Laut Natuna Utara.
“Dengan memanfaatkan potensi laut secara strategis, menjaga keberlanjutan ekosistem, dan mempererat kerja sama internasional, Indonesia dapat memperkuat posisinya di sektor maritim global,” pungkas Capt. Hakeng.
Sumber: Tribun Banten