Loui Thenu: Hak Paten Obat-obatan Berarti Monopoli
Loui Thenu, Press Officer & Juru Bicara MSF (Médecins Sans Frontières/Dokter Lintas Batas) untuk kawasan
Penulis: Widiyabuana Slay
Ilmuwan yang terlibat dalam upaya inovasi dan pengembangan imatinib (obat yang diperkarakan Novartis), Brian Druker, bahkan berbeda pendapat dengan perusahaan farmasi seperti Novartis. Dalam pernyataannya, Brian menjelaskan: "Perusahaan farmasi yang telah menginvestasikan sumber daya dalam proses pengembangan obat-obatan memang layak mendapatkan balik modal dari upaya mereka tersebut. Namun hal itu tidak harus berarti bahwa mereka bisa menyalahgunakan hak ekslusif mereka dengan pemberian harga obat-obatan yang terlampau mahal, serta upaya memperpanjang durasi monopoli hak patennya melalui “inovasi” kecil obat-obat lama mereka. Hal ini bertentangan dengan semangat misi semangat misi sistem pemberian paten dan tidak dapat dibenarkan mengingat keterlibatan berbagai investasi penting yang dilakukan oleh sektor publik lainnya dalam beberapa dekade ini yang juga turut memfasilitasi menunjang keberhasilan penemuan obat-obatan ini.”
Apakah India tidak menerapkan sistem paten terhadap obat-obatan?
Sebagai anggota WTO (Organisasi Perdagangan Dunia), India harus mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh WTO. Salah satunya adalah Perjanjian Kesepakatan Aspek Perdagangan Seputar Hak Kekayaan Inteletual atau yang sering disebut TRIPs (Trade-related Aspects of Intellectual Property Rights, yang mengharuskan seluruh anggota WTO memberikan hak paten kepada perusahaan-perusahaan farmasi. Demi menerapkan hal ini, India harus mengubah UU hak kekayaan intelektualnya pada tahun 2005 dan mulai menerapkan pemberian paten terhdapa obat-obatan. Akibat penerapan dan pemberian hak paten di India ini, para perusahaan obat-obatan generik tidak bisa lagi memproduksi versi generik yang lebih murah dari jenis-jenis obat-obatan yang telah dipatenkan tersebut.
Dampak buruk hal ini telah dirasakan, semakin sulit mendapatkan akses obat-obatan dengan harga terjangkau – baik bagi masyarakat India maupun masyarakat negara-negara dunia lainnya. Hal ini menyebabkan obat-obatan baru (yang diproduksi diatas tahun 1995) harus dipatenkan juga di India, termasuk obat raltegravir (untuk HIV), pegylated-interferon (Hepatitis C).
Apa pentingnya Persidangan Kasus Novartis? Mengapa Novartis menuntut pemerintah India?
Novartis mengajukan permohonan paten untuk obat imatinib mesylate (obat kanker) di India, yang dipasarkan Novartis dengan nama merek Gleevec/Glivec di banyak negara. Di negara-negara lain setelah Novartis memperoleh paten, Gleevec dijual seharga US $ 2.600 atau hampir 25 juta Rupiah per pasien, per bulan. Di India, versi generik dari obat Gleevec yang tersedia sejak tahun 2006 ini harganya hanya kurang dari $ 200 atau sekitar 1,8 juta Rupiah per pasien per bulan. Novartis lantas mengurus permohonan hak paten agar bisa menjual Gleevec dengan harga lebih tinggi di India.
Permohonan paten Novartis ditolak India pada Januari 2006 dengan alasan bahwa obat itu hanyalah bentuk baru dari obat lama, dan karena itu tidak layak dipatenkan di bawah UU paten India. Novartis memutuskan untuk menantang keputusan ini.
Apa yang mendasari Novartis mengklaim paten atas imatinib mesylate, dan mengapa itu ditolak?
Permohonan paten Novartis ditolak sebagian karena Pasal 3 (d) tindakan paten India. Ketika India merubah undang-undang paten pada tahun 2005 untuk mematuhi peraturan perdagangan internasional WTO, Parlemen India turut memasukan ketentuan untuk melindungi kesehatan masyarakat dan akses masyarakat terhadap obat-obatan.
Bagian 3 (d) ini merupakan salah satu ketentuan UU paten India yang . Hal ini secara eksplisit mensyaratkan bahwa paten hanya boleh diberikan pada obat-obatan yang benar-benar baru dan inovatif. Untuk bentuk-bentuk baru dan penggunaan baru obat-obatan yang ada, Bagian 3 (d) mewajibkan pemohon paten untuk membuktikan peningkatan khasiat signifikan sebelum paten dapat diberikan.
Imatinib Mesylate (Gleevec) adalah bentuk garam (mesylate) dari obat yang sebelumnya/lama, imatinib. Novartis mengklaim bahwa imatinib mesylate layak paten berdasarkan fakta ada peningkatan 30 persen dalam bioavailabilitas obat dalam bentuk baru. Namun menurut Pedoman Pengujian Paten Farmasi yang dikembangkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia WHO, pemilihan garam dari bahan aktif dengan tujuan meningkatkan bioavailabilitas bukan barang baru dalam dunia farmasi. Upaya ini terkenal dalam seni farmasi dan merupakan langkah 'evergreening' yang sering gunakan oleh perusahaan-perusahaan farmasi multinasional untuk memperpanjang masa berlaku paten mereka dengan membuat perubahan kecil dalam obat-obatan yang ada mereka untuk kemudian mengklaim obat “baru” ini layak dipatenkan.
Singkatnya, Parlemen India memperkenalkan Bagian 3 (d) untuk memberikan panduan eksplisit tentang apa yang layak paten dan apa yang tidak. Ketika permohonan paten Novartis terhadap imatinib mesylate pertama ditolak oleh Dewan Pengendali Hak Paten India, perusahaan ini pun lantas memutuskan untuk menantang “Bagian 3 (d)” dari UU paten India.
Mengapa hal ini sekarang dibawa ke Mahkamah Agung?
Kasus Mahkamah Agung adalah upaya terakhir dalam pertempuran hukum yang telah berlangsung lebih dari enam tahun, dan ini akan sangat berdampak terhadap peran India sebagai “gudang farmasi negara-negara berkembang” di masa depan. Setelah permohonan paten untuk imatinib mesylate ditolak, Novartis melancarkan serangan hukum di Pengadilan Tinggi Madras menantang Bagian 3 (d) UU paten India yang menurut Novartis dinyatakan inkonstitusional. Pada tahun 2007, Pengadilan Tinggi menolak permohonan Novartis. Pada tahun 2009, Dewan Pengendali Hak Kekayaan Intelektual India pun menolak upaya banding perusahaan ini terhadap penolakan permohonan patennya.
Setelah kalah pertempuran hukumnya yang pertama di 2007, Novartis meluncurkan proses hukum baru pada tahun 2009 di Mahkamah Agung India. Novartis kali ini berusaha untuk mencari kelemahan peraturan yang melindungi kesehatan masyarakat ini sehingga berkesan menjadi tidak berarti .