Loui Thenu: Hak Paten Obat-obatan Berarti Monopoli
Loui Thenu, Press Officer & Juru Bicara MSF (Médecins Sans Frontières/Dokter Lintas Batas) untuk kawasan
Penulis: Widiyabuana Slay
TRIBUNNEWS.COM - Loui Thenu, Press Officer & Juru Bicara MSF (Médecins Sans Frontières/Dokter Lintas Batas) untuk kawasan Asia tenggara, menjelaskan tentang konteks Hak Paten, Harga Obat dan Nasib Pasien. Ia mengatakan, soal sengketa masalah hak paten obat-obatan di India menjadi isu besar terutama karena akan berimbas kepada penyediaan obat murah bagi kalangan warga miskin di negara-negara berkembang. Berikut petikan wawancaranya dengan Tribunnews.com, Selasa (11/9/2012).
Mengapa jutaan masyarakat dunia mengandalkan India sebagai “gudang” obat-obatan generik?
Obat-obatan yang diproduksi perusahaan obat generik di India termasuk yang paling murah di dunia. Hal ini karena sampai tahun 2005 lalu, pemerintah India tidak menyetujui pemberian hak paten terhadap produk obat-obatan. India merupakan salah satu dari sedikit negara berkembang yang mampu memproduksi obat-obatan generik yang berkualitas.
Dengan memproduksi versi generik dari berbagai obat-obatan yang dipatenkan di negara-negara lain, India telah menjadi salah satu negara sumber obat-obatan seperti antiretroviral untuk HIV/AIDS. Delapan puluh persen obat-obatan yang digunakan MSF untuk mengobati 170,000 orang yang hidup dengan HIV berasal dari berbagai perusahaan obat generik India. Lebih dari 80 persen obat-obatan HIV dan AIDS lainnya yang dibeli oleh pihak donor juga berasal dari sini. Khususnya untuk penanganan kasus AIDS pada anak-anak dimana perusahaan obat-obatan generik India memasok lebih dari 90 persen obat-obatan AIDS untuk anak-anak di berbagai belahan negara-negara berkembang/miskin. Inilah sebabnya kenapa India dijuluki sebagai “gudang farmasi negara-negara berkembang’.
Apa hubungan hak paten dengan harga obat-obatan?
Ketika sebuah perusahaan farmasi memiliki hak paten di sebuah negara, hal ini berarti perusahaan tersebut berhak menikmati hak monopoli selama jangka waktu tertentu di negara itu. Hal ini demi mencegah perusahaan farmasi lainnya memproduksi, menjual ataupun mengimpor obat-obatan yang telah dipatenkan tersebut selama jangka waktu minimal 20 tahun – menurut peraturan WTO (Organisasi Perdagangan Dunia). Nah, hal ini membuka peluang komersial bagi perusahaan farmasi pemegang hak paten untuk menetapkan harga obat-obatnya dengan mahal, karena tidak ada pesaing lain dalam pasaran obat-obatannya itu.
Sedangkan apabila tanpa keharusan hak paten, banyak produsen perusahaan dapat memproduksi obat-obatan generik sehingga harganya pun turun drastis menjadi sangat murah. Karena kompetisi dari berbagai produsen obat-obatan generik inilah maka harga obat menjadi murah, dan telah terbukti menurunkan harga obat-obatan HIV/AIDS dari Rp. 95,830,000 per orang di tahun 2000 menjadi sekitar Rp. 574,980 saat ini. Selama vakumnya kebijakan paten di India telah turut merangsang pengembangan obat HIV/AIDS kombinasi 3 in 1 yang sering disebut pil dosis-tetap, serta juga pengembangan obat-obatan HIV/AIDS untuk anak-anak.
Bukankah paten diperlukan untuk merangsang upaya inovasi penemuan obat-obat baru oleh perusahaan farmasi?
Sejumlah penelitian telah membuktikan bahwa walaupun perlindungan hak paten telah berjalan dengan baik selama 20 tahun terakhir ini, namun ternyata angka inovasi yang diharapkan semakin berkurang. Yang terjadi malah meningkatnya jumlah (produksi) obat-obat serupa dengan sedikit – atau bahkan tanpa keampuhan khasiat terapuitik sama sekali. Hal ini meruntuhkan pernyataan yang sering dibuat oleh indutri farmasi bahwa perlindungan paten akan mendorong banyak upaya investasi inovasi medis.
Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2005 menyimpulkan bahwa 68% dari sekitar 3,096 produk obat-obatan terbaru yang disetujui di Perancis sepanjang tahun 1981 sampai 2004 sama sekali tidak membawa inovasi terbaru dan tidak beda dengan versi produk yang telah tersedia di pasaran. Nada yang sama juga terungkap melalui hasil penelitian British Medical Journal di Inggris yang menemukan bahwa hanya kurang dari 5% dari obat-obatan yang baru dipatenkan di Kanada yang layak dianggap sebagai “produk terobosan’. Selain itu, rincian lengkap tentang lebih dari 1000 obat-obatan baru yang disetujui oleh badan pengawas obat dan makanan Amerika Serikat (Food and Drug Administration) sepanjang tahun 1989 sampai 2000 terungkap bahwa lebih dari ¾ obat-obatan baru tersebut sama sekali tidak membawa khasiat teraputik baru yang membedakannya dengan jenis obat sebelumnya.
Selain itu, pada tahun 2006 laporan Komisi Kekayaan Intelektual, Inovasi dan Kesehatan Masyarakat - WHO juga menemukan bahwa tidak ada bukti jelas dari penerapan peraturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tentang pelaksanaan hak paten di negara-negara berkembang yang secara signifikan telah membantu meningkatkan upaya Penelitian & Pengembangan farmasi bagi penanganan penyakit-penyakit yang lazim di negara-negara berkembang.
Bukankah seharusnya perusahaan obat-obatan diberikan penghargaan melalui perlindungan hak paten atas investasi finansial mereka selama masa pengembangan obat?
MSF sepakat bahwa prose pengembangan obat-obatan membutuhkan modal keuangan yang besar. Harus ada pihak yang kudu menanggung modal/biaya ini.
Salah satu cara untuk mengembalikan modal tersebut adalah dengan penerapan sistem hak paten dan penetapan harga yang tinggi. Yang mendasari sistem hak paten adalah kesempatan untuk menikmati win-win solution: sang inventor mendapatkan keuntungan dengan menikmati hak monopoli, dan masyarakat luas menikmati akses terhadap hasil inovasi tersebut. Namun ketergantungan kita terhadap sistem hak paten ini memiliki dua kelemahan: - pertama, upaya inovasi (obat-obatan) saat ini gagal memenuhi kebutuhan para pasien di negara-negara berkembang. Kedua, sistem ini menyebabkan harga obat-obatan melambung tinggi terlalu mahal sehingga mayoritas masyarakat tidak mampu membelinya. Namun yang menyebabkan isu paten ini menjadi rumit adalah ketika sistem paten ini disalahgunakan, ketika sekelompok perusahaan besar menggunakan sistem paten mendaftarkan obat baru yang sebenarnya tidak baru sama sekali – mereka hanya melakukan sedikit modifikasi terhadap obat lama, dan bahkan tidak membawa khasiat teraputik yang berarti. Hal seperti inilah yang menyebabkan harga obat-obatan cenderung melambung dan tetap mahal dalam jangka waktu yang lama.