BPJS untuk Siapa?
Meski sama-sama menjadi peserta BPJS Kesehatan, namun masyarakat di daerah tertinggal tidak mendapatkan layanan layanan kesehatan yang sama
Editor: Ade Mayasanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Meski sama-sama menjadi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, namun masyarakat di daerah tertinggal tidak mendapatkan layanan kesehatan yang sama dengan masyarakat di daerah perkotaan.
Daerah tertinggal pada umumnya memiliki fasilitas kesehatan dan sumber daya manusia yang lebih sedikit. Misalnya saja, di Nusa Tenggara Timur baru menambah satu rumah sakit swasta dan hanya memiliki satu dokter spesialis bedah tulang. Sementara di DKI Jakarta ada 130 dokter spesialis.
"Satu rumah sakit besar di Jawa Tengah setiap bulan bisa mengklaim dana JKN sampai puluhan miliar, sementara di NTT klaim kurang dari jumlah itu untuk satu provinsi," kata Peneliti Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM Laksono Trisnantoro dalam acara diskusi di Jakarta, Selasa (26/5) lalu.
Menurutnya, ada kekhawatiran dana JKN yang dianggarkan untuk daerah tertinggal yang tidak terpakai seluruhnya, karena faktor fasilitas kesehatan, akan dipakai lagi untuk menutup biaya di daerah yang lebih maju. Akibatnya kesenjangan pun akan semakin besar.
"BPJS itu ibaratnya adalah pohon mangga, sementara daerah-daerah yang memiliki galah untuk menyodok mangga yang paling bagus lah yang akan mendapat mangga terbanyak," katanya.
Untuk menyiasati kesenjangan tersebut, Laksono menyarankan dibuat sistem kompartemen yang terdiri dari beberapa kelompok, misalnya kelompok penerima bantuan iuran (warga miskin), kelompok perusahaan, dan kelompok pekerja bukan penerima upah (perorangan).
"Pemisahan yang tegas dari kompartemen ini akan memudahkan mengetahui subsidi silangnya di mana. Dana JKN juga bisa dijaga agar dana dari PBI yang tersisa misalnya tidak dipakai untuk kelompok perorangan yang kebanyakan adalah warga yang mampu," ujarnya.
Selain itu pemerintah harus mengejar ketertinggalan layanan kesehatan di daerah-daerah agar setara dengan kota-kota besar di pulau Jawa.
Dengan kemajemukan masyarakat Indonesia, Laksono juga mengharapkan pemerintah membuka akses kepada pihak swasta, misalnya mewajibkan masyarakat mampu membayar iuran JKN yang lebih besar atau mengikutsertakan asuransi komersil.
Anggota Komisi IX DPR RI, Amelia Anggraini menilai, permasalahan pelayanan kesehatan yang masih buruk di rumah sakit lantaran pengawasan yang dilakukan Pemerintah dan BPJS Kesehatan masih lemah. Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 49/2013 tentang Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS), fungsi pengawasan harusnya dilakukan Badan Pengawas RS (BPRS). Sementara, merujuk pada UU 24/2011 tentang BPJS, pengawasan dilakukan oleh Dewan Pengawas BPJS dan DJSN.
Didalam UU 44/2009 tentang Rumah Sakit, Kementerian Kesehatan punya kewenangan untuk mengawasi pelayanan kesehatan. "Faktanya, semua institusi yang diamanatkan regulasi untuk mengawasi tersebut belum berjalan optimal, dan hal ini yang mengakibatkan pelayanan kesehatan masih rendah di RS," ujar Amelia.
Menurutnya, institusi-institusi sebagaimana diamanatkan dalam regulasi itu, perlu adanya niat baik untuk memfungsikan diri sebagai pengawas pelayanan kesehatan. "BPRS sampai saat ini belum juga beroperasi baik di tingkat pusat maupun provinsi sesuai amanat PP 49/2013," ucap politisi NasDem ini.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.