Sering Dikaitkan dengan Kelakuan Anak Zaman Sekarang, Benarkah Dampak Micin Seburuk Itu?
Padahal, menurut ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Profesor Hardinsyah, klaim tersebut dianggap salah dan tak terbukti.
Editor: Wahid Nurdin
TRIBUNNEWS.COM - Belakangan ini sebutan "generasi micin", "kebanyakan makan micin" dan lainnya tentang micin.
Istilah-istilah tersebut saat ini banyak dipakai untuk merujuk pada anak-anak muda di media sosial yang sering bertindak gegabah dan kurang perhitungan.
Sikap konyol tersebut dikaitkan dengan "kebanyakan mengonsumsi micin alias MSG."
Monosodium glutamat (MSG) merupakan bahan penyedap rasa yang dianggap berdampak buruk pada kemampuan kognitif seseorang.
Benarkah efek MSG seburuk itu?
Padahal, menurut ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Profesor Hardinsyah, klaim tersebut dianggap salah dan tak terbukti.
Hardinsyah mengungkapkan, lembaga-lembaga kesehatan dunia--The Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA), hingga Kementerian Kesehatan RI menyatakan, MSG aman dikonsumsi.
Lantas, mengapa ada anggapan mengonsumsi MSG dapat menurunkan kinerja otak?
Hardinsyah menduga, ada kesalahan persepsi atas penelitian yang dilakukan oleh peneliti Washington University, Dr John W Olney.
Olney menguji MSG terhadap tikus putih, namun dilakukan dengan cara menyuntikannya ke bawah kulit.
Cara ini pun dikritik karena tak lazim, di mana MSG umumnya diasup lewat makanan.
Selain itu, dosis yang diberikan kepada tikus percobaan itu sangat tinggi, dan tak mungkin diterapkan pada manusia.
Hasilnya pun tak mengherankan, karena dosis yang tinggi, maka berdampak merusak otak.
"Dugaan saya (anggapan generasi micin), dari penelitian tikus tadi dikonotasikan, dipelintir, dan jadi mitos."
"Padahal kita tak mungkin kuat mengasup MSG dengan dosis sangat tinggi," ungkap Hardinsyah di Jakarta, Selasa (23/1/2018).
Berdasarkan penelitan dari Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology Center (SEAFAST Center) IPB pada 2007, konsumsi MSG harian orang Indonesia sekitar 0,7 gram per orang per hari.
Jumlah ini lebih sedikit dari konsumsi MSG di Amerika Serikat kurang dari 1 gram per orang per hari dan Jepang 2 gram per orang per hari.
Hardinsyah mengatakan, WHO dulu membatasi konsumsi harian MSG di bawah 5 gram.
Namun, penelitian selanjutnya tak menemukan efek berbahaya saat mengonsumsi berlebih.
"Sehingga disebutkan batasan hariannya secukupnya, karena tidak menemukan batas atas."
"Nah, secukupnya tadi batas optimum yang dirasakan manusia, yaitu ketika 0,4 persen dari berat."
"Sederhananya mau buat nasi goreng 100 gram, jadi membutuhkan 0,4 persen atau 0,4 gram MSG."
"Kalau lebih dari itu? Enaknya menurun, kalau sangat kurang? Juga enggak seenak itu," ungkap Hardinsyah.
Berita ini sudah dimuat di Kompas.com dengan judulBenarkah Efek "Micin" Seburuk Itu?