Nina, Penderita Thalasemia Bertahan Hidup dengan Transfusi Darah dan Usaha Katering
Sejauh ini, obat-obat yang menopang penderita thalasemia bertahan hidup, masih bisa di-cover oleh asuransi kesehatan di BPJS Kesehatan.
Penulis: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyakit thalasemia kini menjadi ancaman baru bagi dunia kesehatan di Indonesia. Karakter penyakit ini yang diturunkan secara genetik dari orangtua yang menjadi carrier (pembawa) penyakit thalasemia, serta sulitnya penyakit ini dideteksi jika tanpa melalui proses screening yang melibatkan dokter, membuat penyakit ini mudah berbiak.
Selain itu, ketiadaan obat yang benar-benar bisa membunuh penyakit ini sampai sekarang membuat thalasemia seperti momok menakutkan: selalu hinggap di tubuh penderitanya dan dibawa sampai meninggal dunia.
Thalasemia adalah penyakit yang tidak menular
Ruswandi dari Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalassaemia Indonesia (POPTI) mengatakan, thalasaemia adalah penyakit kelainan darah bisa mengenai penderitanya sejak masa kanak-kanak.
"Ini bukan jenis penyakit menular, tapi muncul karena faktor keturunan. Bukan pula penyakit kanker darah. Penyakit ini diturunkan oleh kedua orangtuanya (faktor genetik) kepada anak. Meski bukan penyakit menular, thalasemia dapat dicegah," kata Ruswandi.
Baca: Kento Momota Diduga Habiskan Malam dengan Yuki Fukushima, Terkuak Saat JADA Sidak Asrama
Mereka yang positif menderita thalasemia seumur hidupnya akan amat bergantung pada transfusi darah secara berkala. Ini karena produksi sel darah merahnya di tubuh terganggu, kalah oleh pertumbuhan sel darah putih.
Pada manusia normal produksi sel datah merah terjadi setiap 100 hari sekali. "Karena 100 hari sekali sel darah merah kita pecah," jelas Russwandi.
Pada anak penderita thalasaemia mayor, produksi sel darah merah tidak berlangsung dengan baik, karena sel darah merah yang dihasilkan menurut kaca mata kedokteran, pecah sebelum waktunya.
Di masa lalu, karena masih terbatasnya pengetahuan masyarakat dan terbatasnya akses terhadap obat-obatan untuk menjaga agar tetap bertahan hidup, usia penderita thalasemia di Indonesia biasanya tidak lebih dari 20 tahun.
Kini mereka bisa menjangkau usia yang lebih panjang berkat berkembangnya temuan obat-obatan di dunia medis.
Baca: 10 Kecamatan di Bandung Berpotensi Ambles, Waspada Gempa Disusul Tanah Bergerak
Nina, 40 tahun, adalah contoh penderita thalasemia yang sanggup bertahan hidup hingga kini. Karena motivasi dan semangat hidupnya yang begitu kuat, Nina bertahan hidup dengan rajin menjalani transfusi darah secara berkala.
"Saya sudah dinyatakan kena thalasemia dsejak usia bayi empat bulan," kenang Nina, saat berbincang dengan Tribunnews di sela acara 'Fun Day With Daihatsu, Bahagia, Ceria Sahabat Thalasemi Bersama Daihatsu' yang digelar Daihatsu Cabang Pangeran Jayakarta, Jakarta, bekerja sama dengan Yayasan Thalasemi Indonesia di Ocean Dream, Ancol, Rabu (10/10/2018).
Nina kini mendedikasikan hidupnya merawat pasien dan penderita thalasemia di Jakarta. Nina saat ini membantu Yayasan Thalasemi Indonesia. Oleh pihak yayasan, Nina diperbantukan di RS hermina Kemayoran, Jakarta, salah satu rumah sakit di Jakarta yang selama ini melayani perawatan pasien thalasemia.
Baca: Lakukan Cek Darah di Lab, Hindari Menikah dengan Penyandang Thalasemia Mayor
Thalasemia bukan penyakit yang murah. Karena penderitanya harus rutin menjalani transfusi, bisa setiap dua minggu sekali, atau sebulan sekali, tergantung berat tidaknya penyakit yang disandang, keluarga pasien harus menyiapkan dana untuk merawat anggota keluarganya yang terkena thalasemia.