Nina, Penderita Thalasemia Bertahan Hidup dengan Transfusi Darah dan Usaha Katering
Sejauh ini, obat-obat yang menopang penderita thalasemia bertahan hidup, masih bisa di-cover oleh asuransi kesehatan di BPJS Kesehatan.
Penulis: Choirul Arifin
![Nina, Penderita Thalasemia Bertahan Hidup dengan Transfusi Darah dan Usaha Katering](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/thalasemia_20181012_155618.jpg)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyakit thalasemia kini menjadi ancaman baru bagi dunia kesehatan di Indonesia. Karakter penyakit ini yang diturunkan secara genetik dari orangtua yang menjadi carrier (pembawa) penyakit thalasemia, serta sulitnya penyakit ini dideteksi jika tanpa melalui proses screening yang melibatkan dokter, membuat penyakit ini mudah berbiak.
Selain itu, ketiadaan obat yang benar-benar bisa membunuh penyakit ini sampai sekarang membuat thalasemia seperti momok menakutkan: selalu hinggap di tubuh penderitanya dan dibawa sampai meninggal dunia.
Thalasemia adalah penyakit yang tidak menular
Ruswandi dari Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalassaemia Indonesia (POPTI) mengatakan, thalasaemia adalah penyakit kelainan darah bisa mengenai penderitanya sejak masa kanak-kanak.
"Ini bukan jenis penyakit menular, tapi muncul karena faktor keturunan. Bukan pula penyakit kanker darah. Penyakit ini diturunkan oleh kedua orangtuanya (faktor genetik) kepada anak. Meski bukan penyakit menular, thalasemia dapat dicegah," kata Ruswandi.
Baca: Kento Momota Diduga Habiskan Malam dengan Yuki Fukushima, Terkuak Saat JADA Sidak Asrama
Mereka yang positif menderita thalasemia seumur hidupnya akan amat bergantung pada transfusi darah secara berkala. Ini karena produksi sel darah merahnya di tubuh terganggu, kalah oleh pertumbuhan sel darah putih.
Pada manusia normal produksi sel datah merah terjadi setiap 100 hari sekali. "Karena 100 hari sekali sel darah merah kita pecah," jelas Russwandi.
Pada anak penderita thalasaemia mayor, produksi sel darah merah tidak berlangsung dengan baik, karena sel darah merah yang dihasilkan menurut kaca mata kedokteran, pecah sebelum waktunya.
![Penyandang thalasemia peserta kegiatan CSR 'Fun Day With Daihatsu, Bahagia, Ceria Sahabat Thalasemi Bersama Daihatsu' menyaksikan atraksi drama di wahana Scorpion Pirates di Ocean Dream, Ancol, Jakarta, Rabu (10/10/2018). (IST)](http://cdn-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/thalasemia_20181012_155459.jpg)
Di masa lalu, karena masih terbatasnya pengetahuan masyarakat dan terbatasnya akses terhadap obat-obatan untuk menjaga agar tetap bertahan hidup, usia penderita thalasemia di Indonesia biasanya tidak lebih dari 20 tahun.
Kini mereka bisa menjangkau usia yang lebih panjang berkat berkembangnya temuan obat-obatan di dunia medis.
Baca: 10 Kecamatan di Bandung Berpotensi Ambles, Waspada Gempa Disusul Tanah Bergerak
Nina, 40 tahun, adalah contoh penderita thalasemia yang sanggup bertahan hidup hingga kini. Karena motivasi dan semangat hidupnya yang begitu kuat, Nina bertahan hidup dengan rajin menjalani transfusi darah secara berkala.
"Saya sudah dinyatakan kena thalasemia dsejak usia bayi empat bulan," kenang Nina, saat berbincang dengan Tribunnews di sela acara 'Fun Day With Daihatsu, Bahagia, Ceria Sahabat Thalasemi Bersama Daihatsu' yang digelar Daihatsu Cabang Pangeran Jayakarta, Jakarta, bekerja sama dengan Yayasan Thalasemi Indonesia di Ocean Dream, Ancol, Rabu (10/10/2018).
Nina kini mendedikasikan hidupnya merawat pasien dan penderita thalasemia di Jakarta. Nina saat ini membantu Yayasan Thalasemi Indonesia. Oleh pihak yayasan, Nina diperbantukan di RS hermina Kemayoran, Jakarta, salah satu rumah sakit di Jakarta yang selama ini melayani perawatan pasien thalasemia.
Baca: Lakukan Cek Darah di Lab, Hindari Menikah dengan Penyandang Thalasemia Mayor
Thalasemia bukan penyakit yang murah. Karena penderitanya harus rutin menjalani transfusi, bisa setiap dua minggu sekali, atau sebulan sekali, tergantung berat tidaknya penyakit yang disandang, keluarga pasien harus menyiapkan dana untuk merawat anggota keluarganya yang terkena thalasemia.
Sejauh ini, obat-obat yang menopang penderitanya bertahan hidup, masih bisa di-cover oleh asuransi kesehatan di BPJS Kesehatan.
Baca: Daihatsu Jayakarta Kembali Selenggarakan Sosialisasi Thalasemia ke Kalangan Pelajar
Mohamad Taufik (30), penderita thalasemia, asal jakarta Timur, mengaku harus menjalani transfusi satu bulan sekali di RSPAD Gatot Subroto.
Selain transfusi darah, Taufik juga menjalani pengobatan oral. Untuk sekali transfusi, Taufik membutuhkan darah sebanyak 1000 cc karena berat badannya yang cukup besar. "Untuk biaya labu darah saja Rp 700 ribu," ungkap Taufik.
Bisa Hidup Normal
Pasien atau penderita thalasemia sebenarnya tetap bisa hidup normal. Syaratnya, tetap disiplin seumur hidupnya dengan anjuran dokter: rajin menjalani transfusi darah atau minum obat oral. Contoh mereka yang bisa hidup normal sudah cukup banyak.
Seperti cerita Taufik di atas. Dia terkena thalasemia dari ibunya. Pria kelahiran Jakarta ini merasa cukup terganggu oleh penyakit ini saat duduk di bangku SMK Al khairiah, Tanjung Priok.
Kini Taufik sudah beradaptasi dan masih bisa beraktivitas dengan membuka usaha bengkel motor.
Begitu juga dengan Nina, Kini dia membiayai kebutuhan hidup sehari-harinya dari usaha katering kecil-kecilan.
Demikian pula Adam. Pemuda 21 tahun yang menderita thalasemia sejak kecil bersama sang adik, kini menjadi pegawai magang di Astra Daihatsu, Sunter, di bagian general affairs. Ada dua minggu sekali harus minum obat untuk membuang kelebihan zat besi di tubuhnya akibat thalasemia.
Adam sebelumnya mengambil kursus masak di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Sebagai chef mula, Adam menguasai sejumlah menu masakan Eropa.
Sang adik kini kuliah di salah satu perguruan tinggi di Jakarta.
Dokter Olive dari RS Hermina Kemayoran, Jakarta, mengatakan, peran orangtua sangat dominan dalam menjaga anak-anak penderita thalasemia agar tetap memiliki semangat hidup tinggi.
"Peran orangtua penting buat penderita thalasemia. Orangrua yang anaknya thalasmia, jangan patah semangat, dengan orangtua yang selalu memberi semangat, anak juga akan bersemangat menjalani hidup. Orangtua juga harus pandai memotivasi anaknya," ujar dokter Olivia.
Indri Astutiningsih, perawat pasien thalasemia di RS Hermina Kemayoran mengatakan, selama ini ada 3 obat oral untuk pasien thalasemia. Yakni, Feriplox, asam folat dan vitamin E.
Feriplox diminum untuk mengurangi kadar zat besi (produksi berlebih) dalam tubuh penderita.
"Obat ini nama umumnya adalah obat kelasi besi. Ada 3 macam yang beredar, yakni Feriplox, Exjade, Dandesferal," kata Indri.
Untuk obat oral ada dua macamm yakni Feriplox dan Exjade. Satu obat lainnya adalah Desferal, disuntik dengan cara subcutan dengan Syringe Pump.
Untuk membantu pengobatan para pasien thalasemia ini, Daihatsu Cabang Pangeran Jayakarta mendonasikan 24 unit Syringe Pump ke Yayasan Thalasemi Indonesia.
Alat ini selanjutnya disebar ke 7 rumah sakit di Jakarta untuk kebutuhan transfusi darah anak-anak penyintas thalasemia.
Indri menambahkan, obat kelasi besi harus diminum untuk mengeluarkan zat besi dari dalam tubuh. untuk mengetahui seberapa banyak zat besi di dalam tubuh penderita thalasemia, yang bersangkutan harus menjalani pemeriksaan darah feritin 3 bulan sekali.
Ini sekaligus untuk mengetahui jenis obat kelasi besi apa yang harus dikonsumsinya.
Pada penderita thalasemia produksi zat besi biasanya cukup tinggi dan mereka harus selalu rutin menjalani pemeriksaan darah feritin 3 bulan sekali dan menjalani MRI T2 Star untuk mengetahui apakah organ dalam tubuhnya ada tumpukan zat besi atau tidak.
Misalnya di otak, paru paru, pankreas. Alat untuk MRI T2 Star ini saat ini dimiliki di RSCM Jakarta.
"Kepatuhan pasien sangat berperan dalam mengonsumsi obat ini. Dokter hematologi akan menentukan jenis obat apa yang harus diminun pasien. Pasien juga tidak bisa sembarangan mengganti-ganti minum obat semacam ini, karena harus mengacu pada hasil pemeriksaan dan kondisi berat badan pasien," beber Indri.
Itu sebabnya, rumah sakit yang membuka layanan thaasemia ini harus memiliki dokter hematologi. Ada dokter hematologi anak dan dokter hematologi dewasa.
Penulis: Choirul Arifin