CAPD, Cuci Darah Lewat Perut yang Lebih Efisien untuk Pasien Gagal Ginjal
CAPD adalah terapi alternatif bagi pasien gagal ginjal kronis, selain Hemodialisis (HD) dan transplantasi ginjal.
Penulis: Ria anatasia
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ria Anatasia
TRIBUNNEWS.COM - Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) atau cuci darah lewat perut merupakan terapi guna meningkatkan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronis (GGK).
Dialisis ini mengandalkan fungsi perut sebagai penyaring alami. Cairan pada CAPD bantu membersihkan darah dari hasil metabolisme serta membuang racun dan cairan yang tak dibutuhkan tubuh, ketika ginjal sudah tak berfungsi normal.
Ketua Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), Aida Lydia mengatakan, CAPD adalah terapi alternatif bagi pasien gagal ginjal kronis, selain Hemodialisis (HD) dan transplantasi ginjal.
Metode ini juga disebut lebih hemat biaya, mengingat dialisis menempati posisi kedua tertinggi dari penyakit yang ditanggung BPJS Kesehatan dengan nilai Rp. 4,6 triuliun di 2018.
“Layanan tersebut sebagai salah satu alternatif terapi pengganti ginjal untuk meningkatkan kualitas hidup pasien GGK, sekaligus menjadi solusi pengendalian biaya kesehatan Negara,” kata Aida di seminar bertajuk _A Comprehensive View Toward ESRD Cost and Modality’ di JS Luwansa Hotel, Jakarta, Kamis (1/11/2018).
Aida menyebut sejumlah alasan lambatnya pertumbuhan pasien GGK yang mendapat layanan ini.
Pertama, saat ini hanya ada satu penyedia CAPD di Indonesia. Kemudian belum siapnya sistem distribusi, dan masih rendahnya edukasi yang baik terhadap pasien dan petugas kesehatan.
"Data Perneferi di Oktober 2017 mencatat pertumbuhan CAPD dari tahun ke tahun fluktuatif. Pada tahun 2015 (1.674 pasien), tahun 2016 (1.594 pasien), dan tahun 2017 (1.737 pasien)," paparnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan Kementerian Kesehatan, dr. Tengku Djumala Sari mengatakan, saat ini Kemenkes sedang menjalankan sebuah uji coba peningkatan cakupan pelayanan CAPD di Jawa Barat.
Ia berharap pada akhir 2018 bisa menjadi rujukan untuk kebijakan nasional.
“Program yang kami inisiasi ini diharapkan dapat menjadi salah satu solusi pengendalian biaya hemodialisa. Target kami adalah meningkatkan jumlahh pasien CAPD dari 3% menjadi 30%,” jelas dia.
Studi Komite Penilaian Teknologi Kesehatan (KPTK) Kemenkes RI dan Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat (PKEKK FKM) Universitas Indonesia juga menguatkan fakta, CAPD lebih efektif dari segi biaya dibanding hemodialisa (HD).
“Fakta bahwa CAPD lebih cost efficient dibandingkan HD, dan juga meningkatkan kualitas hidup pasien. Pada kenyataannya jumlah pasien CAPD hanya 3% dari total pasien CAPD, dan 95% menjalani HD,” kata Ketua KPEKK FKM UI, Prof Budi Hidayat.