Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Kesehatan

Catat, Ini 5 Kesalahpahaman tentang DBD dan Nyamuknya

penurunan angka trombosit hanya menunjukkan naiknya kebocoran plasma, dan baru memerlukan transfusi bila disertai pendarahan masif.

Editor: Sanusi
zoom-in Catat, Ini 5 Kesalahpahaman tentang DBD dan Nyamuknya
ISTIMEWA
Untuk mengantipasi menyebarnya penyakit wabah malaria dan demam berdarah serta berbagai jenis penyakit lainnya menjelang datangnya musim hujan, Prajurit TNI melaksanakan fogging di sekitar tempat pengungsian warga yang terkena dampak gempa bumi di Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang terjadi beberapa waktu lalu. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pada saat ini, DBD sedang berkembang marak di antara masyarakat Indonesia.

Dari awal tahun hingga 29 Januari 2019, tercatat ada 13.683 kasus demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia, dengan provinsi Jawa Timur yang tertinggi.

Seiring dengan hal tersebut, berbagai upaya pun dilakukan oleh masyarakat untuk memusnahkan nyamuk Aedes aegypti, menghentikan penularannya dan mengobati anggota keluarga yang terkena DBD.

Namun sayangnya, banyak dari upaya ini yang menjadi tidak efektif karena kesalahpahaman akan DBD dan nyamuknya.

Berikut Kompas.com telah menghimpun lima kesalahpahaman yang paling umum berdasarkan paparan para ahli di seminar “Demam Berdarah yang Tak Kunjung Musnah, Mengapa?” yang diadakan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Rabu (13/2/2019).

1. Nyamuk DBD suka bertelur di air kotor

Mungkin inilah kesalahpahaman terbesar masyarakat akan nyamuk Aedes aegypti. Banyak yang beranggapan bahwa nyamuk ini suka bertelur di air kotor.

Berita Rekomendasi

Alhasil, tidak sedikit masyarakat yang hanya melakukan pengasapan atau fogging di luar rumah, seperti got.

Namun, Prof dr Saleha Sungkar, DPA&E, MS, SpParK dari Departemen Parasitologi FKUI mengungkapkan bahwa nyamuk DBD justru mencari air jernih yang tidak terkena matahari langsung untuk bertelur.

Secara khusus, nyamuk Aedes aegypti akan meletakkan telurnya yang sangat lengket pada dinding vertikal yang berada sedikit di atas air.

“Jadi malah enggak ada di got, kubangan, atau sungai. Dia butuhnya kontainer, seperti bak mandi, botol, dan lain-lain,” ujarnya.

Sekalinya menempel, telur ini bisa bertahan hidup tanpa air hingga enam bulan, dan akan menetas kembali ketika bertemu dengan air.

Oleh karena itu, Saleha menyarankan untuk melaksanakan 3M, yakni menutup tempat penampungan air bersih, menguras tempat penampungan air bersih, dan mendaur ulang atau memusnahkan barang-barang bekas setidaknya seminggu sekali.

Ketika menguras penampungan air, jangan lupa juga untuk menyikat dindingnya agar telur benar-benar musnah dan tidak kembali ketika bertemu air.

Halaman
123
Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas