Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Kesehatan

Harapan Menjanjikan dari Imunoterapi Tidak Sekadar Euforia

Imunoterapi merupakan terobosan terbaru dalam pengobatan kanker yang menggunakan sistem kekebalan tubuh sendiri untuk melawan sel-sel kanker

Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in Harapan Menjanjikan dari Imunoterapi Tidak Sekadar Euforia
Hello Sehat
Mengenal imunoterapi, terobosan baru bagi pasien kanker 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Imunoterapi  kian menjadi perbincangan hangat dalam lingkup pengobatan kanker.

Dalam tiga tahun terakhir ini, euforia terhadap imunoterapi memang besar sekali. Terutama ketika mantan presiden Amerika Serikat sembuh dari melanoma setelah mendapat PD-1 inhibitor.

"Sejak itu, obat ini mulai dicobakan ke berbagai jenis kanker,” tutur spesialis onkologi medik Dr dr Andhika Rachman, Sp.PD-KHOM dari FKUI/RSCM, Jakarta dalam keterangan pers, Jumat (5/4/2019).

Imunoterapi merupakan terobosan terbaru dalam pengobatan kanker. Terapi ini  menggunakan sistem kekebalan tubuh sendiri untuk melawan sel-sel kanker.

“Tubuh memiliki sel T yang merupakan bagian dari darah putih. Darah putih ini tugasnya melawan musuh, inilah tentara dalam tubuh, tentara yang kita miliki,” ujar dr. Jeffry B. Tenggara, Sp.PD, KHOM, konsultan Hematologi dan Onkologi Medik dari MRCCC Siloam Hospitals.  

Sel darah putih punya banyak komponen seperti limfosit, basofil, fagosit, dll. 

Komponen yang berperan dalam melawan kanker adalah sel limfosit T dan NK cell. Tetapi, terkadang kekebalan kita tidak cukup kuat untuk melawan kanker.

BERITA REKOMENDASI

Kanker tumbuh secara perlahan, dan pada awalnya kekebalan tubuh manusia dapat membasmi sel kanker sebelum berkembang lebih lanjut.

Seiring waktu, sel kanker bertumbuh makin cepat hingga kekebalan tubuh tidak dapat lagi mengimbangi pertumbuhan kanker.

Baca: Tengah Sakit Kanker, Ani Yudhoyono Unggah Foto Tubuhnya Penuh Selang, AHY: Yang Kuat dan Sabar Memo

Beberapa jenis kanker juga memiliki mekanisme untuk menghancurkan sel limfosit T.

“Jadi, prinsip imunoterapi ini memanfaatkan mekanisme kekebalan sel-sel tubuh kita sendiri untuk melawan kankernya,” tegas dr. Jeffry.

Ada beberapa macam metoda imunoterapi, yaitu Checkpoint Inhibitors, Cytokine Induced Killer Cell (CIK), dan Vaksin. 

Saat ini immunoterapi yang sudah banyak dipakai adalah check point inhibitor yang salah satunya adalah anti PD-1.

Mekanisme kerja dari anti-PD1 ini adalah mencegah kematian sel limfosit T akibat proses pengrusakan oleh kanker.

PD-1 adalah bagian dari sel T limfosit, yang bertugas menginduksi program pematian sel; dalam hal ini sel kanker.

Secara alamiah, tubuh memiliki mekanisme untuk meredakan PD-1 karena bila aktivitasnya berlebihan, justru bisa menimbulkan dampak buruk bagi tubuh.

Itu sebabnya, beberapa sel tubuh dirancang memiliki PD-L1 dan PD-L2. Bila PD-1 berikatan dengan ligan PD-L1 atau PD-L2, sel T menjadi tidak aktif, sehingga tidak muncul reaksi berlebihan yang tidak diperlukan.

Sayangnya, mekanisme ini berhasil ditiru oleh sel kanker tertentu.

Beberapa jenis kanker juga mengembangkan ligan PD-L1 dan/atau PD-L2 pada permukaannya, sehingga mampu meredam aktivitas sel T. Sel kanker memang sangat pintar; ini adalah salah satu caranya menyembunyikan diri dari kejaran sistem imun.

Tidak semua kanker memiliki PD-L1. Karenanya pula, tidak semua kanker bisa diterapi dengan anti PD-1.

Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) atau non-small cell lung cancer (NSCLC), kanker kulit jenis melanoma maligna, dan kanker ginjal termasuk yang memilikinya, sehingga bisa diterapi dengan anti PD-1.

Hadirnya anti PD-1 memberikan pilihan terapi yang lebih banyak bagi pasien kanker paru, dengan efikasi yang baik.

Baca: Saat Arifin Ilham Berjuang Lawan Kanker, Berkah Bayi dari Istri Ketiganya Lahir, Ini Dia Wajah Baby

Berdasarkan pengalaman Dr. dr. Andhika.

“Pemberian obat ini meningkatkan progression-free survival hingga enam bulan,” katanya.

Progression-free survival (PFS) adalah masa selama kanker tidak berkembang. Ini hal yang cukup menjanjikan, mengingat angka kesintasan (survival rate) pasien kanker paru sangat rendah.

Pun, tidak semua pasien KPKBSK bisa mendapat imunoterapi anti PD-1. Sebelumnya, harus dilakukan pemeriksaan PD-L1 pada sel kanker.

“Yang terbaik yakni bila ekspresi PD-L1 di atas 50%,” terang Dr. dr. Andhika.

Pada kondisi demikian, imunoterapi dilakukan sebagai pengobatan tunggal.

Namun bila ekspresi PD-L1 berkisar 1-50%, anti PD-1 masih dapat diberikan dengan mempertimbangkan biaya dan manfaatnya.

Berdasarkan Keynote 024 perlu dilakukan kemoterapi dulu selama enam siklus, baru kemudian dilanjutkan dengan imunoterapi anti PD-1.

Untuk beberapa kasus lain seperti kanker ginjal dan melanoma maligna, imunoterapi bisa digunakan tanpa tes PDL-1 lagi karena berdasarkan penelitian terbukti hasilnya baik. Ditengarai, hampir 100% melanoma mengekspresikan PD-L1.

Di Indonesia, anti PD-1 disetujui oleh BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) untuk pengobatan kanker paru dan kanker kulit jenis melanoma maligna.

Ini adalah jenis kanker kulit yang paling ganas, yang menjangkiti Jimmy Carter.

Baca: 10 Manfaat Tak Terduga Pisang yang Sudah Terlalu Matang hingga Berbintik, Termasuk Cegah Kanker

Kini penggunaannya tidak sebatas pada kedua kanker tersebut.

Di penelitian maupun di tempat praktik, imunoterapi anti PD-1 juga digunakan untuk berbagai kanker lain, yang telah dibuktikan mengekspresikan PD-L1.

Dr. dr. Andhika telah menggunakan obat ini untuk pasien kanker pankreas, kanker payudara, kanker empedu, hingga kanker kepala dan leher.

Anti PD-1 biasa diberikannya pada pasien dengan status performa fisik yang kurang baik.

“Obat yang diberikan untuk terapi sistemik haruslah yang tidak menurunkan status performa pasien,” ujarnya.

Hasilnya cukup baik dan tanpa efek samping, meski efikasinya tidak sebaik pada kanker paru dan melanoma.

Pasien tertua yang diberikan imunoterapi anti PD-1 oleh Dr. dr. Andhika berusia 82 tahun, yang menderita kanker pankreas. Pasien tersebut mendapat anti PD-1 sebanyak 12x.

Pasien ini masih hidup sampai sekarang, setahun lebih setelah pengobatan dengan anti PD-1.

“Selama pengobatan pun kualitas hidupnya bagus. Dia bisa beraktivitas sehari-hari seperti biasa,” lanjutnya.

Tantangan dan kendala

Saat ini kendala utama pemberian immunoterapi adalah biaya yang sangat mahal hingga mencapai ratusan juta rupiah.

Dengan demikian, pemberiannya terbatas pada pasien dengan tingkat ekonomi menengah ke atas.

Tanpa imunoterapi saja, pengobatan kanker sudah sangat mahal.

“Kanker membuat individu menjadi tidak produktif, dan biaya pengobatannya akan menguras keuangan,” sesal Dr. dr. Andhika.

Selain itu belum banyak jenis kanker yang dapat dibuktikan akan baik dengan pemberian immunoterapi.

Saat ini imunoterapi merupakan metode pengobatan kanker yang masih tergolong baru, dan berbagai pusat penelitian di seluruh dunia sedang mengumpulkan data angka keberhasilan untuk digunakan pada berbagai macam kanker.

“Penggunaan imunoterapi harus mengacu pada guideline yang baku, dan tidak boleh digunakan di luar itu kecuali dalam kerangka penelitian medis, dan dokter harus mengikuti standar prosedur yang baku,” tegas dr Jeffry.

Ia melanjutkan, kebutuhan imunoterapi di Indonesia sangat besar, apalagi ini digadang-gadang sebagai pengobatan masa depan untuk kasus kanker.

"Namun di Indonesia penggunaannya belum luas, masih terbatas, sehingga datanya belum banyak,” katanya.

Sebagai praktisi, dr. Jeffry berharap kehadiran imunoterapi dapat memberi kesintasan yang lebih baik.

“Harus dipahami bahwa imunoterapi bukan tanpa efek samping. Salah satunya, membuat sistem imun terlalu aktif," katanya.

Padahal sistem kekebalan tubuh harus tetap seimbang. Jika terlalu berlebihan, bisa muncul efek samping seperti sesak napas pada saat diberikan imunoterapi, dermatitis, kulitnya bisa meradang. Hal ini berdasarkan pengalaman saya di MRCCC ini.

Andika menyebut, imunoterapi tak hanya meningkatkan PFS, tapi juga membuat kualitas hidup pasien lebih baik.

Secara umum, efek samping dari imunoterapi tidak seberat yang ditimbulkan oleh kemoterapi. Pneumonitis (radang paru) dan radang/ruam pada kulit termasuk yang kerap muncul pada pemberian imunoterapi.

Selain itu, pemberian anti PD-1 di Indonesia juga relatif singkat.

“Biasanya hanya delapan sampai dua belas kali, karena harga obatnya sangat mahal,” imbuhnya.

Sedangkan di negara maju, penggunaan anti PD-1 bisa sampai dua tahun, hingga penyakit kembali muncul.

“Kanker itu never ending story.” Belum ada obat yang bisa memusnahkan kanker 100%. Sedemikian canggih obat yang sudah ditemukan, tapi kemungkinan kanker kambuh atau bermetastasis tetap ada. “Namun bagaimanapun, imunoterapi tetap menjanjikan. Perlu dukungan dari pemerintah, agar penelitian mengenai imunoterapi terus berkembang,” katanya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas