Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Kesehatan

Hasil Autopsi Verbal Kemenkes, Jantung, Stroke dan Kecelakan Jadi Pemicu Meninggalnya Petugas KPPS

KEMENTERIAN Kesehatan telah melakukan autopsi verbal di 34 provinsi Indonesia, terkait kesehatan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS

Penulis: Anita K Wardhani
zoom-in Hasil Autopsi Verbal Kemenkes, Jantung, Stroke dan Kecelakan Jadi Pemicu Meninggalnya Petugas KPPS
Wartakota/henry lopulalan
PAHLAWAN DEMOKRASI - Warga meletakkan bunga saat aksi dukacita untuk pahlawan demokrasi di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Minggu (28/4/2019). Aksi tersebut dilakukan untuk mengenang 270 lebih orang pejuang demokrasi yang terdiri dari petugas KPPS/KPU serta anggota Polri yang gugur saat mengawal proses Pemilu 2019. (Warta Kota/henry lopulalan) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - KEMENTERIAN Kesehatan telah melakukan autopsi verbal di 34 provinsi Indonesia, terkait kesehatan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia.

Perwakilan Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Tri Hesti Widyastuti mengatakan, dari 34 provinsi tersebut, 17 di antaranya sudah selesai diautopsi verbal.

Autopsi verbal adalah investigasi atas kematian seseorang melalui wawancara dengan orang terdekat korban, mengenai tanda-tanda kematian.

"Memang ini belum dapat dipublikasikan, jadi masih data sementara. Ini masih 17 dari 34 provinsi. Jadi masih menunggu hasil keseluruhannya," kata Tri Hesti Widyastuti dalam diskusi 'Membedah Persoalan Kematian Mendadak Petugas Pemilu dari Perspektif Keilmuan', di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin (13/5/2019).

Tri Hesti mengungkapkan, berdasarkan lokasi, petugas KPPS meninggal dunia pasca-Pemilu 2019 paling banyak berada di luar DKI Jakarta.

Baca: Petugas KPPS di Jawa Barat Dikabarkan Meninggal karena Diracun, Kemenkes Pastikan Tidak Ada

DISKUSI MENINGGALNYA PETUGAS KPPS - Ahli  Forensik DR. Dr. Ade Firmansyah. Sp.F saat  menjadi pembicara dalam  diskusi terbuka
DISKUSI MENINGGALNYA PETUGAS KPPS - Ahli Forensik DR. Dr. Ade Firmansyah. Sp.F saat menjadi pembicara dalam diskusi terbuka "Membedah Persoalan Sebab Kematian Mendadak Petugas PEMILU" di Kantor PB Ikatan Dokter Indonesia Jalan G.S.S.Y Ratulangi, Jakarta Pusat, Senin(13/5).Dokter Indonesia (IDI) menyebut penyebab utama kematian ratusan petugas KPPS pasca-pemilu 17 April bukanlah kelelahan. Penyakit yang sebelumnya diderita, seperti jantung dan saraf menjadi pemicu meninggalnya petugas KPPS.-Warta Kota/henry lopulalan (WARTA KOTA/henry lopulalan)

Serta, kematiannya tidak terjadi pada 17 April 2019 alias saat pemungutan suara, melainkan setelah proses pemungutan suara dilakukan.

"Angka kejadian meninggalnya jarang terjadi saat tanggal 17, tapi setelah beberapa hari menjalani perawatan. Tanggal 21 sampai 25 April baru ada yang meninggal," bebernya.

Baca: Bukan Penyebab Utama, Tapi Kelelahan Bisa Jadi Pemicu Kematian Petugas KPPS

Berita Rekomendasi

Dalam proses dilakukannya autopsi verbal, menurut Hesti, telah melalui surat edaran Dinkes Provinsi.

Selanjutnya berkoordinasi dengan puskesmas tiap daerah, untuk mengirim petugasnya melakukan autopsi verbal kepada KPPS yang sakit maupun yang meninggal

Dari hasil tersebut, didapat fakta petugas KPPS meninggal berusia di atas 50 tahun.

Pemicu kematian terbanyak adalah gagal jantung dan stroke hingga kecelakaan lalu lintas.

Baca: Buah Ajaib dari Timur Tengah Ini Favorit Rasul, di Dalam Kurma Tersimpan Khasiat Dahsyat untuk Tubuh

"Kesimpulan baru 17 provinsi, ada beberapa belum diketahui masih kita telusuri. Tapi penyebab terbanyak, gagal jantung, stroke, kecelakaan lalu lintas," ungkapnya.

Ilustrasi: Petugas Pemilu 2019 meninggal. 2 Petugas KPPS di Bandung Meninggal Dunia Setelah Didiagnosa Sakit Lambung dan Darah Rendah
Ilustrasi: Petugas Pemilu 2019 meninggal. 2 Petugas KPPS di Bandung Meninggal Dunia Setelah Didiagnosa Sakit Lambung dan Darah Rendah (Kolase Tribun Jabar)

Kelelahan Bukan Faktor Utama, Tapi Bisa Jadi Pemicu
Sepanjang pemilu 2019 kemarin tercatat ada 500 orang lebih petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia yang diduga karena mengalami kelelahan.

Kasus ini pun mendapatkan perhatian khusus dari Persatuan Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) karena kematian yang mendadak dan dalam jumlah yang besar.

Lantas PB IDI pun melakukan diskusi khusus yang melibatkan beberapa dokter spesialis seperti penyakit dalam, stroke, dokter forensik, hingga Kementerian Kesehatan dan disimpulkan bahwa kelelahan bukan penyebab langsung kematian mendadak.

Ketua PB IDI, Daeng Mohammad Faqih menuturkan ada faktor penyebab lainnya yang menjadi faktor pemicu dan pemberat kematian dari para pahlawan demokrasi itu.

“Menghadapi kasus kematian mendadak dalam jumlah banyak, pertama kelelahan bukan penyebab langsung, tapi dapat menjadi faktor pemicu atau pemberat sumber kematian,” ungkap Daeng di Kantor Pusat PB IDI, di Jakarta Pusat, Senin (13/5/2019).

Kelelahan memang bukan lah penyebab langsung namun, kelelahan ini bisa jadi pemicu besar reaksi dari penyakit yang ada di dalam tubuh.

Spesialis Kardiovaskular Indonesia, Anwar Santoso, SpJP dari Perhimpunan Dokter mencontohnkan saat kelelahan, ditambah ada tekanan lainnya di Tempat Pemungutan Suara (TPS), emosi tidak stabil, kemudian lagi faktor umur maka mungkin saja memancing jantung koroner yang bisa sebabkan kematian.

“Metode seerhana jadi interaksi antara tekanan yang berat, terutama psicological tension mempunyai bakat penyakit jantung koroner yang akan meningkatkan kematian kardiovaskular,” papar Anwar.

Sementara itu, Kementerian Kesehatan juga merilis ada 13 penyakit yang menjadi penyebab kematian seperti gagal jantung, koma hepatikum, stroke, respiratory failure, gagal ginjal, TBC, ataupun kegagalan organ.

Akun Facebook yang menyebarkan informasi bahwa petugas KPPS di Kelurahan Kebonjayanti, Kecamatan Kiaracondong, Kota Bandung, meninggal karena diracun sianida.
Akun Facebook yang menyebarkan informasi bahwa petugas KPPS di Kelurahan Kebonjayanti, Kecamatan Kiaracondong, Kota Bandung, meninggal karena diracun sianida. (Facebook)

Tentang Kabar KPPS yang Diracun
Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyayangkan pemberitaan bohong alias hoaks petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) bernama Sita Fitriati tewas diracun, beredar di sosial media.

"Pertama kita sangat sedih kalau ada pihak memberitakan bohong atau fitnah, dipolitisasi seakan-akan korban meninggal akibat itu (diracun)," ujar anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin saat ditemui di Kantor KPU, Jakarta Pusat, Sabtu (11/5/2019).

"Kita sangat menyesalkan. Mengutuk praktik-praktik di luar sisi kemanusiaan, misalnya ada korban meninggal karena diracun," imbuhnya.

Afifuddin menjelaskan, berdasarkan pengamatan Bawaslu, penyebab petugas KPPS meninggal bervariasi, namun didominasi oleh faktor fisik seperti kelelahan.

"Ada juga faktor psikologis. Mereka kerja beruntun, apalagi harus hadapi tekanan publik. Pengawasan sangat ketat secara psikologis juga berdampak," ulasnya.

"Kalau daya tahan tubuh sedang lemah dan penyakit lain juga bisa memicu. Intinya tidak ada korban meninggal atas apa yang dipikirkan itu terjadi," tambahnya.

Afifuddin memberikan penghormatan setinggi-tingginya kepada petugas KPPS yang gugur.

"Mari doakan agar dapat diterima di sisi terbaik, sambil melanjutkan perjuangan mereka dengan proses rekapitulasi dari tingkat provinsi ke nasional," ajaknya.

Sebelumnya, petugas KPPS meninggal bernama Sita Fitriati asal Bandung, dijadikan bahan hoaks oleh pihak tidak bertanggung jawab.

Pemilik akun Facebook bernama Doddy Fajar dan akun Twitter PEJUANG PADI @5thsekali, menyebarkan berita bahwa Sita Fitriati, petugas KPPS 32, RW 23, Kelurahan Kebon Jayanti, meninggal dunia akibat diracun.

Informasi tersebut dibantah oleh kakak Sita Fitriati, Muhammad Rizal. Menurutnya, terdapat sejumlah informasi yang salah terkait adiknya itu. Keluarga korban pun mengaku telah melaporkan kejadian tersebut ke pihak kepolisian.

Kabar meninggalnya Sita Fitriati, petugas KPPS di Kelurahan Kebonjayanti, Kecamatan Kiaracondong, Kota Bandung, Jawa Barat, karena diracun, dipastikan hoaks.

Menurut Muhammad Rizal, kakak korban, Sita meninggal dunia bukan karena diracun seperti informasi hoaks yang beredar tersebut.

Rizal mengatakan, adiknya meninggal karena sakit. Dan sebelum Pemilu 2019, adiknya memang sedang sakit.

"Sita ini memang sebelumnya sakit, cuma dia enggak pernah mengeluh sakitnya apa. Jauh sebelum Pemilu juga memang sudah agak kurang sehat sepertinya," ujar Rizal kepada Tribun Jabar melalui sambungan telepon, Sabtu (11/5/2019).

"Meninggalnya itu hari kemarin, tanggal 8 Mei 2019. Sebelum meninggal itu dirawat di rumah sakit selama tiga hari," sambungnya.

Rizal mengaku kaget atas informasi hoaks tersebut. Apalagi, dalam informasi hoaks yang disebarkan itu, umur dan TPS-nya pun salah.

"Sita Fitriati itu betul adik saya, tapi umur 21 itu salah, yang benar 23. Ngarang-ngarang saja itu orang. Adik saya itu tugas di TPS 33, sedangkan yang dilingkari itu TPS 34," bebernya.

Selain itu, informasi hoaks yang menampilkan foto adiknya yang dilingkari itu, ternyata juga bukan adiknya.

"Foto juga salah, latar belakang pendidikan juga salah," jelasnya.

Dengan adanya informasi hoaks tersebut, pihaknya langsung melaporkan hal tersebut kepada pihak kepolisian setempat.

Kapolsek Kiaracondong Kompol Asep Saepudin juga memastikan hoaks petugas KPPS tewas diracun.

"‎Bukan, itu hoaks. Kami sudah menerima laporan tersebut dari keluarga petugas KPPS tersebut," ujar Kapolsek Kiaracondong Kompol Asep Saepudin via ponselnya, Jumat (10/5/2019).

Kapolsek lantas menerangkan informasi sebenarnya di balik kematian ‎petugas KPPS itu. Kata dia, petugas KPPS bernama Sita Fitriati meninggal karena sebelumnya menderita penyakit TBC.

"Itu TBC sudah lama. Sedang dalam berobat dia jadi anggota KPPS. Pada saat pencoblosan, dia ngedrop, pulang jam 12 siang. Sampai kemarin dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin enggak sembuh, terus meninggal dunia," papar Asep.

Informasi yang menyatakan bahwa Sita meninggal karena diracun tidak bisa diterima akal sehat. Sebab, kepastian meninggal diracun harus didukung alat bukti medis.

"Kalau benar (diracun) kita pasti bertindak, justru ini hoaks," cetus Asep.

Ada pun informasi yang disebar di media sosial itu adalah:

"Ditemukan zat kimia C11H16NO2PS dalam tubuh korban KPPS, efek dari Racun....VX (nama IUPAC: O-ethyl‎ S-[2- (diisopropylmino) ethyl] methyphosphonothioate) merupakan senyawa golongan organofosfat yang sangat beracun."

Akun itu juga menggunggah dua foto. Pertama, memperlihatkan adanya gambar dengan tulisan 'Misteri Kematian Petugas KPPS 2019', dan foto kedua tampak dua perempuan dan salah satunya diduga sebagai petugas KPPS meninggal.


DISKUSI MENINGGALNYA PETUGAS KPPS - Ahli Jantung Dr. dr. ANWAR SANTOSO, Sp.JP (K) saat  menjadi pembicara dalam  diskusi terbuka
DISKUSI MENINGGALNYA PETUGAS KPPS - Ahli Jantung Dr. dr. ANWAR SANTOSO, Sp.JP (K) saat menjadi pembicara dalam diskusi terbuka "Membedah Persoalan Sebab Kematian Mendadak Petugas PEMILU" di Kantor PB Ikatan Dokter Indonesia Jalan G.S.S.Y Ratulangi, Jakarta Pusat, Senin(13/5).Dokter Indonesia (IDI) menyebut penyebab utama kematian ratusan petugas KPPS pasca-pemilu 17 April bukanlah kelelahan. Penyakit yang sebelumnya diderita, seperti jantung dan saraf menjadi pemicu meninggalnya petugas KPPS.-Warta Kota/henry lopulalan (WARTA KOTA/henry lopulalan)

IDI Bentuk Tim Peneliti
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Dr Daeng M Faqih mengatakan pihaknya akan segera membentuk tim peneliti yang akan meneliti terkait penyebab kematian ratusan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

Hal tersebut dikemukakan Daeng usai Diskusi Publik Membedah Persoalan Sebab Kematian Mendadak Petugas Pemilu Dari Perspektif Keilmuan di kantor PB IDI, Menteng Jakarta Pusat pada Senin (13/5/2019).

"Kita akan bentuk tim kecil. Kita kan punya lembaga riset, nanti lembaga riset itu yang akan melakukan. Ini sebagai bagian dari bangsa untuk memberikan kontribusi," kata Daeng.

Namun, saat ini tim internal IDI tengah membahas desain psnelitiannya termasuk kemungkinan kerjasama dengan pemerintah.

"Kita akan membahas desainnya apakah kerjasama dengan Litbang Kemenekes, Fakultas Kedokteran, atau kita membuat desain sendiri dan mengerjakan sendiri, kemudian mengikut sertakam seluruh dokter di Indonesia, karena kita punya cabang di semua kota," kata Daeng.

Ia juga menekankan agar tim tersebut tidak disalahartikan menjadi tim investigasi.

"Kita akan melakukan penelitian. Karena kita bedakan penelitian dan investigasi. Kalau investigasi itu urusannya lembaga negara yang berwenang. Kalau penelitian, kita sebagai lembaga profesi itu melakukan penelitian," kata Daeng.

Hasil dari penelitian tersebut nantinya kemungkinan akan dipublikasikan ke publik atau direkomendasikan ke Komisi Pemilihan Umum.

"Ya, bisa kita rekomendasikan (ke KPU)," kata Daeng.

Untuk itu, ia mengimbau agar para dokter yang menjadi anggota IDI dapat melaporkan ke tim tersebut jika menemukan kecurigaan saat menangani pasien KPPS di lapangan dan tidak memunculkan spekulasi-spekulasi.

"Makanya saran kami kalau ada yang seperti itu, memang kami tidak bisa memaksa tapi kami menyarankan laporkan ke kami," kata Daeng.

(Wartakota/Joko Supriyanto/Tribunnews.com/Apfia/Gita Irawan)

 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas