Penderita Hipertensi dan Diabetes di DKI Jakarta Cenderung Tinggi
Berdasar data surveillans DKI Jakarta 2019, penyebab kematian tertinggi di DKI Jakarta 33% disebabkan penyakit endokrin dan metabolik.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Prevalensi penderita penyakit hipertensi dan diabetes di DKI Jakarta saat ini masih sangat tinggi. Saat ini penderita hipertensi mencapai 34,1 persen dan penderita diabetes mencapai 10,9 persen.
Berdasar data surveillans DKI Jakarta 2019, penyebab kematian tertinggi di DKI Jakarta 33% disebabkan penyakit endokrin dan metabolik.
"Hal ini tentu sangat mengkawatirkan dan menjadi salah satu fokus utama kami dalam pengendalian penyakit tidak menular," ujar dr Endang Sri Wahyuningsih, Kepala Seksi Pengendalian Penyakit Tidak Menular Dinkes DKI Jakarta di acara edukasi kesehatan ginjal dan skrining Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang diselenggarakan Project Sunrise bekerjasama dengan Dinkes provinsi DKI Jakarta, Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) dan Fresenius Medical Care di kantor Walikota Jakarta Timur, Kamis (3/10/2019).
Dokter.Parulian Simandjuntak, Managing Director PT Fresenius Medical Care Indonesia mengemukakan, biaya kesehatan yang ditimbulkan oleh penyakit ginjal saat ini sangat tinggi dan biaya tersebut harus ditanggung oleh pemerintah.
Pihaknya di PT Fresenius Medical Care Indonesia berkomitmen bersama-sama pemerintah dan masyarakat melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesehatan ginjal di seluruh Indonesia.
Dia menjelaskan, kegiatan Project Sunrise ini dilakukan di Jakarta Timur sebagai pilot project, mencakup 4 kecamatan yaitu Kecamatan Cakung, Jatinegara, Matraman, dan Pasar Rebo.
Kegiatan ini diawali dengan kegiatan edukasi deteksi dan tatalaksana penyakit ginjal bagi dokter umum di Puskesmas bulan Agustus lalu, saat ini memasuki fase skrining yang diikuti oleh 400 penduduk.
Baca: Ketua DPR Puan Maharani Punya Total Kekayaan Rp 363,37 Miliar, Utangnya Rp 49,7 Miliar
"Selain memberikan edukasi deteksi dini mandiri kepada masyarakat, kami juga berharap kegiatan ini memberikan data sebagai upaya advokasi kebijakan mengenai pentingnya tahapan uji faktor risiko di fasilitas kesehatan primer untuk mencegah penurunan fungsi ginjal, terutama bagi pasien diabetes dan hipertensi," ujarnya.
Baca: KPK Ngegas Lagi, Garap Kasus Korupsi Dua Mantan Petinggi Garuda Indonesia
Karena itu, upaya pencegahan penyakit ginjal memiliki arti penting untuk menekan insiden penyakit ini yang meningkat setiap tahunnya.
Hasil Riskesdas 2018 menunjukkan persentase penyakit ginjal kronis (PGK) masih tinggi yaitu sebesar 3,8%, dengan kenaikan sebesar 1,8% dari tahun 2013.
Beban negara akibat PGK pun amat besar, data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di tahun 2017 tercatat 3.657.691 prosedur dialisis dengan total biaya sebesar 3,1 Triliun rupiah, merupakan pengeluaran nomor tiga tertinggi setelah penyakit jantung dan kanker.
Temuan data ini juga sejalan dengan fakta yang terjadi di dunia saat ini, yaitu meskipun kebijakan dan strategi nasional untuk Penyakit Tidak Menular (PTM) atau Non-Communicable Diseases (NCD) secara umum ada di banyak negara, kebijakan spesifik yang diarahkan pada skrining, pencegahan dan pengobatan penyakit ginjal masih dirasakan kurang memadai.
dr. Aida Lydia, PhD., Sp.PD-KGH, Ketua Umum PB Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PB PERNEFRI) mengatakan, PGK dapat berkembang menjadi kondisi gagal ginjal tahap akhir jika tidak tertangani dengan baik, dan menyebabkan berbagai komplikasi bahkan kematian.
"Jika seseorang memasuki stadium akhir dari penyakit ginjalnya, maka ia akan membutuhkan suatu terapi pengganti ginjal diantaranya hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal," ungkapnya
"Data Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2017, menunjukkan jumlah pasien aktif yang menjalani hemodialisis sebanyak 77,892 orang, sementara pasien baru adalah 30,843 orang," ungkap dr Aida Lydia.
Dampak ekonomi yang ditimbulkan sangat besar. Hal ini dapat dicegah dengan deteksi sedini mungkin.
Data pada IRR tahun 2017 menunjukkan penyebab terbanyak gagal ginjal di Indonesia adalah hipertensi (36%) dan diabetes (29%).
Pencegahan PGK dapat dilakukan melalui pencegahan primer dan sekunder. Pencegahan primer yaitu program skrining yang bertujuan untuk mendeteksi masyarakat yang berisiko terkena penyakit ginjal.
Sedangkan pencegahan sekunder dimaksudkan untuk mencegah para penderita PGK mengalami penurunan fungsi ginjal yang lebih berat lagi, sehingga dapat mengurangi jumlah pasien yang harus menjalani terapi pengganti ginjal.