Darurat Inisiasi Insulin untuk Penderita Diabetes dengan Hasil Pemeriksaan HbA1c Lebih dari 9 Persen
Faktor penyebab tingginya angka penyandang diabetes di Indonesia adalah masih kurangnya edukasi
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Angka diabetes di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan.
Berdasarkan data dari International Diabetes Federation (IDF) Atlas 2017, dilaporkan bahwa epidemi penyakit diabetes di Indonesia masih akan cenderung meningkat.
IDF juga memperkirakan jumlah penyandang diabetes usia 20-79 tahun di Indonesia sekitar 10,3 juta orang pada tahun 2017, dan akan bertambah menjadi 16,7 juta orang di tahun 2045, dengan mayoritas penderitanya tinggal di daerah perkotaan.
Salah satu faktor penyebab tingginya angka penyandang diabetes di Indonesia adalah masih kurangnya edukasi mengenai penyakit ini.
Hal ini terlihat dari banyaknya pasien yang terlambat terlambat didiagnosa diabetes, karena mereka tidak mengetahui gejala dan bagaimana mengelola diabetes.
Bahkan 52% pasien diabetes sudah mengalami komplikasi saat pertama terdiagnosa. Komplikasi diabetes menyebabkan berbagai kerusakan organ tubuh, di antaranya adalah diabetes retinopati yang merupakan penyebab utama kebutaan pada orang dewasa, diabetes nefropati yang merupakan penyebab utama penyakit ginjal tahap akhir, serta peningkatan antara 2 hingga 4 kali lipat mortalitas akibat penyakit kardiovaskular dan stroke.
Pasien diabetes, Ir. Koentjoro M.Pd mengatakan, saat terkena diabetes, dirinya belum tahu apa itu penyakit diabetes, malah jadinya stres.
Baca: 10 Sayur & Buah yang Dapat Mencegah Risiko Diabetes, Termasuk Buncis dan Apel, Bisa Beli di Pasar
Tak hanya berobat ke dokter, saya juga sempat ke pengobatan alternatif, akhirnya malah membuat fluktuasi gula darah naik turun terus.
Sampai tahun 2005-2006 saya mulai berobat di Klinik Diabetes Terpadu di Bogor barulah saya mendapatkan edukasi mengenai apa itu diabetes dan bagaimana mengelola penyakit ini.
"Jadi, dibutuhkan waktu sampai 10 tahun dari saya terdiagnosis sampai mendapatkan edukasi yang benar tentang diabetes,” kata Koentjoro yang telah menyandang diabetes tipe 2 selama 24 tahun.
Di Klinik Diabetes Terpadu ini, Koentjoro mendapatkan informasi mengenai penyakit diabetes, termasuk mengenai pentingnya mengatur pola makan, berolah raga, serta melakukan tes HbA1c secara berkala untuk mengontrol gula darah.
Koentjoro mengatakan, masih ada teman-teman sesama penyandang diabetes yang belum sadar akan pengelolaan diabetes, terutama tes HbA1c.
Pemeriksaan HbA1c adalah salah satu faktor penting penatalaksanaan diabetes.
HbA1c bisa dijadikan parameter untuk mendeteksi dan mengurangi komplikasi jangka panjang.
HbA1c ini mencerminkan rata-rata kadar gula darah selama tiga bulan terakhir, jauh lebih akurat dibandingkan pemeriksaan gula darah harian yang sangat fluktuatif.
Kontrol HbA1c yang baik berkaitan erat dengan risiko komplikasi kesehatan jangka panjang yang lebih rendah.
Baca: Penderita Hipertensi dan Diabetes di DKI Jakarta Cenderung Tinggi
Jika nilai HbA1c terus tinggi maka risiko komplikasi juga tinggi, baik komplikasi makrovaskular seperti penyakit jantung dan stroke, maupun komplikasi mikrovaskular seperti kerusakan saraf, mata, dan ginjal.
Dengan hanya penurunan sebanyak 1% HbA1c dapat mengurangi komplikasi diabetes jangka panjang, seperti amputasi sebanyak 43%, komplikasi mikrovaskuler sebanyak 37%, gagal jantung sebanyak 16%, dan stroke sebanyak 12%.
Ketua PERKENI, Prof. Dr. Ketut Suastika SpPD-KEMD mengatakan, PERKENI menyarankan agar pasien diabetes melakukan pemeriksaan HbA1c setiap tiga bulan sekali. Nilai HbA1c pasien diabetes sebaiknya di bawah 7%.
Pemeriksaan HbA1c sudah di-cover BPJS di fasilitas kesehatan tingkat dua. Tetapi sayangnya fasilitas untuk tes HbA1c belum merata di semua daerah. Kendala lain pemeriksaan HbA1c adalah harganya relatif mahal, di rumah sakit swasta mungkin sekitar Rp200.000.”
Nilai HbA1c bisa menjadi indikator inisiasi penggunaan insulin.
Apabila seorang penderita diabetes sudah terdiagnosis dan sudah mendapat terapi dengan obat antidiabetik oral (OAD) dengan dosis maksimal namun gula darah masih belum terkontrol (HbA1c lebih dari 7%), sudah dapat memulai inisiasi insulin.
Baca: ICW Temukan 49 Potensi Penipuan di Pengelolaan BPJS Kesehatan
Terlebih apabila pasien pertama kali terdiagnosis diabetes dengan HbA1c lebih dari 9% dengan adanya gejala dekompensasi metabolik, maka dianjurkan untuk inisiasi pemberian insulin untuk dapat mengendalikan gula darah penderita.
Faktanya, sebanyak 68% pasien diabetes yang menerima pengobatan tidak mencapai target HbA1c.
"BPJS mensyaratkan, ketika HbA1c nilainya di atas 9%, baru pasien mendapatkan insulin yang dicover BPJS. Namun sebenarnya indikasi pemberian insulin bukan hanya dari HbA1c saja," katanya.
Memang, kata dia pada pasien tertentu dengan kadar HbA1c di atas 9% dan disertai gejala katabolik yang berat, bahkan sampai kegawatdaruratan, harus langsung diberikan insulin.
Tetapi memang masih banyak kendala pemberian insulin ini, termasuk dari sisi pasien itu sendiri.
"Misalnya, takut jarum suntik dan takut kalau insulin akan membuat ketergantungan,” katanya,
Meskipun pemeriksaan HbA1c memang salah satu hal penting dalam penatalaksanaan diabetes, memang pemeriksaan ini belum menjadi alat wajib di Puskesmas di Indonesia.
Alasannya adalah efisiensi dan efektivitas alat terkait harga yang mahal dan ketersediaan SDM yang mampu mengoperasionalkannya.
Saat ini, jika pasien datang ke Puskesmas dan membutuhkan pemeriksaan HbA1c maka digunakan fasilitas rujukan ke pusat pelayanan kesehatan tingkat dua.
Mekanismenya bisa dengan berjejaring dengan laboratorium klinik yang bekerjasama dengan BPJS.
"Karena pemeriksaan HbA1c ini sudah menjadi standar dari pelayanan diabetes melitus, faskes tingkat pertama pun sudah menyosialisasikannya kepada pasien diabetes,” jelas drg. Saraswati MPH, Direktur Pelayanan Primer, Dirjen Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI.
Jika pasien memiliki nilai HbA1c tinggi dan disarankan menggunakan insulin, bisa diberikan di Puskesmas melalui sistem rujuk balik.
Tapi pemberian resep insulin yang pertama harus dari dokter spesialis.
Dalam upaya mengendalikan angka prevalensi diabetes, Kementerian Kesehatan RI mengeluarkan keputusan untuk penggunaan insulin bagi pasien diabetes tipe 2 yang kadar HbA1c-nya 9% dan tidak terkendali dengan pemberian kombinasi obat oral anti-diabetes.
Program ini menjadi wujud usaha untuk memberikan pertolongan untuk pasien diabetes dalam mengatur kadar gula darah dan meminimalisir komplikasi.
Namun, Indonesia merupakan negara di kawasan Asia dengan penggunaan insulin terendah pada 7,6 unit per pasien diabetes yang diobati, dibandingkan dengan lebih dari 70 unit di Thailand dan 178 unit di Malaysia (23 kali lebih besar dibandingkan dengan Indonesia).
Selain dengan pemeriksaan HbA1c yang diikuti dengan pengobatan medis, pengaturan gizi, dan penerapan pola hidup sehat juga sangat penting untuk pengelolaan diabetes.
Penderita diabetes harus menjaga asupan makanan, olahraga dengan teratur, dan menaati rencana pengobatan yang diberikan oleh dokter, demi kontrol penyakit diabetes yang lebih maksimal.