IDI: Stunting Ditandai Lahir di Bawah 47 Sentimeter
Angka ini masih tinggi karena harus berada dibawah ambang batas standar WHO yaitu 20 persen.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Stunting adalah salah satu persoalan yang dihadapai bangsa ini. Semakin banyak masyarkat yang terkena stunting, akan mempengaruhi kemajuan bangsa.
"Semakin banyak Sumber Daya Manusia (SDM) yang terkena stunting, itu akan menjadi beban bangsa, bukan sebagai modal. SDM seperti itu tidak memberikan banyak kemajuan bangsa karena pertumbuhannya terganggu," kata Ketua Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng M Faqih dalam perayaan Hari Bakti Dokter Indonesia (HBDI) yang ke 111 dan Hari Ulang Tahun (HUT) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang ke 69 di area Parkir Selatan pintu 5, Gelora Bung Karno (GBK) Senayan, Jakarta, Minggu (24/11/2019).
Peringatan HUT diselenggarakan melalui Fun Walk (jalan santai) yang dilakukan di area Car Free Day (CFD). IDI bekerja sama dengan KlikDokter menyelenggarakan kegiatan tersebut dengan tema IDINESIA yaitu IDI untuk Indonesia.
Baca: Persentase Penderita Stunting Turun 7 Persen, Pemerintah Beri Apresiasi Pada 10 Sosok Pahlawan
Daeng menjelaskan cara paling mudah mengenali stunting adalah pada saat lahir, panjang bayi tidak mencapai 47 sentmeter (cm).
Penyebabnya karena asupan gizi yang kurang saat seorang ibu sedang hamil. Penyebab lainnya adalah pola asupan gizi yang tidak teratur. Kemudian ada penyakit yang tidak baik saat hamil, misalnya terjadi infeksi.
"Tiga ini penyebab utama. Makanya perlu pengenalan stunting bagi calon pengantin dan ibu hamil," jelasnya.
Dia menegaskan hasil penelitian menunjukkan bayi yang terkena stunting menyebabkan seluruh organ tubuh, terutama otak tidak berkembang baik. Kondisi ini berpengaruh pada perkembangan kepribadian seorang anak yang terkena stunting.
"Kedepan, kami dari IDI akan semakin masif lakukan kampanye anti stunting. Kami lakukan gerakan nyata dengan turun ke masyarakat sosialisi," tuturnya.
Dokter sekaligus artis Reisa Broto Asmoro menjelaskan satu dari 3 anak di bawah 5 tahun (balita) mengalami stunting atau gagal tumbuh karena kurang protein atau kurang gizi.
Data tahun 3018 menunjukkan balita stunting di Indonesia mencapai 30.8 persen. Balita yang memiliki badan sangat pendek sebanyak 11.5 persen dengan tinggi badan terendah 19 cm.
"Ini tidak dapat dianggap sepele. Betul-betul membutuhkan perhatian khusus. Kita semua perlu ikut serta dalam menurunkan angka stunting ini," ujarnya.
Sementara Head of KlikDokter Mia Argianti mengemukakan penyuluhan kesehatan reproduksi pada remaja sangat penting dalam mencegah stunting.
Anak remaja menjadi pintu masuk dan ujung tombak perubahan paradigma kesehatan. Pada masa remaja, pengetahuan tentang kesehatan penting untuk diketahui untuk menghindari hal-hal yang tidak dinginkan.
"Salah satu pengetahuan kesehatan yang penting di usia remaja adalah kesehatan reproduksi karena dapat memicu terjadinya penyakit seksual menular, kehamilan di usia muda, dan kanker mulut rahim atau kanker serviks.
KlikDokter sangat senang dapat bekerja sama dengan IDI karena penanggulangan masalah stunting, penyakit tidak menular, dan kesehatan reproduksi remaja dalam upaya mendukung pembangunan SDM yang sehat, produktif, dan berdaya saing, merupakan hal yang sangat penting. Pendekatan dengan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) yang baik dan tepat semakin melekat di hati masyarakat, promosi dan prevensi dalam kesehatan semakin berhasil, sehingga di masa depan, Indonesia dapat mencapai generasi sehat," tutur Mia.
Sebagaimana diketahui stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Dalam jangka panjang, stunting berdampak negatif untuk kecerdasan anak dan meningkatkan risiko anak untuk terkena penyakit tidak menular.
Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga dengan angka prevalensi stunting tertinggi di Asia pada tahun 2017. Angkanya mencapai 36,4 persen.
Namun, pada 2018, angkanya turun menjadi 27,67 persen.
Angka ini masih tinggi karena harus berada dibawah ambang batas standar WHO yaitu 20 persen.