Kesalahan Informasi tentang Vape Hambat Penyelesaian Masalah Rokok
Ia mengatakan bahwa kesalahan informasi tentang produk alternatif seperti rokok elektrik dapat menghambat upaya penyelesaian masalah rokok.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM - Mantan Direktur Riset World Health Organization (WHO) yang juga seorang akademisi dari National University of Singapore, Profesor Tikki Pangestu mengatakan bahwa kesalahan informasi tentang produk alternatif seperti rokok elektrik dapat menghambat upaya penyelesaian masalah rokok.
Dalam presentasinya tentang upaya pengurangan dampak buruk rokok (harm reduction) di Asia pada kesempatan E-Cigarette Summit 2019 di London baru-baru ini, Prof. Tikki menjabarkan sejumlah tantangannya dan salah satunya adalah pembuat kebijakan yang salah informasi.
“Pada Januari tahun ini, seorang pembuat kebijakan senior di salah satu negara Asia membuat pernyataan ini dalam sebuah forum publik. Ia menyebut pemuda yang pernah menggunakan rokok elektrik punya kecenderungan lebih besar untuk menjadi perokok reguler. Rokok elektrik bukanlah alternatif yang lebih sehat dari rokok biasa, juga tidak membantu orang berhenti merokok. Tapi, seperti yang dikatakan Daniel Moynihan, ‘Semua orang berhak berpendapat, namun tidak ada yang bisa memanipulasi fakta," ujar Prof. Tikki.
Kekhawatiran yang sama juga disampaikan oleh Ketua Asosiasi Vapers Indonesia (AVI), Dimasz Jeremia. Ia memberikan contoh yang terjadi pada hasil penelitian yang diterbitkan oleh New England Journal of Medicine pada tahun 2015.
Penelitian tersebut yang melakukan tes pada rokok elektrik dengan memanaskan cairan dengan dua voltage yang berbeda.
Pada tegangan rendah, mereka tidak mendeteksi formaldehyde (zat yang bersifat karsinogenik dan ada dalam rokok tembakau konvensional), tetapi zat tersebut terdeteksi pada voltage tinggi, lalu menyimpulkan bahwa rokok elektrik mengandung zat yang sama berbahayanya dengan rokok.
Menurut Dimasz, hasil penelitian tersebut mengabaikan fakta penggunaan rokok elektrik.
“Kesimpulan yang dibuat dari penelitian itu agak menyesatkan. Mereka lupa, atau mungkin tidak tahu, bahwa pengguna rokok elektrik tidak akan pernah memanaskan cairan pada tegangan yang sangat tinggi karena akan menciptakan rasa terbakar yang tidak enak,” ujar Dimasz.
Pandangan salah yang dipromosikan oleh banyak pihak dapat secara negatif memengaruhi mantan perokok aktif yang telah pindah ke rokok elektrik untuk berhenti merokok, untuk kembali merokok lagi.
Berdasarkan sebuah penelitian yang diterbitkan oleh Journal of Nicotine and Tobacco Research pada tahun 2014, sepertiga dari pengguna rokok elektrik kembali untuk merokok konvensional karena mereka khawatir akan bahaya rokok elektrik yang diinformasikan pada mereka, walaupun beberapa penelitian telah membuktikan bahwa mereka lebih rendak risiko dibandingkan dengan rokok tembakau.
“Kesalahpahaman di sekitar rokok elektrik itu membuat putus asa dan mencegah perokok beralih ke alternatif yang lebih rendah risiko. Pendidikan adalah kunci; dengan itu, upaya pengurangan dampak buruk dapat berhasil dan akan menciptakan pendekatan yang lebih terbuka yang diperlukan untuk memotivasi perokok untuk berhenti,” ujar Dimasz.
Sejumlah asosiasi vape di Indonesia pun menyatakan bahwa pelarangan ini justru akan mendorong perokok untuk kembali ke kebiasaan merokoknya dan tidak akan menyelesaikan masalah rokok di Indonesia.
Saat ini, terdapat lebih dari 67 juta perokok dewasa, yang merupakan 39% dari populasi orang dewasa, dan jumlah ini menjadikan Indonesia negara dengan populasi perokok terbesar ketiga di dunia.